1 - Surat Cinta dan Larangan Mama

42 11 2
                                    

Kelas ini tidak riuh, hanya saja setiap inchinya dipenuhi percakapan malu-malu, tawa-tawa segan, atau kelakar sopan. Tidak nyaring, hanya bising serupa lebah yang berdesing. Wajar, mengingat ini adalah hari pertama masuk SMA bagi seluruh siswa yang bermukim disini. Semua anak sibuk mencari kenalan. Semeja, depan, belakang, kanan, kiri. Perlahan, kubu-kubu pun tercipta. Obrolan seru mulai terangkai. Se-SMP se-hobi, se-fandom, dan beragam se- lainnya yang menjadikan bincang-bincang itu kian mengalir.

Semua anak telah mendapatkan teman. Kecuali aku, yang masih betah mengamati tindak-tanduk teman-teman pra-MPLS-ku ini satu demi satu. Teman satu mejaku, yang aku tak tahu siapa namanya, telah bergabung dengan kubu perempuan-perempuan penghamba mode yang perkumpulannya hanya selang dua meja dari mejaku. Barisan tengah, meja ketiga dari belakang.

Aku sendiri belum menaruh minat untuk bebaur pada kubu manapun. Bukan berarti aku pendiam, atau pemalu, atau apalah itu namanya yang membuatku enggan bersosialisasi seperti ini. Aku hanya tidak ingin sembarangan memilih teman. Silakan katakan aku pilih-pilih. Tapi aku lebih percaya pada Mamaku yang mengatakan pergaulan SMA itu patut diwaspadai. Jadi, disinilah aku. Duduk tepekur, dengan mata jelalatan meneliti seluruh penghuni kelas yang kiranya layak kujadikan teman.

Pergerakan mataku terhenti ketika pandanganku terkunci pada sosok yang terselubungi jaket di pojok kiri belakang kelas. Poninya tersembul dari topi jaket yang ia kenakan. Dan satu barisan yang menjadi penghalang kami membuatku tidak bisa memastikan bawahan apa yang ia kenakan. Rok atau celana. Dia laki-laki atau perempuan? Teman semejanya yang berjenis kelamin laki-laki tidak menjamin bahwa ia jugalah bergender sama, bukan?

Anak itu hanya berbicara satu dua dengan teman semejanya. Ia lebih banyak diam, menyembunyikan wajahnya pada kedua lengannya yang tersilang di meja. Seolah tidak ada minat untuk berbaur dengan lingkungannya. Sesekali ia mendongak dengan tatapan cuek dan kuyu, lantas kembali menunduk.

Aku tidak pernah menyukai orang yang cuek. Dan rasa itu sama besarnya dengan rasa tidak sukaku pada orang yang tak punya semangat. Sialnya, anak itu memiliki kedua ciri itu. Tapi entah kenapa, ada sesuatu dalam dirinya yang barangkali bisa kunamai pesona, yang membuatku memutuskan detik itu juga. Aku ingin jadi temannya. Dan pertanyaan pertama atas pernyataan itu adalah. Siapa namanya?

Krak. Pintu kayu itu terbuka dan menanyangkan dua sosok dengan wajah sok galak. Tanpa perlu banyak spekulasi, dapat kusimpulkan bahwa dua orang itu adalah senior yang akan menjadi pendampingku dalam MPLS ini.

"Assalamu'alaikum. Selamat pagi, semuanya. Perkenalkan, nama saya Wildan Prasetya, dan ini rekan saya, Riska Amalia. Disini, kami akan menjadi pendamping kalian selama mengikuti MPLS tiga hari kedepan."

Tuh kan, benar.

"Sebelum saya memberi pengarahan, saya absen dulu, ya?" Itu suara Kak Riska, dan seluruh penghuni kelas sudah cukup paham bahwa itu adalah jenis pertanyaan yang tidak perlu dijawab.

"Adhi Surya Pradana."

Dari sudut mataku, dapat kulihat anak yang baru saja kuputuskan untuk menjadi temannya itu mengacungkan tangan. Oh, dia laki-laki. Seketika, murung merambati wajahku. Aku tidak pernah punya bakat untuk berbaur dengan jenis gender yang satu itu. Dan itu artinya, aku harus mencari target lain untuk kujadikan temanku.

Kak Riska masih menyebutkan nama-nama kami. Hingga tiba-tiba telingaku merasa tak asing pada nama kedelapan yang disebutnya.

"Charisma Arya Bimasena."

Oh, sekarang aku ingat dimana aku pernah mendengar atau membaca nama itu. Charisma dalah orang yang menempati urutan kedua PPDB Online tahun ini di SMAN Cakrawala. Sebelah bibirku terangkat. Hendak tersenyum namun urung.

[Bukan] SemenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang