[Langit] - Dia Biru

643 59 0
                                    

Attitude itu harga mati!

Kalau kau pintar
Tapi attitudemu jelek
Nilaimu adalah nol

•••
Langit berbohong pada Lintang. Ia memang ke arah kamar, tapi bukan menuju kamar mandi tapi malah bergelung di atas ranjang.

Hari sudah beranjak siang. Langit masih betah dengan kaos oblongnya itu. Ditemani kipas angin yang ia pinjam dari kamar tamu disebelah, ia membuka lembaran buku binder itu.

Bukunya sudah sedikit menguning. Meninggalkan bercak atas setahun lalu. Lembar demi lembar Langit fokuskan pada binder itu.

Semuanya hanyalah kumpulan puisi buatan Lintang dan curhatannya mengenai Biru itu. Anehnya, tiap kali mata Langit memindai nama Biru, ada desiran seolah ia familiar dengan orang itu.

Halaman kesepuluh. Langit akhirnya mendapat deskripsi atas Biru. Lewat puisi Lintang, Lintang menjabarkan bagaimana fisik seorang Biru.

Kedamaian

Warnanya hitam
Laksana malamnya langit
Warnanya cokelat seperti lelehan cokelat
Senyumnya segaris layaknya bulan separuh

Jelmaan dari ketidaksempurnaan
Menjadi suatu variabel lengkap dengan tatanannya
Memberikan kekhasan yang melekat padanya
Seperti apa yang ia katakan

Aku mencintainya
Sungguh
Walau kadang hati berpaling pada yang lain
Tatapanku tetap berhenti padanya

Ia seperti sepoi angin
Lembut dan ringan
Seperti kapas
Yang mengerti arah anginnya

Mengais dalam kekosongan nyata
Menggali dalam lubang ingatan
Kami dua orang yang saling membisu
Membiarkan hening menyatu

Dalam ragam sikapnya
Aku menemukan suatu titik
Tanpa celah
Membuat ketidaksempurnaan itu nyata

Dia ... Biru Andani
Dia ... lelaki yang ku amati
Dia ... lelaki yang kucintai
Dia juga, yang menyakitiku

Langit hanya menatap datar ke arah binder. Merasa bahwa Lintang terlalu hiperbolis dalam mendeskripsikan seorang Biru ini.

'Aneh, ini dia yang hiperbolis atau Aku yang tak tersentuh?'

Alhasil, Langit membalik halaman selanjutnya. Kali ini bukan puisi atau curhatan, melainkan kumpulan quotes sebanyak empat quotes.

Maknanya tak jauh dari jatuh cinta atau hal yang menurut Langit menjijikan. Ia memutuskan untuk menutup bindernya lalu memilih untuk memasak daripada harus mengurusi binder itu.

Langit berjalan ke sudut ruangan untuk mematikan kipas anginnya. Lalu masuk ke dalam kamar mandi. Ia memilih menggunakan shower dan menggosok badannya cepat. Perutnya sudah keroncongan karena tadi baru diisi dengan cokelat dan kue sus saja.

Langit membalut tubuhnya dengan handuk. Memilih sebuah kaos sepertiga lengan dan celana jogger berwarna hijau army. Ia menyisir rambut cokelatnya dan sedikit menggulung ujungnya. Lalu ia kumpulkan jadi satu dan ia ikat tinggi.

Langit mengenakan sandal rumahnya. Dengan santai ia berjalan ke bawah menuju dapur.

Kali ini terlihat Lintang yang sedang menonton televisi sembari mengemil keripik kentang. Di depannya ada segelas jus jeruk. Ia menonton dengan serius.

Di dapur ada pembantu mereka. Sedang menumis kangkung dicium dari aromanya. Lalu ada potongan udang besar dan tepung diujung meja.

"Bi, itu mau buat udang tepung ya?"

Si Bibi yang sedang menumis menoleh, lalu berkata, "Iya Neng Langit. Mau dibuat udang tepung."

"Asik! Aku celupin ke tepungnya ya Bi. Ntar Aku aja yang goreng!"

Langit terpekik senang. Ada dua menu favoritnya hari ini. Udang vesar tepung dan tumis kangkung yang dipenuhi oleh potongan cabai rawit.

Langit lalu menggulung udangnya ke dalam tepung. Ia menggunakan capitan. Lalu ia menyalakan kompor tepat disebelah Bibi yang telah usai.

Bibi menawarkan bantuannya, namun Langit menolak. Akhirnya si Bibi mengalah untuk Langit agar ia menggoreng udangnya.

Sementara si Bibi sibuk menuangkan kangkung ke dalam mangkuk besar, Langit sudah mulai mencelupkan udangnya ke dalam minyak panas.

Sembari menunggu, Langit mengambil kertas karton berisi susu murni. Memang tak ada rasanya, tapi kata mamanya ini menyehatkan.

"Udangnya udah Neng!" seru Bibi yang sedang menyendokkan nasi dari rice cooker ke dalam wadah.

"Iya Bi."

Langit segera mengambil capitan dan saringan. Lalu meletakkan udangnya diatas saringan. Sehabis itu, selang tiga menit Langit mengambil piring yang dilapisi tisu kering khusus gorengan untuk tempat udang.

"Hmm, enak Bi." Pujiannya Langit membuat Bibi tertawa. Merasa bahwa Langit berlebihan.

"Anjrit! Ada udang! Uhhhhhh!" Lintang segera berlari ketika Langit menaruh udang diatas meja makan.

"Eh, yang nggak bantuin nggak boleh minta!" ujar Langit sambil mengambil lagi piringnya.

Lintang cemberut, membuat Langit tertawa. "Ah kamu mah. Nggak bilamg kalau masak udang!"

"Tuh si Bibi. Aku mah nggak tau kalau ada udang juga."

Bibi yang dibicarakan sudah pergi entah kemana. Hanya ada Langit dan Lintang untuk saat ini.

"Mau," ujar Lintang dengan maksud meminta udang tepung.

"Ayo deh kita makan."

"Asik!!!! Langit emang baik deh!"

Langit hanya tertawa renyah. Melihat Lintang tiba-tiba Langit teringat binder itu. Membuat gejolak laparnya menghilang begitu saja.

'Biru itu ... kayak pernah denger di mana gitu'

Batin Langit yang lagi-lagi tak diacuhkannya.

🐾🐾🐾

Jadi laper 😌

Biru dan Langit ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang