[Biru] - Suara Samber

1K 95 6
                                    

Guntur segera memikirkan seribu cara agar dapat kabur dari ruangan dengan suhu 16°C ini. Ibu Yena, dosennya itu mengetahui rencana busuk miliknya. Akhirnya tepat pukul empat lewat empat puluh lima menit, Guntur ditawan di ruangannya.

Ibu Yena adalah salah satu dosen killer dan seumpama guru SMA. Masih menegur siswa yang hendak membolos matkul. Atau memperbaiki penampilan mahasiswa yang seenaknya.

'Ini kuliah atau SMA sebenarnya?' batin Guntur dalam hatinya.

Ia tak pernah berpikir akan berurusan dengan dosen yang berusia setengah abad ini. Dengan kacamata bulatnya, ia menelisik penampilan Guntur.

"Guntur Prakarsa?" tanyanya mengulangi seperti saat memergoki Guntur yang akan kabur.

"Iya Bu, saya."

"Guntur Prakarsa. Jurusan PGSD? Kamu masuk dalam daftar kelas saya benar?"

Sumpah demi kue apem yang baru ia rasai saat di rumah Biru. Suara Bu Yena betul-betul seperti orang tercekik. Suaranya amat samber!

"B-be-betul Bu."

"Kenapa kamu itu?" tanya Bu Yena dengan intonasi yang meninggi. Entah itu karena ia marah atau memang suaranya seperti itu.

"Ah—"

"Permisi Bu."

Suara milik seorang perempuan itu menyelamatkan Guntur. Bu Yena dengan kacamata melorotnya itu langsung tersenyum manis bak buah simalakama.

"Silahkan masuk."

Seorang perempuan mungil dengan kemeja kotak-kotak dan celana skinny jeans masuk membawa sebuah map-yang diduga Guntur itu adalah proposal.

"Dari mading fakultas Bu."

Perempuan itu menyerahkan mapnya. Bu Yena, dengan senyum tersungging manis mempersilahkan perempuan itu meninggalkan ruangannya. Dosen dengan matkul Bahasa Indonesia itu kembali menatap Guntur. Lalu, menyerahkan sebuah kertas kosong.

"Alasan kenapa kamu pulang sebelum mata kuliah saya dimulai."

Lalu meninggalkan Guntur dengan pertanyaan-pertanyaan yang terselip di kepalanya.

'Jadi dia tau kalau den hendak kabur? Alamak! Lampu merah ini!'

Matilah kau Guntur Prakarsa. Alamat disembelih apa kau di rumah nanti!

•••

Pukul tujuh malam. Biru menggerakkan kakinya menuju gedung fakultas. Langkahnya berat seiring lesu yang tak tertahan. Matkul terakhir di hari pertama. Gemersik daun menemani langkahnya melewati gedung BEM. Lalu berkelok saat melihat kantin fakultasnya. Hanya segelintir mahasiswa senior yang sedang nongkrong sambil ngopi-ngopi ria.

Bau asap memenuhi indera penciumannya. Suara genjrengan gitar turut menghiasi sunyinya malam ini. Ketika beberapa mahasiswi setingkat Biru lewat, mereka akan bersiul menggodanya. Menawari bantuan atau sekedar mengajak ngopi di sana.

"Hei kau!"

Biru menoleh saat dirasanya, dirinya terpanggil. Seorang laki-laki yang dikenalnya sebagai presbem alias presiden BEM.

"Ngg ... ada apa ya kak?" tanya Biru sedikit berbasa-basi.

Laki-laki itu menunjuk seorang perempuan. Perempuan itu satu-satunya kaum hawa diantara kumpulan mahasiswa senior. Biru mengenalnya, ia adalah ketua dari mading fakultas.

"Davia minta nomor hp lu."

"Ha?" Biru tak mengerti mengapa perempuan itu meminta nomor telponnya. Ia tidak mengikuti mading fakultas atau sesuatu yang berkaitan dengan perempuan itu.

"Tanya sendiri aja kalau dia hubungin lu. Sekarang mana nomor lu?"

Lelaki itu sedikit memaksa. Biru kemudian merogoh saku celananya dan mengucapkan beberapa digit nomor hpnya.

"Gue yakin 99% dia ngehubungin lu."

"Kalau nggak?" tanya Biru dengan nada menantang.

"99% positif hubungin. 1% kalau dia tiba-tiba sekarat dan mati. Yaudah ya, sana balik ke kelas lu!"

Biru diusir secara verbal oleh kakak seniornya itu. Lalu dia dengan cuek melangkah memasuki gedung fakultasnya. Ada sebuah pohon jambu air yang berdiri kokoh. Di bawah pohon jambu itu, ada kumpulan semak belukar yang tumbuh subur. Ada tongkat-tongkat kayu yang terpasang layaknya tombak kepemilikan.

'Dikira jamannya Portugis apa, pake pasang-pasang tongkat kayak padrao*'

Kemudian, ada suara kikikan perempuan. Biru merinding seketika. Ia menoleh ke arah samping kiri dan kanannya tak ada apapun. Dengan gemetar, ia menoleh ke atas. Ada sebuah kain putih melambai begitu eloknya. Hanya kain putih, tanpa kepala, kaki, tangan atau anggota tubuh lainnya.

Wajah Biru memucat. Seketika ia merasakan darahnya surut. Ia tak takut pada hantu, hanya sedikit parno. Sedikit sekali. Lalu dengan cepat ia terbirit-birit memasuki gedungnya. Tanpa menoleh lagi ke arah mana pun.

"Itu teh si Akang naon?"

"Gatau saya Lis. Udahlah lanjut yang tadi yuk."

Kikikan tadi hanya berasal dari dua orang gadis. Dan mereka manusia bukan hantu. Mari tertawakan Biru Andani, si Batak yang takut hantu.

🐾🐾🐾

Catatan :

Padrao : suatu batu prasasti berukuran besar yang bergambarkan lambang Kerajaan Portugal, yang didirikan oleh para penjelajah Portugal sebagai bagian dari upaya klaim wilayah Portugal, selama Abad Penjelajahan.

Cmiwiw ....

Sil 😘😘😘

Biru dan Langit ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang