# Change

151 5 3
                                    


Matahari kembali memancarkan sinarnya. Hari yang baru telah datang. Aktivitas hari ini belum begitu terjadwal membuatku malas bergerak ke rumah sakit. Persidangan baru saja berakhir. Melewati masa krusial seperti yang terjadi kemarin begitu melegakan.

Rasa malas begitu besar kurasakan. Hatiku rasanya tetap tidak tenang, padahal masalah telah berakhir.

Melihat ayah dan ibu tengah bersantai di pinggir kolam, aku menunda keberangkatanku ke rumah sakit. Toh tidak akan ada yang marah jika aku terlambat bahkan tidak masuk, gumamku licik dalam hati.

Di tengah-tengah pembicaraanku dengan ayah, tiba-tiba ibu berlari masuk ke dalam dapur. Ayah sedikit tertawa melihat ibu yang hampir saja jatuh saat berlari. Aku pun ikut tertawa, bahkan lebih besar dari ayah.

"Ehh, nggak boleh loh. Dosa. Hahahaha" ujar ayah kemudian tertawa lagi.

Saat kembali dari dapur, ibu membawa sebuah tas kecil yang entah berisi apa.

"Ini ibu bikin sendiri loh, pasti enak. Kalau sudah makan ini, dijamin cepat sembuh" ujar ibu sambil memberikannya kepadaku.

Alisku mengkerut. Aku terdiam dan menatap ibu dengan penuh tanda tanya. Begitu pun dengan ayah.

"Aduh, gimana sih? Ayah sama anak sama-sama lemot. Ini untuk Abi. Ayo cepat berangkat" ucap ibu kemudian.

"Ah? Iya, iya. Pergi ke sana, yah. Ke sana yah?" jawabku terbata-bata.

Ayah dan ibu kemudian melanjutkan pembicaraanya yang terpotong tadi. Aku dengan lamban melangkah ke dalam kamar untuk berganti pakaian.

Dua jam berlalu, aku baru tiba di rumah Mas Abi. Kali ini jalan begitu macet, aku hampir saja tertidur pulas di dalam mobil tadi.

Hari ini ayah dan ibu Mas Abi juga tidak ke mana-mana. Begitu melihatku turun dari mobil tante Wina langsung mengajakku masuk dan mengantarku ke dalam kamar Mas Abi.

Saat aku masuk Mas Abi tampak tertidur pulas. Wajahnya masih terlihat lesu. Aku semakin merasa kasian melihatnya. Karena tidak tega membangunkannya, aku melihat-lihat isi kamar Mas Abi. Ada banyak buku di sini. Mulai dari buku pengetahuan, kamus, novel, komik, dan masih banyak lagi. Karena Mas Abi juga pecinta musik, dia juga memiliki banyak kaset dan CD band-band ternama.

Sampai pada akhirnya mataku tertuju pada CD berwarna putih. Dan pada CD itu tertulis "Untukmu, jannahku". Karena penasaran dengan isi dari CD itu, aku mencoba untuk melihatnya, mumpung Mas Abi masih terlelap dalam tidurnya.

***

Hatiku tersentak. Air mataku menetes. Jilbab yang menjulur menutupi dadaku basah oleh air mata. Hatiku bersedih dan juga senang melihat isi CD itu. Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Kaku seperti patung.

Mas Abi terbangun, dan tanpa kusadari dia melihatku. Dia berjalan pelan dan duduk di sampingku. Hingga beberapa menit berlalu, Mas Abi tersenyum kecut.

"Kotak yang waktu itu aku kasih isinya cincin dan sebuah flashdisk. Karena terburu-buru aku belum sempat memasukkannya dalam CD. Waktu itu aku yakin kamu akan menjawab pertanyaan itu sesuai dengan keinginanku, namun sekarang aku tidak yakin. Aku juga tidak akan pernah memaksa. Itu hak kamu. Hak kamu untuk memilih yang terbaik" ujarnya tertunduk lesu.

Aku tidak bisa berkata apa pun. Berat rasanya. Bimbang. Bingung. Takut. Gelisah. Semuanya bercampur aduk. Rasa bersalahku kian besar setelah melihat video itu. Seumur hidup belum pernah ada orang yang memberikanku hal seperti itu.

Aku tak menyangka dia bisa membuat video semacam itu. Foto-foto yang ada dalam video itu sama sekali tidak ada padaku. Entah dari mana dia mendapatkannya. Semuanya diambil saat aku tidak sadar. Mulai dari foto- foto yang cantik sampai jelek ada dalam video itu. Tidak hanya foto-foto yang ada, bahkan video saat aku wisuda juga ada di dalam CD itu. Semuanya digabung menjadi satu. Dan detik-detik terakhir, Mas Abi muncul dalam video itu. Dia muncul membawa setangkai bunga mawar dan sebuah cincin. Kata-kata "Will you marry me?" menjadi penutup video itu.

"Aku tahu, Tatra tidak datang ke persidangan kemarin itu karena kamu. Kamu menjadi saksi demi Tatra, agar dia bebas dari tuntutan. Kalau mereka tahu kamu membantu orang yang salah kamu akan dapat masalah yang besar. Tapi kamu tenang aja, aku tidak akan memberitahukan kepada semua orang" ujarnya lagi.

"Maaf. Aku melakukan itu karena..."

"Karena kamu suka dengannya. Ya, aku tahu" potong Mas Abi.

Aku terdiam mendengar kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Mas Abi. Benar-benar tidak kusangka. Dia dengan mudah melontarkan kata-kata itu untuk kesekian kalinya di depanku. Namun kata-katanya kali ini benar-benar menyudutkanku.

Aku tidak tahu harus menjawab apa pun. Ini benar-benar pilihan yang sulit. Aku tidak berani menatap Mas Abi. Menatap mata yang penuh kekecewaan karena diriku.

"Minggu depan aku akan berangkat ke Jerman. Namaku juga sudah terdaftar sebagai salah satu dokter di RS Asklepios Klinik Barmbek. Aku menerima tawaran itu seminggu sebelum persidangan kemarin. Jika kamu memang yakin denganku, yakin akan hidup bersamaku. Aku akan menunggu kamu di bandara sebelum aku berangkat. Aku akan tahu jawabanmu saat itu juga" ujarnya masih tertunduk.

"Minggu depan? Ke Jerman? Tapi, aku..."

"Sekarang jam besuknya sudah habis. Aku juga masih ingin istirahat" potong Mas Abi lagi.

Sesuai dengan permintaan Mas Abi aku pun pergi. Namun tidak ke rumah sakit, melainkan ke tempat yang biasa aku kunjungi saat merasa gundah.

Matahari mulai senja, aku segera pulang ke rumah. Saat tiba di rumah, aku melihat dokter Tatra yang tengah berdiri di depan pintu gerbang.

"Aku perlu bicara" ujarnya kepadaku.

Aku mengindahkan keinginannya. Aku berjalan berdua di sekitar kompleks. Dia mulai berbasa-basi denganku. Namun aku tidak tahu harus merespon dengan cara seperti apa. Aku mendiaminya beberapa saat.

"Aku tahu alasan kamu melakukan itu. Aku yakin dengan perasaan itu. Dan tetap ada untukku" ujarnya tersenyum.

Dia bahkan sangat sombong menilai perasaanku. Dia masih sangat menyebalkan. Namun karena sikapnya yang seperti itu membuatku tidak bisa lepas dari bayang-bayangnya.

"Baguslah. Kalau perempuan diam berarti jawabannya yes. Ok, berarti mulai sekarang aku akan menjemput dan mengantar kamu. Pergi dan pulang rumah sakit" ujarnya begitu yakin.

"Ha? Siapa bilang kalau..."

"Aku harus pulang sekarang. Maaf yah, aku duluan" potongnya terburu-buru.

Sangat menyebalkan. Dia bahkan tidak memberikanku kesempatan untuk berbicara dengan baik. Kepalaku semakin pusing sekarang. Dia hebat. Bisa berubah dalam waktu yang sangat singkat. Dia tak lebih dari seorang monster di mataku. Mungkin karena hal itu yang membuatku jatuh di dalam perangkap. Masuk ke dalam hatinya.


WHOWhere stories live. Discover now