Biru mendesah saat menemukan bunga maminya layu. Bunga Kenanga berawarna hijau atau kuning itu layu dengan cara yang amat mengenaskan.
Daunnya mengering, bunganya menjadi cokelat. "Mi! Mami! Mami cepet kesini."
"Apa le?" Maminya datang dengan tergesa-gesa.
"Layu Mi."
"Oalah. Ya sudah nanti kamu beli lagi aja bibitnya. Mami mau goreng tempe dulu."
"Uangnya Mi?"
"Minta Papi ya. Nanti Mami ganti."
Biru mengambil satu bunga kenanga, lalu meletakkannya disebuah wadah. Ia kemudian menghampiri papinya yang sedang memetik buah jambu air hijau menggunakan galah.
"Papi."
"Hmm."
"Bagi uang dikit. Tadi Mami kata minta Papi."
"Pakai duit kau sajalah."
Papinya sedang sibuk memutar-mutar galahnya agar tangkai jambu air hijaunya terjangkau dan terpelintir oleh galahnya.
"Uang Biru nak dipakai untuk itu ujian."
"Ujian apa pula pakai duit?"
"Fotokopi rangkuman Pi."
Papinya berdecak, lalu mengeluarkan tiga lembar seratus ribuan. "Kembalikan dua ratus lima puluh ribu."
"Mana cukup lima puluh saja Pi."
"Ya sudah, ambillah semua. Jangan ganggu Papi sedang petik ini buah."
"Makasih Papi."
Biru tersengum sumringah. Niatnya untuk membeli bibit bunga kenanga berujung dengan pemberian oleh papinya. Lumayan untuk uang tambah kuliah.
"Ruu, Mami nitip spaghetti sama sausnya dong! Satu ya."
"Iya Mi."
Biru menyalakan motornya, lalu meletakkan wadahnya dalam kantong plastik yang ia cantolkan pada stang motornya. Biru juga sempat mengambil topi berwarna putih untuk menutupi kepalanya yang ia perkirakan nanti ia akan pulang saat siang.
Motornya melaju di tengah sunyinya kompleks rumahnya. Masih ada sebagian rumah bekas peninggalan penjajah dibeberapa blok. Langit masih mendung, membuat sepoi angin datang menghampiri Biru.
Ketika sampai depan portal perumahannya, Biru menyapa satpam yang ada di sana. Satpam itu tersenyum karena sudah mengenali Biru.
"Makasih Pak!"
"Sama-sama."
Biru kembali melajukan motornya, berkelok saat dipersimpangan, lalu menaikan jarum speedometer saat jalanan lenggang. Benar-benar hari yang cerah dan menenangkan.
Hari Senin ini, Biru tidak ada mata kuliah. Tapi ia nanti akan datang ke kampus dikarenakan ia akan meminjam catatan temannya. Seharusnya hari ini ia ada jadwal, namun dosennya sedang cuti. Jadi, ia dan teman kelasnya mau tak mau dapat dosen pengganti yang kebetulan hari ini penuh schedulenya.
Bagi Biru tak masalah, asal ia bisa tetap ulangan minggu depan. Apalagi kemarin ia sudah absen kuis karena harus mengantar Mami dan Papi ke rumah saudaranya untuk membantu mengurusi pernikahan.
Biru sampai di toko bunga langganan maminya. Kali ini bukan toko di mana ia bertemu dengan Davia, tapi toko biasa ia beli bibit bunga. Pegawainya tak lain dan tak bukan adalah teman maminya sendiri.
"Pagi Biru."
Biru tersenyum saat mendengar sapaan bernada hangat itu. Tante Hira menepuk depan celemeknya sambil menghampiri Biru.
"Pagi Tante. Biasa nih, mau beli bibit."
Perempuan berusia akhir empat puluhan itu tersenyum lalu mengangguk, "Ada. Bunga apa Ruu?"
"Kenanga Tan."
"Oh, mari-mari. Tante ambilkan dulu."
Tante Hira berjalan ke arah samping toko. Di sana banyak sekali pot plastik berisi pupuk dan tanaman mini yang baru tumbuh kisaran jengkal orang dewasa.
"Liat dulu sini Ruu."
Biru berjalan mengikuti intruksi Tante Hira. Ia menyelipkan tangannya dikantong celananya. Lalu topi putihnya ia benahi agar tak berantakan.
"Mau yang mana?"
Biru berjongkok, melihat tanaman kecil itu. Lalu melihat bibit bunga yang lain. Tangannya menunjuk bibit bunga kenangan seperti yang biasa maminya beli.
"Yang itu aja Tan. Yang biasa Mami beli."
"Tinggal sedikit nih. Bibit yang udah tumbuh tinggal sepohon. Mau yang mana Ruu?"
"Beli yang pohon sama yang masih bibit deh Tan."
"Oke deh."
Biru dan Tante Hira menuju kasir. Kasir itu terdapat suami Tante Hira yang usianya tak jauh berbeda dari beliau. Hanya ada mereka berdua. Sebab Tante Hira tak memiliki seorangpun anak.
"Kapan-kapan mampir ke sini lagi ya. Biar ramai tokonya," ucap suami Tante Hira.
Biru hanya tertawa renyah, "Emang saya apaan Om sampai buat ramai? Oh iya, saya pamit ya. Makasih Om, Tante."
"Hati-hati di jalan ya Ruu. Salam buat Mami Papi kamu."
"Siap Tan! Pamit dulu ya. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Tante Hira melambaikan tangannya di udara. Membuat kepala Biru yang jini telah tertutupi topi lagi dapat melihat dengan jelas. Lambat laun menghilang kala ia berkelok.
'Jadi sedih ingatnya.'
Betapa binar mata keduanya memancar setiap Biru berkunjung. Begitulah rasanya kesepian tanpa diiringi gelak tawa anak-anak atau teriakan ingin ke sekolah. Hanya hidup berdua.
Biru segera melajukan motoenya ke arah persimpangan yang terdapat minimarket. "Tadi suruh beli apa ya?" Gumam Biru saat dirinya berhentk di depan minimarket.
Seketika Biru lupa.
'Tanya Mami dulu deh.'
Biru mengambil ponselnya, menelepon ke nomor maminya. Tepat ketika suara itu sampai ke telinga Biru.
"Biru?"
🐾🐾🐾
KAMU SEDANG MEMBACA
Biru dan Langit ✔
Ficción GeneralC O M P L E T E D 15+ "Jatuh cinta itu mudah, yang sulit itu, hanya pada siapa kita bermuara?" Biru Andani menyukai dua hal, buku dan cokelat. Sedangkan Langit Antara, menyukai tiga hal; awan, hujan dan biru. Langit selalu menatap awan, berharap cem...