Jakarta, Oktober 2018
Fatimah tersipu ketika pria yang resmi berstatus sebagai suaminya beberapa hari lalu, membisikkan kata-kata manis di telinga. Rayuan dan gombalan yang biasanya terdengar menjijikkan, kini terdengar manis dan magis saat suaminyalah yang mengucapkan.
"Aku sangat bersyukur dan merasa beruntung sekali bisa memilikimu," bisik pria itu sambil mengusap rambutnya. Menghirup aroma sampo yang menguar wangi dari rambut indah wanitanya.
"Terima kasih, atas kesediaanmu menerimaku. Aku tidak bisa berjanji menjadi imam terbaik untukmu, tapi aku akan berusaha," ucapnya lagi.
Fatimah merasakan pipinya memanas, gurat rona merah jambu nampak di sana, membuat suaminya tersenyum kecil tatkala melihat hal itu. Perasaan Fatimah sudah tak menentu, seperti permen nano-nano yang katanya banyak rasa. Apalagi ketika Fahmi, sang suami mulai menyentuhnya dengan sentuhan-sentuhan halus, menghantarkan aliran yang tidak biasa pada tubuhnya.
Ia bisa mendengar Fahmi merapalkan doa saat akan mengecup keningnya, dan saat itu pula terbesit sekelebat bayangan di kepalanya. Sebuah ingatan yang kerap menjadi mimpi buruknya selama ini.
Fatimah berusaha menepis bayangan itu, berusaha memberikan yang terbaik untuk melayani suaminya, namun rupanya ketakutan lebih mendominasi dan kini menyelubungi dirinya. Fatimah tiba-tiba mendorong Fahmi sekuat tenaga hingga Fahmi tersingkir dari atas tubuhnya. Mendapat perlakuan seperti itu, Fahmi menatap wanitanya penuh keheranan.
Fatimah langsung bangun kemudian beringsut hingga ke ujung kepala ranjang, terduduk dengan punggung menempel pada headboard sambil menekuk kaki dan memeluknya, kepalanya ia tumpukan di atas lutut dan tangannya gemetar ketakutan. Mulutnya bergumam tak jelas.
Fahmi bangkit dan mendekat ke arah Fatimah penuh kebingungan. "Fat−"
"Pergi!" Fatimah berteriak masih dengan posisi yang sama. Tanpa menghiraukan teriakan wanitanya, Fahmi tetap mendekat.
"Pergi! Kubilang pergi!" Fatimah masih terus berteriak. Bahkan, ia melempar bantal dan guling yang ada di sekitarnya pada Fahmi.
Fahmi semakin kebingungan dengan sikap istrinya yang tiba-tiba seperti itu. Sementara Fatimah masih di posisi yang sama. Seluruh tubuhnya gemetar hebat. Keringat dingin mengucur di dahi. Jantungnya mulai berdebar kencang, lebih cepat dari biasanya.
"Fatimah ... ini aku, suamimu." Fahmi mengulurkan tangan untuk menyentuhnya.
"Jangan sentuh aku!" seru Fatimah membuat pergerakan tangan Fahmi berhenti di udara. "Pergi...," ucap Fatimah dengan nada gemetar tanpa memandang suaminya. "Pergi!!" Ia kembali berteriak. Fatimah semakin memeluk erat lututnya, terus merapalkan kalimat pengusiran pada sang suami.
Fahmi mengerutkan kening, tak mengerti dengan apa yang terjadi. "Fatimah, ada apa? Apa yang terjadi padamu?" tanya Fahmi selembut mungkin namun gurat khawatir tetap tergambar jelas di wajah tampannya.
"Pergi ... jangan sentuh aku," ucap Fatimah dengan suara bergetar diiringi isak tangis. Ia terus memeluk lutut dengan erat, nampak begitu ketakutan. Kejadian itu terus berulang di otaknya, membuat re-experiencing.
"Hey, tenanglah. Fatimah ... lihat aku," bujuk Fahmi. Namun, Fatimah masih enggan menatapnya. Fahmi menyentuh kepalanya, Fatimah kembali berteriak histeris, meneriaki suaminya untuk tidak mendekat apalagi menyentuhnya. "Jangan sentuh aku! Pergi...!"
Fahmi tak menyerah, ia kembali menahan tangan Fatimah berusaha merengkuh wanitanya ke dalam pelukan meskipun Fatimah meronta dengan segala penolakan. Tenaganya cukup kuat hingga membuat Fahmi kewalahan.
"Jangan sentuh aku! Kumohon ... jangan sentuh aku! Pergii...! Jangan sentuh ...." Fatimah tak hentinya histeris sementara Fahmi berusaha menenangkannya. Lama-lama suaranya pun mulai terdengar tersendat-sendat dan semakin memelan. Ia juga terlihat kesulitan bernapas, suaranya lebih terdengar seperti cicitan. Hingga akhirnya Fatimah tak sadarkan diri.
***
Hai, cerita ini kembali aku publish dengan sedikit perbaikan atau revisi, semoga lebih enak dibacadan lebih dapat feel-nya.
Insya Allah, akan saya selesaikan sampai akhir.
Selamat membaca! :)
Semoga suka 😊Salam kangen.
Tinnya Najmi 💙
Subang, 22 September 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekeping Rasa di Balik Luka (ON HOLD)
General FictionRasa, memang begitu hebatnya. Cinta, memang begitu dahsyatnya. Bisa menjadikan sumber harapan, atau sumber keputusasaan. Ketika hadir, cinta di atas cinta. Sekeping rasa yang tak seharusnya ada. Sekeping rasa yang ia biarkan tumbuh namun malah meni...