Matcha Latte

910 41 11
                                    


Saatnya online time! Saat Sandra tidur siang adalah saat istirahat terbaik. Inilah saatnya bisa bebas berselancar di dunia maya. Lumayan mengurangi jatah 20.000 kata yang katanya wajib dikeluarkan perempuan dalam sehari.

Ada chat dari My Love di urutan teratas. Tumben-tumbenan mengirim foto. 

"Untuk Penggemar Sejati Matcha Latte. Do you remember?" begitu captionnya di bawah foto secangkir matcha latte yang bubuk matcha-nya dibuat berbentuk 2 hati di atas busa-busa latte.

Aku tersenyum. Semua prasangka tentang teller cantik langsung lenyap seketika. Ternyata dia ingat. "Sure, I do," ditambah emoji tertawa terpingkal-pingkal. "KM 0 cinta, #eeeaaaa," tambahku dihias dengan 3 emoji ciuman.

Semua gara-gara tsunami di Aceh. Lolita, anak sastra yang sekamar denganku memohon-mohon untuk membeli tiket pagelaran puisi Baris-baris Cinta Untuk Aceh, "Tolonglah, Kakak. Seluruh hasil penjualan tiket akan disumbangkan ke Aceh, membantu anak-anak yang jadi korban tsunami disana."

"Iihh, Loli," anak ini sudah tahu kalau urusannya anak-anak, pasti hatiku luluh seketika, "iya, deh. Satu aja. Bookingin aku tempat di depan, ya. Aku ngga mau dirayu sama anak-anak sastra yang katanya jago ngegombal."

"Ah, gosip itu, Kak. Mereka hanya jago di tempat tidur," Lolita langsung kabur sebelum kutimpuk dengan bolpoin.

Begitulah ceritanya sampai aku menorehkan sejarah, pertama kali masuk kafe. Lolita menepati janjinya dengan menyiapkan satu meja paling depan khusus untukku. "Silakan duduk, Kakak," Lolita mengambil tulisan reserved dari atas meja dan menarikkan kursi untukku.

"Terimakasih, Adik Manis, servisnya sangat memuaskan," kuberi satu senyuman ditambah kedipan nakal.

"Jangan lupa testinya, ya Kakak," lalu kami pun tertawa bersama.

Duduk sendiri di meja paling depan rasanya lebih aman dari gangguan. Hari ini aku akan berusaha menikmati puisi. Baris-baris Cinta Untuk Aceh, katanya. Baiklah, mari kita lihat, setinggi apa rasa seniku.

"Assalamu'alaikum, Mbak. Boleh saya duduk disini? Tidak ada lagi bangku kosong, maaf," seorang lelaki berjenggot dalam balutan baju batik bermotif pesisir menundukkan badan menyapaku.

Kulihat sekeliling, kafe ini sudah penuh. Malah di pojok sana ada laki-laki dan perempuan pangku-pangkuan di satu bangku. Kulempar senyum pada lelaki berjenggot di hadapan sambil memberi anggukan tanda persetujuan.

"Makasih, Mbak," dia pun duduk.

Rencananya duduk sendiri menikmati puisi. Tapi ini malah duduk dengan laki-laki, berjenggot pula. Hadduuhhh, ngga ada nikmat-nikmatnya.

Aku tak pernah suka laki-laki berjenggot. Mereka mengingatkan pada anak-anak Rohis yang mudah sekali mengkritik orang lain. Yang tidak pakai kerudung, disuruh pakai kerudung. Yang sudah pakai kerudung dibilang kurang panjang kerudungnya. Yang sudah panjang kerudungnya dibilang kurang menunduk kepalanya. Ih, kapan benernya, sih?

"Sendiri, Mbak?" ya ampun! Ngapain dia berusaha mengajak bicara? Ngga takut dibilang genit? Ntar dimarahin sama murobbi-nya, loh.

Jawab dengan senyuman aja. Sedang malas bicara.

"Sudah pesan, Mbak?" sekarang menyodorkan daftar menu padaku. "Saya traktir, ya minumnya. Sebagai rasa terimakasih sudah memberi kesempatan saya duduk disini, semeja dengan Mbaknya."

Eh, gratis minum? Boleh, deh. Aku mengambil daftar menu yang disodorkannya. Tapi nama-nama minumannya bikin alis bertaut. Jika tak ada kata 'minuman' di bagian atas menunya, mungkin aku tak tahu kalau nama-nama itu merujuk pada sesuatu yang bisa diminum. 

Minum apa, ya? Frappuccino? Ah, terdengar seperti anak kecil.

Chococino? Ih, genit banget. Mengucapkannya saja harus memonyongkan bibir lama sekali.

Ah, ini saja. Terdengar seksi dan elegan, "Matcha Latte."

"Oh, Mbaknya suka matcha, ya?"

Kuberi senyuman pahit. Entahlah, aku bahkan tak tahu seperti apa rasa matcha latte. Di dalam hati hanya berharap, semoga lidah ini sanggup menghabiskannya, aamiin.

Setelah memesan pada pelayan, dia mulai bercerita, "Tau, ngga sih, Mbak. Beberapa suku di pedalaman Cina masih memakan daun teh, lho."

"Daun teh? Dimakan?" spontan aku melupakan rencana sok jaim dan langsung bertanya. Saat itu aku pun tak tahu ada hubungan apa antara daun teh dan matcha.

"Iya, jadi lalapan gitu."

"Dimakan mentah, dong?"

"Iya, gitu deh. Mungkin sama seperti orang Peru yang juga makan daun coca."

"Daun coca? Yang buat cocain?"

Lalu percakapan pun mengalir. Hingga akhirnya Lolita mencolekku, "Kak, mau pulang bareng?" 

Aku menatap panggung tepat di hadapan, "Acara udah selesai?"   

Sampai sekarang, aku masih menahan tawa mengingat malam itu. Bisa-bisanya tak ada satu pun dari kami yang sadar bahwa acara sudah usai. Dan puisi apa yang digelar malam itu? Baris-baris Cinta Untuk Aceh? Kenapa lebih terasa seperti Baris-baris Cinta Untuk Lelaki Berjenggot?

Tadinya kukira semua selesai begitu aku sampai di kamar kos. Ternyata kisahnya masih berlanjut seminggu kemudian. Sebuah amplop coklat seukuran folio tergeletak di meja belajarku. "Dari Bang Hafizh," Lolita memberi informasi. 

Sampul depannya tertulis, "Proposal Hidupku, Untuk Penggemar Sejati Matcha Latte". Aku langsung tahu, siapa itu Bang Hafizh.

"Sejak kapan Kakak suka matcha?" pertanyaan Lolita membuatku tertawa.

"Sejak sekarang," Ah, sudahlah! Tak perlu dipusingkan, apakah aku benar-benar suka matcha latte, atau hanya sedang dimabuk cinta.

Happy AnniversaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang