About Our Story

9.3K 576 18
                                    

Sinar matahari pagi, yang tembus melalui celah-celah gorden putih.Menyinari dengan lembut kamar yang terlihat seperti kapal pecah. Menyentuh wajah rupawan seorang laki-laki yang masih betah dalam mimpinya.

Meskipun tidak terlalu menyilaukan mata, tetapi pemuda itu merasa terusik. Dengan malas ia membuka matanya dan memperlihatkan onyx kecoklatan miliknya. Sang surya seperti tak mengijinkannya untuk terlelap kembali. Ia segera beranjak dari tempat tidurnya dan mengambil handuk untuk memulai kegiatannya.

Tak berapa lama ia telah siap, dengan kaos putih serta celana jins hitam tak ketinggalan almamater biru dongker lambang mahasiswa teknik. Tak lupa dia menyampirkan tabung gambar di bahu kanannya. Serta tas punggung hitam. Simple tapi terlihat pas pada tubuh tegapnya.

Ia mengambil kunci motor dan bergegas meninggalkan rumah. Tetapi suara bising dari dapur menghentikan langkahnya. Perlahan langkahnya menghampiri pria paruh baya yang sedang sibuk meracik masakan di dapur sederhana rumahnya.

"Kau sudah mandi, Forth?"

"Tentu saja, Dad. Aku bukan laki-laki jorok meskipun aku ini pemalas, "

Pria paruh baya itu hanya tersenyum, tangan keriputnya itu menyodorkan sebuah kotak bekal.

"Aku bukan anak kecil lagi, Dad. Aku rasa akan memalukan jika temanku melihatnya,"

"Ahh kau itu seperti tau malu saja,"

Seketika tawa memenuhi dapur, suara tertawa ayah dan anak itu terdengar mirip. Dengan sedikit paksaan ia pun menerima tawaran bekal itu dan memasukan ke dalam tas punggungnya.

"Lagipula... Ada telur gulung kesukaanmu,"

DEG

Justru Forth alergi terhadap telur. Ia tahu siapa yang sedang dipikirkan sang ayah. Seseorang yang ada atau pernah ada di keluarga ini sangat menyukai telur gulung. Seseorang pembawa kegembiraan dan keceriaan di keluarga ini. Rambut kepang yang selalu ada dalam ingatan Forth. Seragam sekolah yang membungkus tubuh mungilnya.

Seseorang yang sudah meninggal... Kin, sang adik perempuan.

"Dad...bukan aku yang suka telur gulung,"

Ucapan Forth tadi, seakan menjadi pengingat akan seseorang. Tangan yang cekatan itu seketika berhenti, mata tuanya menatap kosong aliran kran air. Forth iba melihat ayahnya yang seperti ini. Sisi terlemah sang ayah mampu membangkitkan kedukaan 2 tahun yang lalu. Diiringi rasa bersalah yang menghantuinya.

"Baiklah... Aku akan membawanya, Dad. Mungkin saat melihat bekalku, si rakus Lam akan menghabiskannya,"

"Forth... "

"Okay, Dad. Aku harus segera berangkat. Dosen killer itu akan menghukumku nanti,"

Ia bergegas meninggalkan rumah itu. Forth paham akan hal yang selanjutnya dibahas ayahnya itu. Hal yang selalu ia hindari. Oleh karena itu ia segera mengakhiri pembicaraan sang ayah.
.
.
.

Motor besarnya melaju melintasi jalan raya yang cukup ramai. Beberapa kali Forth harus menyalip untuk mempersingkat waktu. Secara tiba-tiba saja sebuah mobil SUV putih muncul dan hampir membuat Forth kehilangan keseimbangan.

Mobil itu berhenti tepat di samping Forth. Si pengemudi menurunkan kaca mobilnya.

"Kau tidak apa-apa?"

Suara itu membuat Forth menoleh ke sumber suara. Didapatinya seorang laki-laki dengan kemeja putih dan rapih. Seperti anak orang kaya.

"Ya,"

Jawabnya singkat. Forth segera melanjutkan perjalananya, ia tidak ingin membuang waktunya untuk hal semacam itu.

Meskipun pendengarannya terhalang oleh suara motor besar kepunyaannya, Forth bisa mendengar gerutuan dari seorang pengemudi mobil tadi.
.
.
.
Sang pengemudi menatap jengkel motor yang baru saja pergi. Memang ini kesalahannya karena menelepon sambil berkendara.

"Beam... Suara apa itu tadi?"

"Tadi aku hampir menabrak orang-"

"Ya! Kau sudah gila...Kenapa tidak bilang kalau kau sedang menyetir? "

"Aku tidak tau kalau suara teriakanmu akan mengagetkanku. Ahh... Aku rasa handsfree memang berbahaya untuk berkendara,"

"Hei, Beam. Kau hidup kedua kalinya bukan untuk mati lagi. Pembicaraan kita lanjutkan saja di rumah sakit, "

"Baiklah, Ai Kittty. Sampai bertemu lagi,"

"Siala-"

TUT

Sambungan telepon itu berakhir secara sepihak. Beam hanya tersenyum geli membayangakan reaksi Kit. Ia segera meneruskan perjalanannya.
.
.
.

Beam melangkah di sepanjang lorong rumah sakit itu. Banyak orang yang menyapa dokter muda itu baik itu sesama dokter, perawat atau bahkan pasien. Jas kedokteran tersampir rapi pada tangan kanannya.

Wajah tampannya itu menjadi alasan kenapa banyak orang menyapanya. Senyumnya yang mengalahkan manisnya gula. Wajahnya yang putih diimbangi dengan alis tebalnya itu. Terlebih lagi jabatannya sebagai dokter spesialis bedah jantung. Pintar, mapan, dan tampan. Tuhan memang baik menciptakan mahluk seperti Beam.

PLETAK

Langkahnya seketika terhenti saat pukulan kecil mengenai tengkuknya. Beam berbalik dan mendapati Kit menatapnya jengah.

"Kau ingin kerja atau fashion show?"

"Hehehe... Mungkin keduanya. Lagipula ketampananku ini tidak bisa tertandingi, "

"Kau masih kalah tampan ketimbang, kawan kita Pha,"

"Ahh...kalau si dokter bedah syaraf itu memang tidak ada saingannya, Ai Kittty,"

"Ya! Kau bisa bernasib buruk jika memanggilku seperti itu, "

Ancaman Kit barusan membuat Beam tertawa geli. Terlebih lagi saat Kit menunjukan kepalan tangannya, seakan mengancam untuk meninjunya.

"Oh iya... Katamu ada hal yang ingin kau bicarakan denganku. Apa itu?"

Kit berhenti sejenak, ia memegang pergelangan tangan Beam. Hal itu membuat mereka saling berhadapan.

"Beam...aku rasa pengobatan yang kau teliti itu mustahil untuk terwujud,"

Beam segera melepas genggaman tangan Kit.

"Jadi...kau ingin menyerah? Berhenti lah jika itu mau mu, Kit. Tapi jangan mengajakku untuk berhenti,"

Beam mulai meninggikan suaranya, raut wajahnya yang kesal itu terlihat jelas. Beam segera meninggalkan Kit, ia tak ingin bertengkar dengan sahabat nya terlebih lagi ini rumah sakit.

Kit mengikuti Beam menuju ruangannya.

"Beam... Aku... Maafkan aku, kawan. Bukan maksudku seperti itu tapi-"

"Karena untuk hidupku sampai saat ini. Seseorang harus mati... Dan... Dia... Dia masih berdetak hingga sekarang... Dia... Ada di sini,"

Tangan Beam menyentuh dada sebelah kirinya. Tepatnya pada sumber kehidupannya selama 2 tahun ini.

Drrt

Pembicaraan itu berhenti saat handphone Beam bergetar. Terdapat sebuah pesan yang memang ia nantikan.

"Aku berhasil menemukannya. Alamat serta foto keluarganya sudah kukirim melalui e-mail mu,"
.
.
.
.

To be continued...

God Give Me You | Forth & Beam's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang