# Comeback

220 8 0
                                    

Tak terasa waktu bergulir begitu cepat. Sudah tiga tahun aku meninggalkan Indonesia dan hari ini aku akan kembali ke tanah air tercinta. Namun, tidak ada satu pun yang tahu bahwa aku akan pulang hari ini. Aku sengaja merahasiakannya, agar nantinya semua orang kaget dengan kepulanganku yang tiba-tiba.

Begitu pesawat landing di bandara, hatiku terasa begitu bahagia. Sudah tidak sabar rasanya tiba di rumah.

Aku berjalan dengan membawa dua koper dan tas kecil yang menggelantung di leherku. Sama persis dengan barang bawaanku ketika ingin pergi dulu.

Tampak dari kejauhan aku melihat seseorang yang sepertinya tidak asing. Dari belakang dia seperti dokter Abi. Aku menghampirinya. Dan ternyata aku salah, dia bukan dokter Abi. Dia adalah dokter Tatra. Dia menatapku dan tersenyum.

Mengingat perlakuannya dulu, aku tidak memberikan respon apa pun dan berlalu meninggalkannya. Namun, dia terus mengikutiku dan berusaha mengajakku ngobrol.

"Gue minta maaf kalau kemarin-kemarin sikap gue kasar. Bagusnya kita jadi teman aja" ujarnya dengan senyuman.

Langkahku terhenti dan menatapnya nanar. Aku berusaha membaca apa maksud dari kata-katanya. Ternyata orang seperti dia bisa berubah dalam waktu tiga tahun. Yang dulunya kasar menjadi baik dan tidak kasar lagi. Meskipun intonasinya masih belum berubah sepenuhnya.

Dia menyuruhku naik di dalam mobilnya. Entah apa yang membuatnya berubah kepadaku. Meskipun tidak bisa dipercaya, namun sekarang sudah terbukti. Dia bisa berubah menjadi lebih baik.

"Makan yuk. Gue lapar nih" ujarnya kepadaku.

"Nggak" jawabku singkat.

Dia tidak menghiraukan jawabanku. Dia menghentikan mobilnya tepat di depan restoran seafood. Dengan soknya dia menyuruhku untuk segera turun dari mobil.

Aku terdiam melihat tingkahnya yang semakin aneh. Aku masih tidak habis pikir kenapa dia seperti ini kepadaku.

"Lama amat, ayo" ajaknya untuk kesekian kalinya.

Dan akhirnya aku benar-benar makan bersamanya. Aku merasakan hal yang aneh. Makan bersama dengannya membuatku tidak selera makan, meskipun cacing-cacing diperutku sudah memberontak dari tadi.

Tidak sama halnya denganku, dokter Tatra begitu lahap menyantap makanannya. Sungguh bersemangat. Dia bahkan tidak sadar kalau telah menghabiskan jatahku juga.

***

Dokter Tatra ingin mengatarku ke rumah, namun aku meminta agar diantar ke rumah sakit saja. Hatiku rasanya lebih rindu dengan RS Aurora dibanding dengan rumah. Kalaupun pulang sekarang, pasti ayah dan ibu juga tidak ada di rumah.

RS Aurora sama sekali tidak berubah. Tetap sama seperti dulu. Aroma rumah sakit sudah tercium olehku sejak di bandara tadi.

Aku sudah berkeliling rumah sakit setengah jam, namun kakek dan Mas Abi belum tertangkap oleh mataku. Mungkin mereka sibuk.

Langkah kakiku kembali berlanjut. Menyapa semua orang yang aku temui, mulai dari dokter, suster, dan pasien.

Dari kejauhan, akhirnya mataku menangkap sosok dokter muda yang kucari dari tadi. Kakiku perlahan melangkah ke arahnya. Dia tampak berbincang-bincang dengan seorang ibu-ibu.

Aku memperhatikannya dari jauh. Setelah obrolannya selesai dengan ibu itu, aku mulai melangkah lebih cepat. Karena sedang memainkan Hp, dia tidak melihatku.

"Khem, khem. Pak dokter sibuk yah?" ujarku setelah berada tepat di depannya.

Begitu melihatku Mas Abi terdiam. Dia menatapku. Melihatnya seperti itu aku tersenyum dan kemudian tertawa.

Dia masih terdiam. Aku menegurnya. Kemudian dia tersenyum lalu tertawa. Setelah itu kami saling berbalas senyuman dan tawa.

"Kenapa nggak bilang kalau mau pulang?" tanyanya dengan ekspresi sok marah.

"Biar surprise gitu" jawabku lalu tertawa.

Kami berjalan bersama dengan sejuta topik. Sesekali bercanda dan mengarah yang lebih serius. Dan sampai pada akhirnya Mas Abi menanyakan kotak yang diberikan kepadaku waktu itu.

Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku tidak tahu akan memberikan alasan apa agar Mas Abi tidak marah. Kotak itu hilang. Hilangnya aku tidak tahu persis di mana. Padahal waktu itu aku menaruhnya di dalam tas dengan rapi.

Niatnya, kotak itu akan aku buka begitu berada di dalam pesawat. Namun begitu aku ingin membukanya, kotak itu sudah tidak ada di dalam tasku. Dan penyebab hilangnya kotak itu adalah karena bagian tas yang aku tempati ternyata sobek. Aku juga sebenarnya bingung kenapa tas itu bisa sobek, padahal sewaktu masih di rumah tasnya masih dalam keadaan baik-baik. Utuh. Tidak ada yang sobek sedikitpun.

Melihat ekspresiku yang kebingungan Mas Abi terus bertanya-tanya.

"Anu...Itu... Kotaknya hilang" ujarku terbata-bata wajah penuh penyesalan.

Begitu mendengarnya, Mas Abi menunduk. Kemudian menghela napas panjang. Aku tahu ekspresi seperti itu bukan milik Mas Abi. Dia berusaha tersenyum. Meskipun aku tahu ada rasa penuh kecewa dibalik senyuman itu.

"Maaf yah Mas. Aku benar-benar nggak sengaja" ujarku kemudian dengan suara memelas.

Mas Abi kembali tersenyum kepadaku. Menatapku sebentar lalu kemudian menunduk kembali.

"Nggak apalah. Isinya juga nggak penting" jawabnya dengan senyuman lagi.

Setelah itu Mas Abi pergi. Katanya masih banyak kerjaan yang menunggunya. Aku mengiyakan apa yang dikatakannya. Aku hanya bisa melihatnya melangkah pergi dariku. Jauh dan semakin jauh. Sampai pada akhirnya tidak terlihat olehku.

Sekarang aku semakin merasa bersalah telah menghilangkan kotak itu. Kalau saja aku yang berada di posisi Mas Abi sekarang, pasti hatiku akan sangat-sangat kecewa. Bahkan bisa marah. Namun apa yang diperlihatkan Mas Abi tidak seperti yang kubayangkan. Dia bisa tersenyum. Meskipun hatinya tidak tersenyum. Senyuman itu hanya untuk membuatku tidak merasa bersalah.

Setelah itu aku pulang ke rumah. Sesampai di rumah aku melepas rindu dengan ayah, ibu dan kakek. Aku tak henti-hentinya ngobrol dengan mereka. Aku menceritakan semua pengalamanku selama di sana. Begitu pun sebaliknya, mereka menceritakan semua apa yang terjadi di sini selama aku tidak ada.

Dan hatiku begitu senang mendengar cerita kakek tentang RS Aurora. Begitu juga dengan bisnis ayah dan ibu yang semakin berkembang.

Senang rasanya melihat mereka bahagia. Kejadian-kejadian seperti ini cukup langka terjadi di keluarga. Namun meskipun begitu aku tidak pernah merasa kekurangan kasih dan sayang mereka.

***

WHOWhere stories live. Discover now