07

2.4K 467 67
                                    

"...kau tahu sejarahnya. Kau tahu siapa yang membunuh kakakmu."

Aku masih mengingatnya. Sangat jelas.

Saat itu bulan bersinar sedikit redup. Aku sibuk bermain dengan boneka yang Ayahku berikan sebagai hadiah ulang tahun. Ibu merajut syal untukku dan kakak sedang membaca buku yang ia beli kemarin. Suara burung hantu menggema dari luar, aku sedikit takut jadi aku mendekat pada Ibuku. Aku berumur tujuh tahun, masih terlalu muda untuk mencari mangsa sendiri, jadi malam itu ayahku pergi untuk mendapatkan makanan kami.

Langkah kaki yang diseret terdengar mendekati pintu. "Ayah sudah pulang..." kata Ibu. Lalu wanita itu berdiri hendak menyambut Ayah. Ayahku sedikit pemarah, jika ia tidak mendapatkan sambutan saat sampai di rumah, dia pasti akan merajuk.

Aku sangat tidak ingin mengingat saat itu. Ibu membuka pintu untuk Ayah dan kemudian terjatuh bersimbah darah. Dua orang, tidak, tiga orang berdiri didepan pintu kami sambil memegang sebuah belati dengan darah yang mengalir jatuh. Darah ibuku. Tentu saja aku terkejut, begitu pula kakakku. Dia langsung menarikku kemudian memelukku, menutup mataku agar aku tidak melihat lebih.

"Si-siapa kalian?" ucap kakakku dengan suara bergetar. Dia hanya berjarak tiga tahun lebih tua dariku. Kami masih sangat muda, masih terlalu lemah untuk melawan orang-orang yang menyerang ibuku.

Kudengar suara benda dilempar ke lantai, lalu kakakku menjerit tertahan. Aku tidak tahu benda apa itu sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk mengintip dari sela-sela jari kakakku. Benda itu menggelinding dan membuatku bergidik ngeri. Itu kepala Ayahku. Serentak airmataku menyeruak. Tubuhku melemas.

"Kalian pikir bisa bersembunyi dari kami?"

Orang-orang itu berbicara dan membuatku takut. Tak lama, terdengar sahutan-sahutan lainnya.

"Kita bunuh semuanya?"

"Kita membutuhkan lebih banyak dari mereka untuk menaikkan derajat kelompok. Itulah perintah dari Tuan Besar."

"Beruntunglah kalian karena ini malam purnama."

Itulah yang kudengar. Selanjutnya yang terjadi adalah Ibuku menjerit, aku terlempar dari pelukan kakakku dan tidak sadarkan diri.

Di umurku yang ketujuh, aku menyaksikan penyerangan terhadap keluargaku sendiri. Hanya aku dan Ibuku yang berhasil melarikan diri. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan kakakku. Ibu bilang jika aku tidak perlu mengingatnya lagi. Dan kulakukan itu. Ibu juga tidak mengatakan alasan mengapa kami diserang malam itu. Tetapi Ibu tidak tahu jika aku melihat mata mereka yang mengerikan.

Mata wiviians.

"Seulgi, kau harus memutuskan sekarang!"

Itu seruan Kai.

"Pilih aku atau wiviians sialan ini!?"

Tidak.

"Jangan dengarkan dia, Seulgi. Dia berusaha untuk membunuhmu." Kali ini Jimin.

Apa yang harus kulakukan?

"Seulgi, kelompok timur membutuhkanmu. Kau pahlawan bagi kami."

Kalimat-kalimat itu. "Ibu, aku akan menjadi vampire yang berguna bagi vampire yang lain..."

Kulepas penutup mataku. "Maaf..." desisku saat kuserahkan kembali kain tersebut pada Jimin. Kai berhasil. Ia mendapatkan hatiku saat aku melangkah mendekat padanya. "Tunggu, Seulgi!" Saat mata merah itu menatapku, ketakutan menyelimuti diriku. Sama seperti saat itu. Benar-benar sama. Mata itu, aura itu, Jimin memang seorang wiviians. Wiviians yang telah membunuh Ayah dan kakakku.

"Jika suatu kelompok berhasil membunuh seorang carlossian, maka kelompok tersebut akan mendapatkan satu derajat lebih tinggi dari kelompok lain. Bukankah itu benar, Kai?" Kai mengangguk mendengar pertanyaan dariku. Aku tersenyum. "Kalau begitu... selamat untuk kalian..."

"Seulgi, kau benar-benar akan menyerahkan diri?" tanya Jimin.

"Inilah kutukan kami. Bukankah kau yang mengatakannya padaku?"

"Aku akan datang padamu. Aku berjanji."

Aku ragu, Jimin. Andai aku bukan carlossian, apa kau akan menyelamatkanku?


###

Kurendamkan tubuhku ke dalam air hangat. Aku benci berada di kurungan ini walaupun tidak separah penjara yang biasa ku lihat. Karena aku menyerahkan diri dengan mudah, Kai memberikanku penjara dengan fasilitas terbaik. Sebuah kamar mewah di salah satu tower kastil dengan pintu dan jendela yang berjeruji besi.

"Terima kasih untuk semuanya..."

Akhirnya Kai berbicara walaupun aku tahu ia berada dibelakangku sejak sepuluh menit yang lalu. "Kau melakukan hal yang tepat demi kelompok," lanjutnya.

"Aku melakukannya demi Jimin, bukan demi kalian."

Langkah Kai semakin mendekat. Tangannya menyusuri punggung polosku. Ia duduk disampingku sambil berkata, "Kenapa? Dia seorang wiviians."

Kugelengkan kepalaku pelan. "Kau tidak akan pernah mengerti."

Setelah itu kami berdua tak mengucapkan sepatah kata pun. Kai, lelaki itu menatapku lama. Kutolehkan wajahku saat ia memanggil namaku kecil. Dulu, sebelum kekacauan ini terjadi, aku tidak pernah menganggap tatapan Kai sebagai sesuatu yang serius, tapi kali ini aku bahkan tidak bisa untuk menatapnya lama. Kami berdua orang dewasa. Jadi, saat Kai mulai menciumku, aku balas menciumnya.

Semakin berbahaya. Kedua tanganku terkalung di lehernya. Lidahku bermain dengan miliknya. Bahkan kini aku tidak lagi berada di dalam bak mandi. Hasrat Kai terlalu besar dan mempengaruhi itu mempengaruhi diriku.

"Biarkan aku memilikimu malam ini..." bisik Kai dan disambut anggukan dariku.

Kami hampir melakukan hal yang diluar batas sebelum teriakan-teriakan dari luar menghentikan kami. Sontak aku menoleh pada jendela, menyaksikan langit gelap yang berubah menjadi merah. Dan tanpa sadar, Kai mengikat kedua tanganku.

"Kai! Apa-apaan kau?!" protesku. Lelaki itu menyeringai kemudian mengeluarkan sebuah belati dari balik bajunya.

"Kau tahu? Kau adalah carlossian kedua yang kubunuh dengan tanganku sendiri." Lelaki itu mengelus rambutku lembut. "Yang pertama, tentu saja Ibumu..."

Lelaki brengsek! Aku meronta hebat. Berusaha untuk melepaskan ikatan ditanganku, hanya saja semuanya sia-sia. Kai, sahabatku, lelaki yang baru saja bercumbu denganku, kini mengarahkan ujung tajam belati tepat di wajahku.

"Mereka bilang keluargaku tidak bisa lagi menjadi memegang kekuasaan karena tidak pernah membunuh carlossian. Dan besok aku akan membawa kepalamu ke hadapan para dewan, dengan begitu aku bisa menjadi pemimpin selanjutnya..."

Kini ujung belati itu berpindah tepat di depan jantungku. Dalam sekali gerakan, Kai bisa saja membunuhku. Aku sangat takut sampai tidak bisa menangis. Inilah kematian yang kuserahkan sejak aku memutuskan untuk melangkah menjauh dari Jimin.

"Selamat tinggal...."

"Seulgi!!!"

Itu Jimin. Teriakan Jimin dari luar sana. Aku mendengarnya dengan jelas.

Tapi semuanya terlambat. Aku menyaksikan sendiri bagaimana belati itu mendekat pada jantungku. Ini sudah berakhir.

Pandanganku gelap selama beberapa saat, tapi anehnya aku masih bisa mendengar kegaduhan dari luar. Apa aku mati?

"Bangun Bodoh!"

Kubuka mataku dan mendapati Jimin berdiri di depanku dengan bekas darah di sekitar mulutnya. Matanya merah seperti sebelumnya. Kupandang lelaki yang bersimbah darah di lantai, kemudian kembali menatap Jimin bingung.

"Mengapa kau telanjang seperti itu, Sialan?! Cepat pakai bajumu!"

HoomansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang