5 - Kenapa, Sakit?

12 7 6
                                    

Dua minggu ini, adalah dua minggu tersibuk dalam hampir lima belas tahun aku hidup. Bukannya hiperbolis, tapi kami memang harus menyiapkan perlengkapan untuk PAB yang ribetnya mengalahkan persiapan orang melahirkan sekaligus menghadapi ulangan harian yang mulai berdatangan sebab materi satu bab pelajaran yang sudah habis. Benar-benar menyita waktu dan pikiran.

Charisma sudah jelas-jelas memprioritaskan ulangan harian. Ya, dua minggu terakhir ini pula, aku tidak pernah melihatnya tidak bergelut dengan buku-buku. Benar-benar ambisius. Sedangkan aku? Ya, aku tahu seharusnya lebih fokus untuk ulangan harian juga. Namun apa daya, tugas membuat nametag warna-warni dengan bentuk yang aneh-aneh itu benar-benar mengalihkan duniaku. Aku bahkan menawarkan diri untuk membuatkan teman-temanku.

Adhi dan Tantri masih begitu saja. Tantri yang tampak agresif, dan Adhi yang semakin ogah-ogahan. Belum ada tanda-tanda akan putus. Aku beberapa kali mendapati serangga dalam tasku, lalu sepatuku juga disembunyikan dalam tempat sampah ketika aku sedang salat di masjid. Tanpa ragu kuhipotesis, Tantri lah pelakunya. Dan, oh, Adhi juga belum memberitahuku lebih lanjut mengenai siapa perempuan yang dimaksudnya waktu itu.

Ah, aku semakin penasaran. Sekaligus berharap.

"Dav! Tronton berapa lo?" Hari ini adalah hari H PAB, dan alih-alih menaiki bus ber-AC, kami justru menaiki truk-truk tronton milik tentara. "Troton 3 nih, Sha. Lo?" Aku menunjuk tronton 3 yang memang tepat berada di hadapanku.

"Oalah, sama anak IT dan paduan suara dong, ya? Gue tronton 4 nih, barengan sama Adhi sama Tantri juga. Duh, takut gumoh gue ngelihat mereka bermesraan sepanjang jalan."

Aisha bergedik, aku tertawa. Aisha memang terang-terangan sekali menujukkan ketidaksetujuannya pada hubungan Adhi dan Tantri. Sedangkan aku hanya memilih diam, memasang muka jengah. Omong-omong, aku, Aisha, dan Adhi memang sudah menjadi semacam trio di kelas.

"Ehm!" Itu Adhi, sontak menmbuat Aisha nyengir tanpa rasa bersalah. "Udah ah, gue mau naik. Bye!" Aku meninggalkan mereka yang barangkali akan meributkan ke-gumoh-an Aisha tadi.

Isi tronton sudah lumayan penuh ketika aku naik. Mengedarkan pandangan ke sekeliling, kuputuskan memilih tempat duduk di paling ujung –susunan tempat dudukya mirip seperti angkot. Supaya angin bisa dengan bebas menyapukan anak-anak rambut ke wajahku. Ada Charisma di sebelahku, tapi aku masa bodo. Kan aku tidak ada masalah dengannya. Yah, kecuali dengan sifatnya yang terkadang suka tiba-tiba gila, dan tingkat ambisiusnya yang sedikit terlalu berlebihan.

"Lo kenapa?" Tanyaku, melihat air mukanya yang tidak setenang biasanya. Ia menggeleng, "wasting time banget nggak sih, kegiatan konyol kayak gini?"

"Ya, nggak apa kali. Hitung-hitung refreshing lah, setelah banyak ulangan harian." Ia mendengus, "tapi ulangan hariannya belum selesai semua. Bahkan pulang PAB ini, besoknya kita harus ulangan matematika."

"Charisma, bisa nggak sih, pikiran lo tuh sekali-sekali diisi hal lain selain belajar? Lagipula gue yakin, Bu Andra nggak sejahat itu, lah! Ulangannya pasti diundur."

"Bu Andra justru nggak sebaik itu." Ekspresinya menyebalkan. Kenapa sih, setiap aku dan anak ini saling bicara, ujung-ujungnya aku selalu dongkol? "Oke, kalau gitu kita taruhan."

"Taruhan gimana?" Dahinya mengernyit menatapku. "Kalau senin beneran ulangan, gue bakal nurutin semua permintaan lo selama satu minggu. Tapi kalau ulangannya diundur, yaudah sebaliknya." Senyumku menantang, "gimana?"

"Maksud lo kayak jadi kacung, gitu?" Aku mengangguk. "Oke," sahutnya.

"Deal?" Tanganku mengulur, menunggu dijabat olehnya.

"Deal!"

҉

Kami sudah menempuh setengah perjalanan, dan aku masih setia menikmati angin yang dengan mesranya membelai wajahku. Aku selalu menyukai angin. Sebab bagiku, anginlah yang membantuku menyampaikan salam rindu pada malam-malam sendu aku menunggunya. Merindu dan menunggu Ayah, tentu saja. Hehe.

[Bukan] SemenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang