8 - Curhatan Receh dan Enid Blyton

16 2 0
                                    

Dalam keluarga besar Suryatmaja –keluarga Mama, aku memiliki seorang sepupu perempuan yang seumuran denganku, yang bernama Devana Camellia Asri. Iya, aku tahu namanya memang mirip dengan namaku. Kami bahkan lahir pada tanggal dan tempat yang sama. Tapi aku yakin kami bukanlah kembaran yang terpisah seperti di sinetron-sinetron itu. Sebab secara fisik kami tidak memiliki kemiripan yang cukup berarti, seperti halnya kembaran lain di luar sana.

Aku dan Mel –begitu ia biasa dipanggil– adalah sepupu yang kompak. Sejak kecil kami terbiasa bermain bersama, dan hingga saat ini kami masih sering curhat satu sama lain. Bagiku, Mel adalah sahabat, tempat sampah hidup yang menampung segala celotehan tak berfaedahku. Itulah sebabnya aku tak terlalu sibuk mencari teman ke sana-sini apabila di sekolah. Sebab menurutku, Mel saja sudah cukup.

Malam ini, aku memaksa Mel menginap di rumahku. Sebab aku sudah tahan untuk menceritakan seluruh kegundah-gulanaanku mengenai Aisha dan Adhi dan meminta solusi darinya. "Aku harap curhatan kamu kali ini nggak receh-receh banget ya, Cha. Soalnya aku udah ngorbanin jam belajar aku buat Try Out besok cuma demi mendengar keluh kesah kamu, nih."

Mel sudah kelas dua belas sekarang. Sebab semenjak SMP, dia mengikuti kelas akselerasi di sekolah yang berbeda denganku. Iya, anak ini pintarnya ampun-ampunan deh. "Tenang, Mel. Aku jamin ini bakal jadi curhatan yang paling berfaedah sepanjang sepak terjang kita di dunia percurhatan. Lagian, aku juga besok ulangan matematika, kok. So, anggaplah pengorbanan kita sepadan."

Ia menabokku pelan, "buruan cerita! Biar selesainya nggak kemalaman."

"Oke oke. Jadi di sekolah, aku punya teman. Namanya Adhi dan Aisha. Kami berteman dengan akrab, namun semua berubah semenjak negara api menyerang..." Lalu jitakan kembali melayang ke bagian kanan kepalaku.

"Cha, serius ah!"

"Hehe, maaf Mel. Itu aku lagi nyoba menetralisir rasa galau, tau! Biar nanti di tengah cerita nggak mewek. Garing ya?" Mata Mel menatapku tajam, kurasa ia sedang kehabisan stok selera humor. "Yak, jadi konflik di antara kami bermula ketika Adhi diputusin pacarnya dengan alasan, pacarnya cemburu sama aku. ... ... ..."

Akupun menceritakan semuanya pada Mel. Semua, tanpa ada yang ditutup-tutupi. Temasuk dugaanku perihal sosok misterius yang memberiku napas buatan. Mel mendengarkan dengan serius, tanpa interupsi. Ia hanya bertanya sesekali jika dirasanya ada yang kurang jelas.

"Kamu goblok juga sih, Cha! Segala pingsan abis ditolongin. Princess mah dimana-mana abis pingsan, ditolongin pangeran, sadar. Lah kamu!" Ia terkekeh, "eh tapi belum tentu juga ya, yang nolong kamu cowok."

"Ish, Mel! Yang bener dong. Aku harus bersikap kayak gimana ke mereka bedua? Bingung, nih." Mel menggembungkan pipinya, berpikir keras. Ya, kami memiliki ekspresi andalan yang sama untuk bekonsentrasi tinggi. "Kamu suka sama dia nggak, Cha?" Aku menghela napas panjang. "Nggak tau, Mel. Aku nggak tau. Yang pasti sih, respon tubuhku selalu aneh kalau dekat-dekat dia. Kan tadi udah aku ceritain."

"Hmm. Kalau menurut aku sih, kamu suka sama dia, Cha. Tapi ya, kamunya nggak sadar. Atau nggak mau mengakui. Jadi menurut aku, kekalutan kamu bukan cuma sekadar karena Aisha suka sama Adhi dan Adhi suka sama kamu. Tapi juga karena kamu dan Adhi sama-sama suka, dan ada Aisha yang jadi penghalang di antara kalian. Terus di sisi lain, kamu juga merasa bersalah sama Aisha. Betul nggak?"

Deg!

Aku terdiam. Bukan karena tidak mengerti atas pemaparan Mel barusan. Tetapi karena batinku merasa benar-benar tertohok. "Cha, untuk masalah kayak gini, kamu harus jujur sama diri kamu sendiri."

Aku masih belum mau benar-benar percaya bahwa aku menyukai Adhi. Entahlah,berat sekali rasanya mengakui hal itu. Tapi kalau dipiki-pikir sih, apa yang dibilang Mel itu benar juga. "Oke, kalaulah aku memang suka sama dia, terus gimana?"

[Bukan] SemenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang