What's Meant to be Happened, Just Be It

1.8K 132 1
                                    

"Distance sometimes lets you know who's worth keeping and who's worth letting go."
-Lana Del Ray-

Nathan.
Berada di ruangan kubikel kaca ini lagi dan meneruskan pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan. Teman – teman di kantor hanya bisa melongo melihatku datang lagi ke kantor dan meminta pekerjaan, sementara sebelumnya aku dengan jelas menolak segala macam pekerjaan untuk dua minggu ini. Siapa yang tahu jika semua rencana indah yang hendak aku lakukan bersama Anna berakhir seperti ini?

Sudah sejak dua hari yang lalu aku berada di kubikel ini. Tidur, bangun, mandi, makan, bekerja, makan lagi, bekerja lagi, tidur dan seterusnya. Handphone aku biarkan mati di ujung meja. Aku sedang tidak ingin diganggu siapapun. Bahkan aku meminta asistenku untuk tidak menerima siapapun tamu yang mencariku. Dimana lagi aku bisa melampiaskan perasaanku, kecuali dengan tinggal di kubikel ini? Karena di tempat ini, tidak akan ada yang mendatangiku dan bertanya apa yang sedang terjadi padaku.

"Pak, saya mau pulang. Bapak masih mau disini?" asistenku menyempatkan diri masuk ke ruanganku sebelum ia pulang.

"Pulanglah, aku tidur sini." Jawabku tanpa berpaling dari kertas di depanku.

"Besok pesawatnya pukul 9 pagi ya pak." Aku langsung mendongak mendengarnya.

"Klien di Australia." Asistenku menangkap kalau aku lupa dengan jadwal bertemu klien di Sydney. Seminggu ke depan aku akan berada di Sydney. This is what I called as Runaway Trip. Aku pikir setidaknya aku bisa melarikan diri sejenak dari kenyataan pahit ini.

"Ouw, oke. Thanks." Aku meneruskan lagi pekerjaanku dan asistenku menutup pintu dan mematikan beberapa lampu sebelum menghilang dari balik pintu. Hanya lampu di ruanganku yang masih menyala terang.

Aku meletakkan pensil lantas menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Rasanya penat sekali kepala ini. Aku berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh mukaku yang mungkin sudah kusut. Rasa kantuk mulai datang meski aku sudah meminum dua gelas kopi dalam satu malam ini. Jam tanganku menunjukkan pukul 11 malam. Mungkin memang sudah waktunya aku tidur karena sejak semalam aku belum memejamkan mata.

Bayang – bayang akan wajah Anna yang tersenyum bahagia saat menggandeng Harrys di dalam mimpi membuatku terlalu takut untuk tidur lagi. Ketakutan akan mimpi yang sama lebih tepatnya. Terlebih, ketakutan jika itu bukan sekedar mimpi. Mataku menatap bayanganku sendiri di cermin. Bayangan seorang pengecut yang malah memilih melarikan diri saat wanita yang akan dinikahinya hampir direbut pria lain. Aku merasa konyol pada diriku sendiri yang tidak melakukan apapun untuk mempertahankan Anna. Berpura – pura menjadi sok bijaksana dengan membiarkan Anna memilih sendiri dan menerimanya begitu saja.

"Damn!" aku menepuk kaca dengan kasar. Langkah kakiku panjang – panjang saat aku menuju parkiran mobil. Ada sesuatu yang sekarang memompa adrenalinku untuk menginjak gas dalam – dalam ke apartemen.

-00-

Anna.
Ruangan rumah sakit sunyi. Hanya ada aku dan Keylila yang duduk dengan cemas menunggu operasi. Harrys akhirnya terpaksa dioperasi setelah ambruk lagi tadi siang saat bersama denganku. Kalau saja aku lebih bisa mengontrol emosiku sehingga Harrys tidak perlu seperti ini. Memoriku memutar lagi peristiwa tadi siang seiring dengan penyesalanku.

"Aku tidak mau operasi Ann. Kamu pikir setelah operasi keadaanku akan baik – baik saja?" Harrys meninggikan suaranya saat aku memaksanya untuk melakukan operasi.

"Setidaknya kamu sudah berusaha untuk sembuh, rys." Tanganku masih menggenggam tangan Harrys dan aku masih bersimpuh di depan kursi roda Harrys.

"Kamu tahu Ann, aku sama sekali tidak ingin sembuh. Jika sembuh pada akhirnya mengantarkanku untuk kembali pada Keylila dan juga keluargaku. Lebih baik aku tidak akan sembuh Ann. Biar saja penyakit ini menggerogotiku hingga tubuhku menyerah." Tatapan mata Harrys tajam dan aku bisa melihat keseriusan dari ucapannya.

Petrichor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang