# Start

209 7 0
                                    

Setelah pulang dengan membawa gelar S2 dari luar negeri, kakek benar-benar memberikan kursi direkturnya kepadaku. Aku tidak tahu harus bagaimana. Senang iya, bingung juga iya. Aku masih harus banyak belajar.

Walaupun sekarang aku yang menempati kursi itu, kakek tidak serta merta lepas tangan. Karena dia tahu bahwa aku masih perlu bimbingan darinya. Banyak.

Untuk memulai hari yang baru, aku lebih mempersiapkan diri hari ini. Cukuplah waktuku beristirahat di rumah selama tiga hari. Dan hari ini aku kembali.

Tidak hanya jabatan direktur, posisiku sekarang yang telah masuk sebagai dokter baru di rumah sakit ini cukup membebaniku. Sungguh tidak mudah menjalankan pekerjaan dua sekaligus. Terlebih keduanya pekerjaan yang tidak mudah.

Untuk itu aku tidak segan untuk meminta arahan-arahan terhadap dokter senior di rumah sakit ini. Terlebih dengan dokter yang ahlinya sama denganku.

Hari ini aku disibukkan dengan data-data baru yang harus aku pelajari. Karena meninggalkan rumah sakit selama kurang lebih tiga tahun, kini pekerjaan yang menantiku semakin banyak.

Terlebih dengan kerja sama baru antara RS Aurora, RS Elza, Pak Hadi, dan Pak Sutoyo. Karena kerja sama itu terbilang sangat bagus dan menguntungkan, aku diminta kakek untuk mempelajarinya dengan baik-baik. Agar nantinya aku juga bisa melihat peluang besar untuk lebih dan lebih memajukan rumah sakit ini.

Setelah beberapa jam di depan komputer, mataku terasa perih. Untuk itu aku berjalan-jalan untuk melihat keadaan rumah sakit. Melihat keadaan beberapa pasien dan berbincang-bicang dengan dokter dan suster. Aku berusaha memantaunya dengan teliti.

Namun langkahku terhenti begitu melihat dokter Abi yang tengah berbicara dengan seseorang melalui telepon. Suaranya kedengaran seperti orang panik.

"Apa maksudnya? Apa lagi yang ingin mereka lakukan? Ini tidak boleh. Sekarang tugas kamu cari tahu apa agenda keduanya" ujar Mas Abi kepada orang yang diajaknya berbicara.

Aku berusaha menangkap apa yang Mas Abi katakan. Namun karena cukup jauh, aku tidak bisa memastikan apa yang dikatakannya.

Begitu Mas Abi menutup teleponnya aku berpura-pura berjalan sambil memainkan Hp. Aku melangkah dengan cukup gugup sampai-sampai kepalaku terbentur tembok. Begitu berjalan cukup jauh dari tempat tadi aku memalingkan pandangan, Mas Abi yang tadi sedang menelepon, sudah menghilang.

Aneh. Kata itu yang terlintas dipikiranku melihat tingkah Mas Abi. Tidak biasanya dia berlaga seperti spy seperti itu. Diakan seorang dokter. Jauh dari kata itu.

Jilbab panjang yang menutupi kepalaku tampak lecek karena terbentur di tembok. Warna cat tembok sedikit menempel pada jilbab pinkku.

Aku kembali melangkahkan kaki. Selang beberapa menit, langkahku terhenti lagi. Mataku menangkap sosok dokter lagi. Dokter muda yang sama sekali bukan dokter rumah sakit.

"Siang ibu dokter direktur" sapanya dengan niat sedikit meledek.

Dia lagi. Dia lagi. Lagi. Gumamku dalam hati. Sepertinya semenjak aku pulang dia selalu muncul tiba-tiba. Bahkan waktu aku masih istirahat di rumah tanpa diundang dia datang membawa oleh-oleh dari Lombok.

"Maaf, aku sibuk" ujarku kemudian.

Lagi-lagi dia mengikutiku. Aku berbelok arah dia juga berbelok arah. Aku terus berusaha tidak menganggapnya ada. Aku kembali melihat para pasien yang masih terbaring lemas di ruang rawat inap.

Dengan soknya dia juga melakukan hal yang sama dengan apa yang kulakukan. Bahkan dengan sangat sopan.

"Ngapain sih?" tanyaku kepadanya.

"Loe nggak liat? Gue lagi jalan bareng loe" jawabnya.

"Susah yah ngomong sama orang aneh" lanjutku kemudian.

Dia masih saja mengikutiku. Entah apa tujuannya. Meskipun dia tidak sekasar dulu, tapi berada di dekatnya aku merasa masih tidak nyaman.

Dia berusaha mengajakku ngobrol. Meskipun hanya sekali dua kali aku meresponnya. Selang beberapa menit, tiba-tiba langkahnya terhenti.

"Kenapa diam di situ?" tanyaku penasaran.

Dia tidak merespon apa pun. Aku memperhatikannya. Wajah yang tadinya penuh dengan senyuman berubah drastis. Dia tampak sedang menatap seseorang.

Dan ternyata orang itu adalah dokter Abi. Sekarang dia masih saling menatap. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Ada apa dengan mereka? Entah. Tatapan mereka tajam. Seperti tatapan yang penuh dengan kebencian.

Hening. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka. Aku hanya bisa diam melihat mereka.

"Sorry, gue sibuk" ujarnya kemudian pergi.

Dia berjalan mendekati dokter Abi. Setelah tepat berada di depan dokter Abi, langkahnya terhenti. Dokter Tatra kembali menatap dokter Abi. Namun, dokter Abi malah tersenyum. Melihat kejadian ini, aku semakin tidak mengerti apa yang terjadi kepada mereka.

Setelah itu dokter Tatra benar-benar pergi. Langkah kakinya begitu cepat meninggalkan kami berdua.

Aku masih terdiam di tempatku sekarang berdiri. Dokter Abi juga terdiam. Melihatnya seperti itu, aku berniat mendekatinya. Namun, dia lebih dulu melangkah ke arahku.

Tepat berada di depanku, dia tersenyum. Meskipun masih bingung, aku berusaha membalas senyumnya.

"Makan yuk. Laper nih" ajaknya lalu menarik tanganku.

Ini untuk pertama kalinya aku melihat Mas Abi bertindak seperti itu terhadap orang lain. Aku semakin penasaran dengan mereka berdua.

"Mas? Ada masalah yah dengan dengan dokter Tatra?" tanyaku kepadanya yang tengah menyantap makanan.

Mendengar pertanyaanku Mas Abi menatapku. Kemudian dia memperbaiki posisi duduknya. Sepertinya dia akan menjawab pertanyaanku. Namun, tiba-tiba Hpnya berbunyi.

Dia kemudian meminta izin kepadaku untuk menerima panggilan tersebut. Karena penasaran, aku mengikutinya.

"Kenapa seperti itu? Terus sekarang sudah sejauh mana? Ini sudah sangat keterlaluan. Mereka nggak boleh melakukan itu" ujar Mas Abi dengan gelisah.

Sebelum Mas Abi sadar bahwa didengar olehku, aku kembali ke meja. Dengan wajah sok tidak tahu, setelah Mas Abi kembali aku menanyakan siapa yang meneleponnya.

Namun jawabannya tidak meyakinkan. Ini sudah yang kedua kalinya dan di hari yang sama. Tidak biasanya Mas Abi menyembunyikan sesuatu hal dariku. Dari apa yang kudengar, sepertinya ini cukup serius.

                                                                                    ***

WHOWhere stories live. Discover now