Luka batin yang teramat dalam itu, membuat Beam lupa akan segala hal yang ada disekitarnya. Bagaikan kehilangan arah, ia lupa bahwa dirinya telah lama terdiam sembari memeluk lututnya. Bersender pada sebuah pusara yang cukup tertata dengan bingkai foto gadis kecil, tersemat apik di pusara itu.
TIK... TIK...
Rintik hujan yang membasahi wajah seputih salju itu, menyadarkannya untuk segera pergi dari pusara itu. Bunga aster putih yang sempat dibawanya pun, ia letakan dengan baik di depan pusara May. Sembari tersenyum lembut yang menyiratkan sebuah kesedihan, menjadi tanda pamit Beam terhadap May.
Sayangnya tubuh yang biasa sekuat karang itu, sedikit limbung. Kakinya kram karena terlalu lama ditekuk. Beruntungnya ketika Beam mulai hilang kendali atas keseimbangannya. Sepasang lengan yang kokoh telah menahan tubuhnya. Tepat memeluk bagian pinggangnya.
Forth
Beam yang tidak fokus akan hal yang baru saja terjadi. Segera menjauh dari Forth, ia memberi sedikit jarak. Entah sejak kapan Forth ada di sekitarnya.
"Terimakasih... "
Setelah mengucapkan kata itu, Beam segera pergi dari Forth. Sungguh saat ini dirinya tak mampu untuk berpikiran jernih dan sanggup untuk bertemu dengan Forth.
Forth hanya memandang nanar pada pundak sempit Beam. Ia mulai menyadari bahwa fisik Beam semakin mengurus, ia yang terlihat demikian rapuh.
Membuat insting menjaganya meluap demikian hebatnya. Forth beranjak dan menghampiri Beam yang sedang berada di dekat mobil SUV putih. Ia memberanikan diri untuk merebut kunci mobil Beam yang ada dalam genggamannya.
Beam yang tak mengerti maksud Forth, hanya memandangnya heran.
"Kondisimu kini... Tak memungkinkan untuk menyetir, "
Memang benar kondisinya yang sedang buruk kali ini. Bisa mempengaruhi logikanya dalam berkendara. Beam sama sekali tak punya tenaga atau lebih tepatnya bingung meladeni sikap Forth. Dirinya kini hanya mampu menurut akan segala permintaan Forth.
Akhirnya pun Beam masuk ke dalam mobilnya dengan Forth di sampingnya.
.
.
.
.
Mobil SUV putih itu kini memasuki pelataran rumah yang cukup megah. Forth sempat terpesona akan rumah itu, bahkan ketika memasukinya. Semua furniture rumah yang tertata sehingga mampu mencerminkan karakter Beam yang rapih dan bersih.Beam mengajak Forth ke bagian ruang tengah rumahnya. Semacam ruang keluarga yang kebetulan dekat dengan dapur.
"Dokter Beam...? "
Namanya yang dipanggil dengan suara berat itu, menarik Beam untuk menatap ke arah pemuda yang kini berdiri tak jauh darinya.
Mata onyx itu pun bertemu dengan mata sekelam malam tersebut. Forth merasa sedih saat tahu bahwa sinar mata yang hangat itu, kini mulai memudar. Melambangkan sebuah kesedihan yang teramat dalam. Bahkan pipi yang biasa merona hanya dengan panggilan dari Forth mulai menirus.
Dia pasti sering melewati jam makannya...
"Iya? "
"Kau sudah makan siang, Dokter Beam?"
"Belum... "
"Mau mencoba masakanku?"
Beam bisa melihat sorot mata yang memohon itu. Dia sama sekali tak mampu untuk mengatakan tidak, meskipun kini dirinya amat lelah. Dan hanya ingin sendirian. Tetapi Forth, dengan segala pesonanya mampu membuat Beam tak sanggup untuk menolaknya.
"Kalau tidak merepotkanmu... Silahkan saja, Nong... "
"Baiklah... Sekarang kau duduk saja di ruang tengah. Nanti kalau sudah selesai aku akan memanggilmu, Dokter Beam,"
KAMU SEDANG MEMBACA
God Give Me You | Forth & Beam's Story
Romance"Pernahkah kau rindu pada seseorang hingga hatimu sakit, Dokter Beam?" tanya mahasiswa teknik itu. . . . Ketika Beam dengan dosa besar yang menghantuinya, mampu mengobati luka batin yang dialami Forth. Cinta jauh lebih besar ketimbang rasa benci...