6 - Penolong Misterius

19 7 3
                                    

Minggu pagi, hari ketiga sekaligus hari terakhir PAB. Apel penutupan baru saja dibubarkan, dan sekarang aku sudah resmi menyandang status sebagai anggota jurnalis. Aku tengah menyusuri tepi luar lapangan, membacai setiap kertas yang tertempel di kaca depan tronton yang kulewati. Mencari tulisan 'Tronton 3' yang tak kunjung ketemu.

Aku memindahkan travelling bag yang tadinya kutenteng di tangan kanan menjadi di tangan kiri. Tanganku sudah pegal, karena beratnya dan karena sudah lamanya aku menyusui tepi luar lapangan ini. Namun tiba-tiba, kedua tanganku menjadi tak berbeban. Aku menoleh dan mendapati travelling bag-ku sudah berpindah tangan ke Adhi yang baru saja menyejajari langkahku.

"Thanks." Ia menangguk, "sama-sama."

"Kok sendirian aja, Dhi? Nggak sama Tantri atau Aisha? Kan satu bis." Kuberondong ia dengan pertanyaan. "Tadinya gue sama Aisha udah di bis, Davina. Terus kami ngelihat lo luntang-lantung nggak jelas sambil nyeret tas gede sendirian kayak gini. Kan kasihan, yaudah deh gue samperin."

Aku nyengir, "kayaknya gue nelangsa banget ya di deskripsi lo itu, hahaha." Dia ikut tertawa. "Terus Tantri? Kok nggak ngintilin lo?"

Ia menggaruk-garuk kepalanya yang kurasa memang betulan gatal. Sebab kami juga ada agenda untuk bermain di kolam lumpur kemarin. Dan mandi disertai gedoran pintu setiap dua menit sudah tentu tak akan bisa menghilangkan lumpur yang menempel di kepala. "Uhm, gue,,, baru putus sama Tantri."

"HAH?!" Spontan, kuputar badanku agar tepat menghadapnya. "Siapa yang putusin? Kenapa? Kapan? Gimana ceritanya?"

"Tantri yang putusin, sebelum apel penutupan tadi. Intinya sih, dia cemburu sama lo, Davina." Aku terbengong. Cemburu? Untuk apa? "Kita udah sampai di tronton lo. Kayaknya, gue juga harus balik ke tronton gue deh, takut ketinggalan nanti."

Tanpa persetujuanku, Adhi sudah hendak melangkah meninggalkanku. Namun tanganku sudah lebih dahulu mencekal lengannya dan mataku menatap manik matanya. Lama kami berada dalam posisi itu, hingga akhirnya Adhi menaikkan sebelah alisnya dan bertanya, "kenapa, Davina?"

Buru-buru kulepas cekalan tangan itu. Menimbang baik buruknya aku mengemukakan pertanyaan yang tercetus dalam otakku, aku menjawab, "nggak ada, Dhi. Nggak jadi, gue lupa mau ngomong apa." Aku cengengesan.

Ia melempar tatapan are-you-really-sure-?-nya padaku, membuatku mengangguk kencang-kencang hingga rambut kuncir kudaku ikut berguncang. "Oke." Kali ini ia sempurna meninggalkanku.

Memasuki tronton, kudapati posisi yang kutempati ketika berangkat kemarin belum terisi. Tanpa pikir panjang, kuputuskan untuk mendudukinya. Masih sama seperti kemarin, ada Charisma juga di sebelahku. Membuatku teringat menanyakan sesuatu padanya.

"Udah minum antimo?" Ia meringis, menggelengkan kepalanya. "Gue nggak punya antimo." Aku tersenyum, sudah bisa menebak jawabannya barusan. Kurogoh saku sebelah kiri tasku, lantas memberinya sebuah sachet berisi tablet yang baru kuambil dari dalam situ. Antimo. Ia tertegun sebentar sebelum tersenyum dan berkata, "makasih, ya."

"Perasaan dari kemarin lo nggak ada mabok darat, deh. Kok bisa sedia antimo gini?" Aku mengingat-ingat kenapa bisa beberapa sachet antimo ini terletak dalam tasku. "Oh, itu Mama yang nyiapin. Sama kantong kresek kemarin, juga Mama. Gue emang nggak mabok darat. Tapi kata Mama, buat jaga-jaga aja." Ia membulatkan bibir.

Supir tronton mulai menginjak gas tronton yang dikendarainya, dan kami pun memulai perjalanan meninggalkan Puncak. Angin membelai-belai wajah lelahku dengan lembutnya. Baru beberapa menit, namun buaiannya begitu melenakan, membuatku mulai terkantuk. Hingga akhirnya aku teringat, bahwa ada satu tanya yang menggantung untuk Charisma dan sekarang aku berkesempatan untuk mengemukakannya.

[Bukan] SemenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang