Plak!
Sebuah tamparan keras tepat mengenai pipi kiri seorang pemuda berseragam lusuh dengan wajah yang lebam. Pemuda itu melirik wanita paruh baya yang sekarang sedang menahan tangis, ia meneguk salivanya kasar sebelum membuka suara.
"Bu, aku hanya membela diri, bukan menantang." Pemuda itu mencoba meraih tangan si wanita paruh baya yang diketahui adalah Ibunya.
"Jangan berbohong Joo Haknyeon! Kau fikir ibu tidak tahu?!" Haknyeon, si pemuda dengan pakaian seragam lusuh dan wajah lebam tadi hanya diam. Ia tidak ingin melawan Ibunya, jadi yang dapat ia lakukan hanya satu, yaitu diam."Ibu malu, kau tahu? Apa kata ayahmu di surga saat melihatmu seperti ini!" Nyonya Joo menaikan suaranya dan langsung mengambil gagang telephone di dekatnya, menekan tombol demi tombol angka untunk menghubungi seseorang. Haknyeon tetap diam, nafasnya tak beraturan, ia mencoba untuk tidak bergerak sedikitpun saat ini. Jujur, ia takut, takut Ibunya benar-benar akan mengirimnya ke tempat asing, dimana tidak ada seorang pun yang ia kenal, dimana tidak ada sapaan hangat atau cerita-cerita di masa lalu yang sering diceritakan Ibunya, kenangan Joo Haknyeon dengan sang Ayah, yang pada akhirnya seluruh kenangan yang dialami Haknyeon harus dikubur bersama dengan kematian Ayahnya. Semuanya berubah setelah langkah terakhir Haknyeon yang keluar dari tempat pemakaman. Sang Ibu yang sikapnya menjadi sangat berbanding terbalik dengan Ibunya yang dulu ia kenal, dan dirinya yang selalu mendapat perlakuan buruk, caci makian, dan lainya.
"Ya?...cepat kau kemari dan bawa anak ini ke tempat itu." Nyonya Joo langsung menutup sambungan dan dengan kasar menaruh gagang telephone itu. Ia menatap tajam putranya yang sekarang tertunduk tanpa berkata-kata.
"Kau, cepat bereskan barang-barangmu." Haknyeon menurut, ia tidak ingin mendapat gertakan lain, dengan pasrah ia menaiki tangga menuju kamarnya, membuka pintu kamar dan mulai membereskan pakaian dan barang-barangnya. Haknyeon ingin menangis, bukan karena dirinya, namun karena sang Ayah yang harus pergi dan membuat semuanya menjadi seperti dunia yang lain, dunia yang baru. Haknyeon tidak membenci sang Ayah, ia sangat menyayangi beliau, namun mengapa kematian itu harus berimbas pada kehidupanya ke depan? Kehidupanya yang harus menjadi hitam tanpa adanya titik terang?
Haknyeon tertegun, ia mengambil figura foto berisikan foto dirinya dan sang Ayah. Tanpa sadar ia menitikan satu tetes air bening yang jatuh tepat mengenai foto itu, Haknyeon menangis.
"Semuanya, salahku. Bukan salah Ayah atau Ibu. Semuanya salahku."
•••
Haknyeon sekarang sedang bersama pamanya menuju ke sekolah asrama yang akan ia tempati, sementara masalah sekolah lama Haknyeon sudah diurus oleh Ibunya.
"Kau tidak apa?" Tanya sang paman sembari menoleh kearah keponakanya.
"Hm. Tidak apa." Haknyeon mengalihkan pandanganya ke jendela, ilalang menjulang tinggi menghiasi kiri dan kanan jalan yang mereka lewati sekarang, tempat ini benar-benar asing, bahkan Haknyeon sendiri tidak tahu tempat ini ada.
"Aku yakin kau akan betah berlama-lama disana." Haknyeon menggumam sebagai jawaban, ia masih sibuk mengamati pemandangan diluar jendela, sampai akhirnya mereka melewati sebuah pemukiman warga, dimana keramaian menjadi dominan. Haknyeon mengitari pandanganya, suasana ini benar-benar klasik, mungkin karena penduduknya 90 persen sudah tertanam dalam diri adat istiadat turun temurun yang kental.
Paman Joo meneruskan perjalanan hingga sampailah mereka ke halaman depan sebuah kastil besar dengan patung singa dengan sayap yang membentang di sisi kiri dan kanan pintu utama, kastil ini bernuansa sangat gelap, dengan taman bunga mawar berwarna hitam.
"Masuk dan jalan terus hingga menemui sebuah meja besar dengan lelaki tua, namamu akan dipanggil disana karena aku sudah mendaftarkanmu sebelumnya." Oh, apakah Ibunya sekejam itu? Menitah Pamanya sendiri untuk lebih cepat mendaftarkan dirinya di tempat seperti tempat 'buangan' begini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Phobos and Deimos - HakWoong
FantastikHerlig, asrama dimana seluruh siswanya 80% anak yang 'tidak di-inginkan' di keluarga mereka. Suatu hari, anak tak di-inginkan lainya datang dan membuat seluruhnya berubah. "Phobos dan Deimos, kuda tunggang dewa perang, ares yang pemberani." -Jhn. [...