11

2.1K 430 10
                                    

Perang. Ini perang.

Ini pernah terjadi, berabad-abad yang lalu. Setelah itu kami hidup dengan damai. Aku tidak pernah tahu rasanya berperang. Yang kudengar selama ini hanyalah sejarah nenek moyang yang diceritakan oleh Ayahku. Dia bilang setelah perang selesai dan sistem dirubah, kata perang tidak pernah terjadi lagi. Untuk saat ini.

Dan kini perang didepan mataku. Akulah yang menyebabkan perang ini. Karena aku ingin merubah sistem tersebut. Sistem yang mengharuskan kami menghilangkan carlossian, dengan cara apapun. Walaupun kelompok kami memiliki cara yang sangat berbeda dengan kelompok lainnya.

"Tuan! Tuan Jimin!"

Seseorang mengguncang tubuhku. Aku kembali tersadar dan disekitarku kini terjadi pembantaian. Orang-orang ini berusaha melindungi pecundang sepertiku. Dan aku malah mencemaskan Seulgi. Kemana Kai membawa Seulgi?

"Argh!!"

Aku terkejut saat sebilah pedang hendak menusukku, namun lebih dulu di hadang oleh Jinwoon dengan kedua tangannya. Bisa kulihat darah yang menetes dan erangan kesakitan darinya. Maaf, Jinwoon, jika saja aku lebih gesit saat ini, mungkin kau tidak harus melindungiku. Hanya saja, fokusku kini pada Seulgi yang menghilang.

"Pergilah, Tuan! Kejar gadis itu!" seru Jinwoon seraya balas menyerang tanpa mengindahkan luka di lengannya. Kepalaku langsung terangguk. Jinwoon benar, aku harus mengejar Seulgi. Maka tanpa basa-basi, aku segera menjauh dari pertempuran. Beberapa musuh mengejarku namun lagi-lagi Jinwoon menghalangi mereka. Suara erangan Jinwoon yang masih terdengar olehku tiba-tiba saja menghilang. Entah apa yang terjadi padanya. Yang jelas, aku berhutang budi pada lelaki itu. Jinwoon adalah pelayan yang baik. Kuharap dia tidak mati dalam perang ini.

Aku memasuki hutan dengan cepat. Jika Kai menginginkan Seulgi untuk mencapai kehormatannya, maka tujuannya tidak lain adalah hutan timur, tempat dimana kelompok sialannya tinggal. Brengsek! Mengingat bagaimana Seulgi akan dibunuh untuk yang kedua kalinya membuatku tidak bisa tenang. Kaki-kakiku semakin cepat, bahkan dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Menguras tenagaku saat aku berhasil mencapai hutan timur dalam waktu yang singkat.

Pemandangan disini sungguh mengerikan. Mayat-mayat berserakan dimana-mana. Bahkan dalam kurun waktu yang singkat, perang ini telah menimbulkan banyak korban. Dan ini disebabkan oleh diriku. Betapa berdosanya aku.

Kulirik langit yang memerah. Sorakan-sorakan terdengar jelas. Semua orang berkumpul. Beberapa bahkan berusaha memanjat tempat yang lebih tinggi. Seseorang muncul dengan angkuhnya, berdehem untuk menutup kegaduhan.

"Saudara-saudaraku! Demi menaikkan derajat kelompok kita, biar kupersembahkan pada kalian...." Lelaki itu mengacungkan tangannya mengisyaratkan sesuatu. Tiba-tiba saja kerumunan terbelah. Aku langsung melotot. Kai menyeret Seulgi yang telah diikat dengan kasar. Wajahnya menunjukkan kepuasan tersendiri.

Bajingan! Aku benar-benar akan membunuh lelaki itu. Juga seluruh orang yang hadir disini. Mereka yang bersenang-senang ketika mengarak Seulgi menuju tempat eksekusinya demi sebuah kehormatan sialan membuatku tidak bisa memaafkan ini. Jemariku terkepal erat. Mataku berubah merah. Taringku memanjang. Urat-uratku timbul. Aku siap untuk bertempur.

Aku tidak main-main dengan kondisiku saat ini. Bahkan dalam hitungan detik, aku telah mencengkram leher seorang gadis yang mengendap-endap dibelakangku.

"Uhuk! Le-lepaskan...a-aku!" Ia mengerang. Berusaha melepaskan cengkramanku dengan tangan kurusnya. Tentu saja aku tidak melepaskannya dengan mudah. Akan kusaksikan kematian kelompok ini dengan perlahan demi memuaskan hasrat liarku.

Gadis itu semakin meronta dan aku semakin mengencangkan cekikanku. "A-aku mengenalnya.... Se-seulgi..."

Setelah nama itu tersebut, maka lepaslah cengkramanku. Gadis itu terjatuh ke tanah sambil berusaha menghirup udara sebanyak mungkin. Bekas cekikan dilehernya menandakan jika aku tidak melepaskannya saat ini, maka ia akan mati. Atau haruskah aku mencekiknya lagi?

"Berani sekali kau menyebut nama itu dengan mulut sialanmu!" cetusku tajam. Tunggu! Sepertinya aku familiar dengan wajah ini. Dia... bukankah gadis yang tinggal serumah dengan Seulgi?

"Aku temannya Seulgi..." ucap gadis itu tersengal-sengal. "Kita pernah bertemu sebelumnya..." lanjutnya lagi.

Benar saja. Aku pernah bertemu dengan gadis ini.

"Namaku Wendy." Ia berusaha berdiri. "Aku tahu kau marah pada kami, terutama Kai..." Wendy berhenti sebentar untuk memegang lehernya. Mungkin efek dari cekikanku membuat tenggorokannya sakit.

"...aku juga marah pada si Brengsek itu. Maka dari itu, ayo bekerja sama menyelamatkan Seulgi. Aku berada di pihakmu. Dan juga, kau membutuhkanku untuk mengalahkan mereka semua..."

Oh, sebuah aliansi.

HoomansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang