Aku mematut diri sekali lagi di depan cermin, sembari menunggu abang ojek online pesananku datang. Rambut lurus sebahu yang dikuncir ekor kuda, kaus lengan panjang warna baby pink, celana jeans warna biru pudar, dan sneakers warna biru muda. Polos, tanpa make up apa-apa. Ya, kurasa ini sudah cukup sesuai untuk sekadar menghadiri kerja kelompok.
Tak lama kemudian, si abang akhirnya datang dan kami berangkat menuju rumah Adhi. Tiba-tiba saja, aku jadi kesal sendiri mengingat kelompok ini terbentuk sebelum konflik friendzone kami naik ke peremukaan. Kalau sudah, oh tentu saja aku tidak mau sekelompok dengan Adhi dan Aisha.
Aku memang belum menentukan sikap yang akan kuambil untuk menanggapi kondisi kami bertiga ini. Tapi kupikir, alangkah baiknya bila aku menjauh, menghindar dari mereka untuk sementara waktu. Hingga akhirnya aku memutuskan apa yang akan kulakukan.
Huft! Untunglah di kelompok ini nggak cuma ada Adhi dan Aisha. Melainkan ada Charisma, Naufal dan Gian juga. Jadi barangkali, nanti aku bisa mengunakan mereka sebagai pelarianku dari Adhi dan Aisha. Hihihi.
Omong-omong, ini sudah satu minggu semenjak taruhanku dengan Charisma. Dengan kata lain, ini adalah hari terakhir Charisma bersikap baik padaku. Dan aku tidak ingin membayangkan kelakuannya setelah taruhan ini berakhir. Apakah dia akan kembali ke Charisma yang jutek, atau mempertahankan sifat ramahnya ini?
"Ayo, bagi-bagi tugasnya!" Aisha sebagai ketua kelompok langsung berseru demikian begitu Ibunya Adhi selesai meletakkan nampan berisi sirup dingin dan cookies. Oh iya, aku juga baru tahu bahwa Adhi memanggil Mamanya dengan sebutan 'Ibu'. Dan sebenarnya, itu juga bukanlah hal yang penting.
Aisha pun mulai membagi-bagi materi untuk kami. Yang nantinya harus kami kuasai dan tuangkan ke dalam slide powerpoint untuk dipresentasikan minggu depan. Satu materi akan dibahas oleh dua orang. Sebab terdapat tiga buah materi dan kelompok kami beranggotakan enam orang.
Kau tahu, ada sebuah geletar yang samar-samar menjalari tubuhku begitu aku mendengar Aisha memasangkanku dengan Adhi. Semacam ada buncah yang tertahan agar tak menampakkan keberadaannya. Seakan ada kegirangan yang menggedor-gedor meminta dikeluarkan, namun tak kuizinkan. Sesak.
Aku sendiri tidak paham apa motivasi Aisha memasangkanku dengan Adhi. Padahal, hal itu jelas-jelas juga akan membuatnya sesak sendiri. Apa jangan-jangan ia telah memutuskan untuk mengalah demi aku dan Adhi? Oh, Aisha, kumohon jangan gegabah mengambil keputusan.
"Sha, gue mau barengan sama Charisma aja, dong! Boleh ya?" Kulihat Charisma melemparkan tatapan bertanya ke araku. Satu hal lagi yang kusimpulkan mengenai Charisma, ia sangat hobi berkomunikasi lewat tatapan mata, ekspresi, atau apapun yang membuatnya tak perlu repot-repot bersuara.
"Dih, jangan lah, Dav! Entar tercipta kesenjangan sosial antar materi di kelompok kita."
"Tau lo, Dav! Nggak mendukung program pemerataan sumber daya manusia yang lagi dicanangkan pemerintah. Huh!"
"Dasar ya kamu, Dav. PHO hubunganku dan Charisma aja!"
Mau tak mau, aku terkekeh juga menanggapi seruan konyol mereka. Baiklah, barangkali aku memang harus belajar profesional. Tidak menghubung-hubungkan masalah hati dengan kepentingan khalayak ramai. Halah, ngomong apa sih aku!
"Jangan tinggalin aku, Davina. Aku tanpamu hanyalah serbuk marimas." Adhi berbisik di telingaku dengan nada melankolis yang dibuat-buat. Tanpa seizinku, tiba-tiba saja ada rona-rona merah yang terasa hangat menjalari pipiku. Lagi, debaran yang menyenangkan itu memadati jantungku dan ribuan kupu-kupu seolah mengepakkan sayapnya dalam perutku.
"Ciyyeee, pipinya merah ciyyeee!!" Argh, dasar Adhi sialan!
Lalu kami mulai menenggelamkan diri dalam konsentrasi untuk memahami materi masing-masing. Aku dan Adhi kebagian materi 'Kebudayaan Zaman Neolithikum' sedangkan sisanya adalah 'Zaman Mesolithikum' dan 'Zaman Paleolithikum'. Aku sudah mulai membuat slide powerpoint ketika tiba-tiba terdengar suara pagar dibuka dan Ayah Adhi muncul dari baliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Semenjana
Genç KurguAku ini anak biasa, hidup di keluarga yang biasa, dan memiliki pergaulan yang biasa. Ya, semua yang ada di hidupku rasanya semenjana. Terlalu biasa saja. Lalu semua terasa berbeda, ketika aku masuk SMA. Tidak ada lagi hari-hari yang terlalui denga...