Cuma butuh waktu satu setengah jam buat nyampai rumah, walau terasa banget selama perjalan gue ngerasai perasaan campur aduk, dimana gue pengen kayak dulu, gue pengen lempar ejekan ke dia kaya dulu, gue pengen main tatapan sama dia tapi tatapan kita bukan tatapan genit kayak remaja laenya, kalau kita beda. Tapi disuatu sisi gue inget mama gue.
" Ini helm-nya, makasih ". jawab gue dengan tanpa gue sadari tubuh gue menghindar dari Radith, entah apa yang diprogam otak gue ke tubuh gue, seharusnya gue nunggu dia pergi tapi air mata gue menuntut gue untuk lari dari dia, Tapi tangan Radith menahan gue sebelum gue semakin menghindar, Beberapa menit gue sama Radith hanya bertatap muka, gue berusaha menghindar dari tatapanya, gue gak pingin dia liat mata gue nanar karena semua ini, Tapi Tatapan ini yang gue mau.
" Please, jangan siksa gue lagi Ra ". Tatapan Radith makin genggam tangan gue, Tapi gue cuma bisa mentapnya, gue gak bisa apa-apa saat ini, ini yang gue rinduin dari dia, Tapi apa gue masih bisa kayak dulu lagi ke dia.
" Gue tahu Ra, Kamu emang gak nangis, Tapi kamu gak nangis enggak berarti kamu lupa semuanya, enggak berarti perasaan kamu enggak kayak dulu !"
Ucapan itu membuat kaki gue semakin ingin menjauh dari dia, Tapi tangan ini, enggak mau lepas dari semua kenyamanan ini.
" Ra ! "
" Udah Dith, lepasin tangan gue " cuma kalimat itu yang gue bisa ucapin, walau sebenarnya perasaan gue pingin lepas dari kebohongan mulut gue.
Keheningan yang menemani langkah gue kekamar, Radith hanya memandangi gue saat gue menghindar dari dia, Tapi gue harap Radith ngerti kenapa gue ngehindar, gue ngehindar bukan berarti perasaan gue udah gak cinta sama dia, malah semakin gue ngejauh perasaan gue ke dia semakin pingin kayak dulu.
Saat gue dikamar, gue melihat Radith dari balkon kamar gue, gue melihat dia berjalan menuju sepedanya dengan tertunduk, dia melepaskan kemarahan dia dengan menendang kakinya ketanah, gue tahu dia kecewa sama gue, Tapi mau gimana lagi, gak ada jalan lain lagi.
Tanpa gue sadari, gue ngelamun dari tadi sampai gue gak sadar kalau Radith udah pergi. "Tuhan, gue harus gimana?"keluh gue dalam hati.
Gue mutusin untuk turun kekamar Kak Dena, gue mau tahu sedeket apa dia sama Radith, mungkin ini bisa dibilang lancang sih, tapi mau gimana lagi dong, walaupun gue udah ngalah tapi perasaan gue gak bisa bohong.
Kamar Kak Dena, emang enggak besar kayak kamar gue, kamar Kak Dena didesain kecil biar dia enggak kecapekan, kalau kecapekan penyakitnya bisa kumat dan otomatis rumah gue jadi neraka bagi gue. Kak Dena sakit, gue lah yang diasalahin.
" BRUGH!!!"
Semacam notes kecil bergamabarkan burung biru dengan ayunan tua bergelantung pada tangkai pohon yang kokoh menarik minat gue untuk membukanya. Selama ini, buku ini yang gue cari, curahan Kak Dena. Tanpa gue sadari, perasaan gue bener-bener ancur, gue terkejut dengan semua isinya, sejahat inikah gue gak tau penderitaan sodara kembar gue selain penyakitnya. Gue serasa bergetar dengan semua pernyataan notes ini, gue bingung apa yang harus gue lakuin, Mata gue serasa penuh dengan air mata, dada gue sesak dengan semua pernyataan buku kecil itu.
Gue berlari dari kamar Kak Dena, tanpa gue sadari air mata gue gak bisa gue tahan lagi, biasanya gue nangis saat gue bener-bener sendiri, dan tangisan gue makin terisak saat Bibi meluk gue dianak tangga, gue gak tau gue harus gimana, selama ini gue belum pernah ngerasa dihianati dirumah sendiri.
" Non! Non Dira kenapa? bibi bikin salah yah non ?" tanya bibi dengan nada yang terkesan benar-benar khawatir, mama enggak pernah memperlakukan gue kayak gini, memeluk gue, mencium keningpun juga enggak pernah. Gue hanya bisa menangis terisak dengan semua ini, gue gak mau mereka tau apa yang gue rasain sekarang, menahan semua kekecewaan gue itu yang lebih baik sekarang, gue tahu, gue enggak bisa tahan semua ini.
" Dira, enggakpapa kok bi, Dira kekemar dulu yah Bi !" ucap gue dengan tangan gue yang sibuk ngusap air mata gue, entah walaupun gue usap semua air mata gue, luka gue enggak pernah berkurang.
Gue berjalan menunduk menghindar pandangan Bibi, Gue berjalan secepat gue bisa, entah gue enggak bersemangat lagi. " Bi! bibi jangan bilang-bilang siapa-siapa yah?" tanya gue khawatir kalau orang rumah tau gue nangis.
'' Iya non, bibi, enggak bakal cerita ke siapa-siapa, tapi Non cerita yah ke Bibi kalau ada apa-apa?" jawab bibi mantap.
Entah kenapa gue tenang banget dengar nada kekhawatiran bibi, gue nyaman dengan perhatian dia, gue gak pernah ngerasain ini dari keluarga gue.
Gue hanya mengangguk tersenyum tipis, entah hari ini Fake smile aja susah, gue gak mau Bibi makin khawatir, gue berjalan menuju kamar dengan lesu, gue berharap ada yang ngehibur gue, kadang gue juga merasa hampa saat gue bangun tidur tapi enggak pernah sehampa ini.
Kadang gue pikir, gue tahu semuanya, tapi ternyata gue gak tau apa-apa, memang bener kata mama, gue beban atas semua ini. Tapi apa gue bener-bener salah atas semua ini, enggak ada yang pernah bicara tentang ini ke gue.
Jadi selama ini gue gak tau masalah keluarga gue, Penyebab Kak Dena sakit-sakitan, Ternyata semua ini disembunyikan dari gue. Kenapa gue enggak boleh tahu semua ini , Sebanyak itukah masalah yang mereka sembunyikan dari gue, apa mereka enggak anggap gue ada disini.
Apa gue harus nyerahin kebahagiaan gue, untuk menebus semua ini, Apa gue harus sembunyiin semua ini dulu. gue bene-bener bingung, apa yang harus gue lakuin sekarang, apa gue harus jujur ke mereka, kalau gue udah tahu semua rahasia itu.
Gue bagaikan burung yang cuma bisa terbang tanpa tahu apa-apa, apa gue akan terus jadi burung itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nobody Seems Understand Me
Ficción GeneralAdakah jeda diantara semua pengorbanan..... Menjalani hari tanpa pengertian...... Tenggelam dalam semua pengorbanan yang telah mengubah semuanya...