Bagian 9

11.6K 970 65
                                    

..

..

" Bagaimana kalau ciken barger (Chicken Burger), Dad?"

" Ramen saja, Suke. Lebih hemat."

" Tidak, tidak. Ciken- nya lebih enak, Dad. Itu saja. Lebih keren dan bisa dapat boneka pokemon gratis," Menma menarik- narik lengan baju sang daddy yang tengah menyetir. Ia bahkan mencondongkan tubuhnya melewati tuas transmisi mobil daddynya.

" Aku mau bonekanya sepuluh," tambahnya seraya menunjukkan kesepuluh jemari kecilnya yang montok.

Dari jok belakang Naruto menyahut cepat, " Yang benar saja sepuluh? Perutmu yang kecil itu tidak akan muat makan 10 paket besar Chicken Burger. Lebih baik Ramen saja."

" Tidak. Siapa sudi."

Eh, Curut. Anak siapa punya mulut kurang ajar begini. Tadi pagi saja masih manja- manja eh giliran sudah sembuh benar judesnya amit- amit.

Naruto mengulurkan tangan ke depan untuk mencubit pipi Menma dengan kesal sembari berujar, "Bahasamu, Son. Kendalikan, oke?"

" Mom, jangan pegang- pegang! Aku sedang kesal padamu," menepis cepat tangan si calon mommy dan mengusap pipinya beringas karena cukup nyut- nyutan bekas dicubit.

" Apa? Kau kesal padaku? Baguslah."

" Oh, astaga," Sasuke menghela nafas panjang. " Bagaimana kalau kalian diam saja, telingaku berdenging," tukasnya.

" Mana bisa begitu, Dad. Mommy bandel," Menma menyahut cepat. Melirik sinis pada Naruto yang tak merasa bersalah sama sekali.

" Siapa bilang aku bandel?" Naruto mencondongkan tubuhnya dan menengok si kecil yang bersila di jok depan dengan ekspresi kusut. Menepis- nepis kasar jemari usilnya yang bersemangat mencubiti pipi gembil si bocah yang nyaris seperti bakpao.

" Menma. Naruto," Sasuke mulai jengah. Meminta keduanya diam sama saja seperti meminta kodok terbang.

" Kenapa tidak mau duduk di depan bersamaku?" protes Menma.

" Lalu memangkumu? Jariku sedang sakit karena terjepit pintu, ingat? Mana mungkin aku bisa memangkumu?" Naruto membalas cepat.

" Memang sakitnya merembet sampai kaki? Sampai paha? Yang sakit jari 'kan?" Menma melotot dengan kedua mata bulatnya.

" Ah, anak pintar," Naruto membalas kalem. Menepuk pelan puncak kepala Menma dan kembali menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Bukan, ia bukannya tidak mau duduk dengan Menma, ia hanya tengah menahan diri untuk tidak buang air kecil di mobil Sasuke. Memangku Menma berarti membiarkan kandung kemihnya semakin tertekan dan . . . . cukup, cukup waktu kelas 5 SD saja dia terakhir kali mengompol.

" Chk, Mommy menyebalkan/ Duut."

Eh?

" Menma, kau buang angin?" Sasuke mengernyit. Melirik geli pada sang putra yang melengos dengan wajah merona hebat karena malu. Naruto tergelak setengah mampus di belakang sementara sang daddy hanya mendengus dengan senyum kecil. Kalem sekali pokoknya.

" Berhenti tertawa, Mom. Daddy~" protes si kecil. Meminta bantuan Sasuke untuk menghentikan Naruto.

" Oke. Oke."

Naruto berhenti tertawa.

Menma kembali menghembuskan nafas kasar dan menarik nafasnya kembali dengan cepat.

Hidungnya berkedut.

Astaga.

" Ugh, bau sekali. Dad, buka jendelaku. Aku bisa mati menciumnya lama- lama."

Mom for My Little MenmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang