Sixteen

241 8 0
                                    

***
Hari ini aku ke sekolah dengan ibuku.
Karena memang, hari ini pengambilan rapot untuk anak kelas 10 dan 11. Lalu yang kelas 12? Sudah dari lama. Tapi mereka belum mendapat ijazah dari sekolahku.
Aku sempat bertemu Kay saat ia mengambil lembar hasil belajarnya. Dia terlihat lebih kurus dan matanya sayu, entah kenapa. Tak sempat kusapa dia bahkan saat itu. Padahal kami berpapasan dan saling melihat satu sama lain. Ia tampak menghindar dariku, jauh sebelum ia seperti ini, ia adalah sosok yang periang dan tak kenal lelah. Lalu, ada apa sebenarnya ini? Ia bilang ia pergi ke luar negeri untuk belajar, tapi kenapa hidupnya tampak tak bahagia? Ku curahkan isi hatiku ke dalam puisi lagi.

Bukan soal raga,
Melainkan jiwa dalam duka,
Memendam rasa,
Yang tak ada ujungnya,
Jiwa yang sunyi tak bertuan,
Merindu, menepi,
Mengais kenangan yang tersisih,
Jiwa yang membenci,
Membenci tanya tak terjawab,
Apakah kau merindukanku?
Diam,diam,
Tak berhujung pertemuan,
Apakah rindu selamanya sama?
Rasa yang tak bertuan,
Namun hadir karna tuan

Aku benci situasi seperti ini. Sesak di landa rindu tak berhujung. Mengulur kepastian dan tak kunjung menemukan jawaban.

Satu hari di bulan September

Kringgg
Telefon rumahku berdering, entah dari siapa. Karena seingatku, telefon rumahku terakhir berdering sekitar sebulan yang lalu. Dan hari ini, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal tentang panggilan itu.

"Halo? Selamat pagi ini Senja , mau cari siapa?"
"Ha ha lo Senja! Lo dimana?"
"Ini siapa ya?"
"G g g ue  Rien, ada kabar buruk!"
"Apaan woy Rien? Yang bener lo?"
"Iya, lo sekarang cepet ke Rumah Sakit Darma! Kay dirawat di sini, lo langsung ke ICU ya"
"Hah? Oke gue kesana"
Klik.

Ku tutup telefon dan kaki ku terasa lemas. Namun, mau tidak mau aku harus langsung bergegas ke rumah sakit. Seseorang yang ku sayang ada di sana dan pasti aku harus mengungkapkan yang seharusnya ku ungkapkan.

30 menit berlalu

"Rien! Mana Kay?" Aku langsung berteriak ketika bertemu Rien.
"Ayo ikut gue,"

Aku langsung mengikuti langkah Rien. Ku lihat ruang ICU dan ku lihat Kay sudah terbaring lemah dan terpasang alat-alat untuk menopang kelangsungan hidupnya. Ayahnya menghampiriku.

"Senja? Iya kan kamu Senja?" Tanya Ayah Kay
"Iya om, saya Senja. Ada apa om? Sebenarnya Kay sakit apa?"
"Jadi om harus jelaskan ini sama kamu. Kay sudah lama mengidap kanker usus besar. Ia sudah bertahan dengan chemotherapy selama 3 tahun, tetapi perkembangannya hanya sedikit. Ia memang tampak periang, tapi sesungguhnya ia sangatlah perih hatinya. Ia sudah berobat ke Belanda juga, tapi dia memilih pulang untuk bertemu kamu terakhir kalinya..." ayah Kay menjelaskan secara detail.
Aku menangis, menyesal. Langsung kupeluk Kay dan kubisikkan bahwa dia adalah orang pertama yang bisa membuatku sayang padanya dan tak pergi kemana mana. Dia adalah cinta pertamaku.

Setelah aku pergi keluar, dokter berbicara pada ayah Kay. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan. Namun, sesaat setelah mereka berbincang, ayah Kay menghampiriku.

"Senja, maafkan Kay jika dia punya salah."
"Om? Kenapa dengan Kay?"
"Dia sudah meninggal nak"
"Apa om? Om serius?????"
"Iya nak"

Tangis kami semua pun pecah. Tak ada yang bisa membendung tangis kami. Rasa kehilangan benar benar ada saat itu. Tak kunjung reda bahkan.

Esoknya, Kay langsung di makamkan. Seluruh keluarga dan sahabat hadir di sana untuk menyaksikan upacara pemakamannya. Kami semua tak kuasa melihat pemakaman tersebut. Belum sempat ada kata terakhir, Kay sudah pergi.

Selamat jalan Kay, Senja tetap milikmu. Karna aku, Senja yang terang, di kala itu.

Selesai.

Aku,Senja di Kala ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang