Chapter 11

61 7 0
                                    

Taehyung POV

“Appa..”,

Tubuh gagahnya kini lunglai. Bersandar pada sofa hijau yang nampak muram terkena sorot mentari sore.

Lembayung seakan melukiskan seluruh duka di wajahnya yang mulai menua.

Aku menghela napas. Pemandangan ini sungguh menyesakkan.

“Sebaiknya, appa makan..”


Ia hanya menganggukkan kepala. Setidaknya ia mendengarku, itu cukup.

Akupun beranjak menuju meja makan, melangkahkan kaki dengan malas. Kehampaan dan kesepian ini membunuhnya. Ia seakan kehilangan seluruh mimpi-mimpi dan impiannya.
Akupun begitu.

Tak kusangka seminggu setelah kematian Jin hyung, eomma menyusul. Kematiannya begitu tiba-tiba.

Hei, memangnya kematian mana yang tidak tiba-tiba?


Entahlah, kupikir semua itu berhubungan; Chae-rin noona, kemudian Jin hyung dan Eomma. Lalu siapa lagi?

Aku? Atau Appa? Ini hanya tentang aku dan dia.

Lalu semuanya akan tetap pada keabadian yang nyata. Pada kegelapan abadi. Pada kenikmatan yang semu.










“Taehyung..”, suara lirih appa mengejutkanku. 

Aku menghentikan langkah, menoleh terkejut.
“N-ne?”

Aku mendengarnya mendesah panjang.

“Kemarilah..”, ia menggeser duduknya. Mempersilakanku duduk.

“Arraseo”
Awalnya appa masih menatap lurus sinar terakhir lembayung, aku mengikutinya.

Duduk dalam diam yang membunuh Sang Waktu. Pohon mahoni di depan rumah menjatuhkan satu daunnya yang mengering. Kepakan-kepakan sayap merpati yang pulang keperaduan menambah syahdu suasana sore itu. Sungguh ke-syahduan yang fana.

“Apa ini semua karena ulah kami dulu?”, aku menatap wajahnya yang mengeras.

“Apa ini akibat dari perilaku buruk kami dulu?”, lanjutnya.

“Kenapa harus pada anak-anak kami? Kenapa harus sekarang?”, dahiku berkerut.

Apa maksudnya?


Appa menghembuskan napas berat untuk kesekian kalinya. Seakan dengan begitu, sedikit demi sedikit masalahnya akan berkurang.

“Perilaku buruk apa maksudnya? Pada siapa?”, aku mulai lelah menunggunya bicara.

Menjelaskan semuanya.



“Apa harus diceritakan Tae?”, setelah delapan menit duduk berdua, akhirnya mata kami bertemu. Appa menatapku dengan mata sayunya.

Aigo! Bahkan dulu mata itu penuh dengan harapan yang selalu berapi-api. Membuatku bersemangat menjalani hari-hari berat. Membuatku merasakan bahwa aku masih memiliki sosok orangtua yang benar-benar menyayangiku. Membuatku merasa ada.

Aku tak tahan menatapnya lebih lama. Jadi aku memalingkan muka dan mengangguk.

“Arraseo, dengarkan cerita ini baik-baik Tae,”












---
“Eommaa.. ayolaaa.. sekali saja, ne?”, gadis berkepang dua itu sibuk menarik-narik tangan ibunya.

“Ada apa ini? Kenapa kau tarik tangan ibumu eoh?”, sang ayah tiba-tiba datang dan mengangkat tubuh ringannya. Mereka tertawa lebar.

STIGMA [Kth]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang