- dua puluh satu -

155 29 12
                                    

Sudah lima belas menit berlalu setelah Hansung duduk di sebuah kedai kopi perbatasan desa, namun wanita yang ia tunggu tak kunjung datang. Sesekali ia menggosok tangannya gugup, sekaligus melawan dinginnya angin pagi.

"Hyun— ehm, Kim Hansung?"

Pria itu mendongak, mendapati wanita yang tempo hari ia temui — dan memanggilnya dengan nama yang sama — tengah berdiri di depannya.

Hansung berdiri. "Nyonya Shin Jihyun?'

"Iya." Wanita itu mengangguk. "Maaf, saya agak terlambat."

"Enggak apa-apa, Nyonya Shin. Silahkan duduk."

Nyonya Shin memperhatikan pria dihadapannya beberapa lama. Memangnya di dunia ini, ada ya dua orang yang mirip banget kayak gini?

"Nyonya Shin, mau pesan apa?"

"Ah, ehm. Satu teh hangat aja."

Hansung mengangguk, lalu memanggil seorang pelayan untuk memesan minuman. Sejurus kemudian, mereka terdiam beberapa lama dan belum membuka percakapan apapun. Sesekali Hansung melirik wanita paruh baya di hadapannya, yang bahkan tak berani menatap langsung padanya.

Jika diperhatikan lebih detail, Shin Jihyun tengah mengkondisikan dirinya yang gemetaran.

Setelah pesanan mereka datang, akhirnya Hansung memberanikan diri untuk membuka percakapan.

"Sebenarnya.. tujuan saya minta ketemu itu.. saya mau minta tolong."

"Iya?"

"Ada hal yang mau saya tanyakan.. dan saya harap, Nyonya Shin bisa bantu saya dengan menjawabnya, sebenar-benarnya."

Nyonya Shin mulai menebak arah pembicaraan Hansung. Apa mungkin..

"Nyonya Shin.. kenal sama saya?"

***

Yoori. Om Im email gue kemarin. Katanya nomor dia ganti. Terus dia bilang, secepatnya dia mau ke Seoul sama Tante, nemuin lo. Gue juga udah kasih nomor lo ke dia, nanti dia hubungin lo langsung.

Pesan singkat dari Hyunah seketika membuat mood-nya membaik hari ini. ia tersenyum sendiri hingga tak menyadari kedatangan Seunghee di hadapan mejanya.

"Duh, sumringah banget."

"Eh, Seung— Guru Oh." Yoori tertawa. Ia hampir lupa bahwa mereka sedang berada di lingkungan sekolah.

"Yuk, ke kantin. Udah jam istirahat."

"Caw." Yoori mengambil tas kecilnya.

Sepanjang perjalanan menuju kantin, Seunghee menatap ekspresi Yoori yang terlihat begitu sumringah.

"Dari cowok ya?"

"Apaan sih. Bukan."

Gadis bermarga Oh itu menyenggol lengan sohib barunya. "Siapa dong? Kepo nih."

"Dari cewek kok. Ih, dasar curigaan."

Seunghee tertawa, lalu menggandeng lengan Yoori. "Yoori, sebenernya aku mau minta tolong sama kamu. Tapi kamu.. jangan marah ya?"

"Minta tolong apa emang, Hee?" Yoori menoleh, memandang Seunghee yang tengah menghela napas panjang.

Dan gadis itu memutar otaknya, menyusun sekumpulan kata yang tepat untuk ia utarakan pada Yoori agar ia tak salah paham.

"Jadi.. aku.. mau coba kenalin kamu sama seseorang—"

"Hah, kamu kayak Mama aku aja deh. Aku udah capek minta dijodoh-jodohin begitu, Hee." Padahal Yoori belum pernah menyanggupi perjodohan dari orangtuanya, ia terlanjur marah dan keluar dari rumah.

Seunghee mulai memasang wajah memelas. "Sekali aja. Anggap aja blind date. Aku yakin kamu juga suka sama dia. Dia.. baik banget, Ri."

"Hee." Wanita itu menghentikan langkahnya dan menatap teman disampingnya itu. Seunghee menggigit bibir bawahnya, gugup.

"Ya.. aku tahu, kamu pasti belum bisa move on dari suami kamu. Tapi ya.. bukannya Uncik juga butuh Papa?" Seunghee menggenggam tangan Yoori. "Biarpun kamu temen baru aku, tapi rasanya aku udah deket banget sama kamu. Dan aku.. pengen kamu punya kehidupan yang jauh lebih baik."

Yoori tersenyum. "Lama-lama kamu jadi agen mak comblang di TV-TV gitu deh, Hee."

Seunghee mencubit lengan temannya. "Cih. Jangan dong. Entar malah pada naksir sama aku dong yang mau dicomblangin."

"Hahaha."

"Jadi kamu mau, Yoori? Sekaliii aja, cobain. Abis itu aku enggak akan minta kamu lagi."

"Gimana ya.."

"Kalo enggak jadi, mungkin kalian bisa tetep jadi temen."

Hmm, enggak ada salahnya dicoba sih.

"Yaudah. Call."

Mata Seunghee berbinar, tentu saja. Artinya ia sudah melangkah satu tahap ke depan untuk membahagiakan tiga orang yang ia sayangi.

***

"Sebenarnya, kamu lebih tau saya dari pada saya tahu kamu. Kita baru ketemu satu kali. Kamu yang ngumpulin berkas indentitas saya dalam sebuah amplop coklat, terus nunjukin berkas itu sama saya. Berarti.. kamu yang sudah lama tahu tentang saya."

"Dulu kita ketemu disini."

"Hyunsik itu.. nama kamu, waktu itu. Saya ingat banget. Kamu berulang kali nelpon saya dan minta ketemu."

"Kamu juga kenal sama ayah kandung Jihyun."

"Kamu tahu rahasia saya. Tapi kamu juga udah janji buat enggak ngungkit lagi masalah itu.. demi kebaikan ayah Jihyun."

...

Informasi dari Shin Jihyun yang bertubi-tubi itu membuat kepalanya terasa berputar. Rasanya ia baru saja diberi beberapa keping puzzle baru tanpa mengetahui posisi yang tepat untuk meletakan setiap kepingan itu agar tersusun menjadi sebuah penerangan.

Segera ia raih segelas air putih dan meneguknya hingga tandas. Menghela napas panjang sambil memejamkan mata, ia mencoba menahan isi kepalanya yang terasa berkecamuk dan berlomba-lomba meninju ingatannya.

***

"Maafin Yoori Ma, Pa."

Nyonya Im menggenggam tangan Yoori, erat. "Mama sama Papa memang sedih kehilangan Hyunsik. Apalagi Mama kecewa sama Mama kamu yang minta perceraian itu. Tapi..nyatanya, kamu Yoori, kamu yang paling menderita diantara kita semua. Lihat, ya ampun. Kamu kurus banget." Wanita paruh baya itu berurai air mata.

"Sudahlah. Kita introspeksi diri masing-masing, ya." Tuan Im menanggapi suasana mengharu-biru itu senetral mungkin.

Tangan kurus Yoori mengusap pelan air mata Mama mertuanya dengan lembut. Ia begitu merindukannya, pun merindukan ayah dan ibu kandungnya.

"Ma, Pa. Yoori senang banget Mama sama Papa bisa datang kesini, di saat yang tepat. Ada yang mau Yoori sampaikan."

"Tentang apa, Yoori?"

"Tentang Bang Hyunsik."

Isak tangis ibu mertua Yoori itu terhenti. Begitu pula dengan Tuan Im yang mengerutkan dahinta mendengar nama itu disebut.

"Yoori..ketemu sama bang Hyunsik. Tapi namanya lain. Namanya Hansung. Kim Hansung. Dia kerja di Perkebunan Apel Kang."

Mereka saling melempar pandang saat mendengar uraian janggal menantunya. Merasakan hal yang sama — tak percaya, dan khawatir sang menantu mulai gila.

-l.o.s.t-

LOSTWhere stories live. Discover now