#11 - Nggak Ada yang Sama Persis, Te!

101 8 2
                                    

Mulmed: EXO - Stronger

♡♡♡

"One in a million, why you're the one and only?"

- Tea

♡♡♡

"Fix, ya? Tahun ini wisuda tanpa pendamping?" Teman-teman satu kos Tea tertawa nyaring. Menertawakan nasib jomblo abadinya selama kuliah, dan menertawakan nasib wisudanya yang hanya ditemani orang tua--persis seperti pengambilan rapot jaman sekolah. Miris!

"Kita ambil rapot lagi." Tea tertawa sumbang.

"Ya udah nggak papa sih," Nadya menimpali. "Lagipula, masih mending kita ada orang tua yang bisa dateng."

Keempat temannya mengangguk kompak, termasuk Tea.

"Sabar ya, mblo. Barangkali nanti kalau udah wisuda, bakal ada yang ngelamar." Kali ini Sia yang berbicara. Gadis itu juga jomblo, by the way. Jadi, dari kelima gadis kosan itu, dua diantaranya bernasib sama dengan Tea.

Nadya dan Sia. Mereka juga jomblo, sama seperti Tea.

"Siapa ya yang bakal nikah duluan?" Tea memandang keempat temannya. "Nadya, ya? Kayaknya udah mateng banget."

Nadya tertawa. "Boleh. Yang penting ada calonnya."

"Nah itu masalahnya, calon yang diajak nikah, ada nggak?" Kali ini Fia menimpali. "Aku yang udah lima tahun pacaran aja, belum ada kepastian nikah nggak-nya."

Tea meringis. Prihatin. "Sabar, ya. Jangan sampai kamu juga ikut jagain jodoh orang kayak yang ada di artikel-artikel berita yang ada di explore Pictagram itu."

Ketiga temannya terkekeh, kecuali Fia yang mulai menimpuk Tea dengan bantal.

"Makanya," Dessy ikut bersuara. "Kalian-kalian ini, udah pada gede semua kan, kalau cari pasangan yang serius. Jangan mau kalau cuma diajak pacaran doang."

"Iya-iya yang udah tunangan!" Koor keempat gadis itu dengan sinar mata penuh kedengkian. Dessy tertawa.

"Gimana rasanya tunangan?" Tea bertanya dengan polosnya.

"Hm... deg-degan, lah!" Dessy tersipu. "Kalian tahu, pas cincin pertunangan masuk ke jari kalian, rasanya kayak kehidupan kalian setelahnya akan terlepas dari orang tua kalian. Seutuhnya."

Keempat gadis di depan Dessy mengangguk kompak.

"Rasanya kayak..." Dessy menerawang langit-langit kosan. "Setelah itu, kalian akan sepenuhnya bergantung pada calon suami."

Glek!
Keempat gadis itu menelan ludah.

"Jadi, pilihan kalian akan menentukan kehidupan kalian setelahnya. Sekali kalian salah pilih pasangan, maka akan terjadi kesalahan-kesalahan berikutnya di masa depan."

Tea tertegun.

Nadya diam menyimak.

Sia menyandarkan dagunya di kedua telapak tangan.

Fia memusatkan perhatiannya pada Dessy, yang kemudian disela oleh satu panggilan masuk. "Bentar ya, guys!"

"Ehem iya deh yang nggak jomblooo." Sia berkomentar.

"Sirik aja!" Fia terkekeh kemudian masuk ke dalam kamar.

"Kalau buat aku, tipe cowok yang kayak gimana ya yang cocok, Des?" Celetuk Tea. Nadya, Sia, dan Dessy kompak memandang gadis polos di depan mereka dengan tatapan apa-maksudmu-dengan-pertanyaan-tipe-pasangan-yang-cocok-buat-kamu.

"Yang dewasa!"

"Nggak boleh pelit, soalnya kamu doyan makan!"

"Sabar, soalnya kamu kekanakan dan keras kepala!"

Tea melongo. "Gitu, ya?"

Dessy menepuk pundak sahabatnya itu sambil menggeleng. "Nggak penting karakter yang spesifik kayak gitu, yang paling penting... ada yang mau nggak sama kamu?"

Baiklah, itu menohok! Tea cemberut disertai tawa puas ketiga temannya.

"Kalau ada cowok yang sabarnya kayak Darrel, mungkin dia tepat buat kamu, Te."

Pernyataan Nadya membungkam mulut Tea. Satu kata tentang Darrel, membuyarkan semua proses move on-nya yang dilakoninya dengan susah payah!

Kenapa Nadya tahu tentang Darrel?

Karena Tea adalah satu-satunya gadis yang susah move on dari kelima gadis sekosan itu, sehingga setiap saat, gadis itu akan menjejali teman-temannya hasil stalking-nya pada akun Pictagram milik Darrel dan akan berteriak histeris ketika menemukan foto Darrel yang sedang ganteng.

Sedang ganteng? Mungkin maksudnya selalu ganteng. Bagi Tea, mau difoto dari sudut manapun, Darrel tetap yang paling ganteng!

"Bener-bener nggak ada harapan, ya?" Dessy menggeleng-gelengkan kepala.

"Huh?" Tea tersadar dari lamunannya.

"Kamu sama Darrel," Dessy memperjelas. "Bener-bener nggak ada harapan, ya? Bahkan kamu belum bisa melupakan cowok itu?"

Hening sejenak.

Tea menghela nafas panjang, kemudian menggelengkan kepalanya. "Darrel terlalu baik buat aku."

Sontak, lemparan bantal segera mendarat ke wajah Tea. Gadis itu sempat tertawa sebelum kembali terdiam atas kata-kata Dessy kemudian.

"Tea, nggak peduli seberapa banyak kamu sayang sama Darrel, dia tetep mantan kamu. Dan mantan, selamanya akan jadi masa lalu." Dessy berdehem sejenak sebelum melanjutkan. "Kamu nggak mungkin kan terus-terusan berada di masa lalu?"

Tea menelan ludah. Dessy benar tentang itu. Dia nggak akan mungkin terus-terusan mengharapkan Darrel untuk selamanya. Kehidupan terus berjalan, dan menjadikan Darrel satu-satunya harapan diantara harapan yang lain, hanya akan membuang-buang waktu.

"Kalau kamu cuma fokus sama Darrel, pengen cowok-cowok yang deketin kamu itu sifatnya kayak Darrel, mungkin nggak ada, Te. Nggak ada yang sama persis." Dessy menambahkan.

Dessy benar.

Seharusnya Dessy memang benar tentang hal itu.

"One in a million, why you're the one and only, Darrel?" Tea bergumam dalam hati. Dessy benar. Nggak akan ada satupun yang begitu sama dengan Darrel.

Dan jika Tea terus memaksa menemukan diri Darrel dalam cowok-cowok yang mendekatinya, itu hanya akan jadi kesia-siaan yang besar.

Tea sudah dua puluh satu tahun, usia yang bukan lagi waktunya menye-menye. Dia harus move on.

"Coba kamu buka lagi hatimu, Te. Barangkali kegagalan-kegagalanmu yang kemarin itu, karena kamu belum sepenuhnya membuka hati." Nadya menepuk pundak Tea pelan.

"Mungkin." Balas Tea sambil memandang wajah ketiga temannya yang lekat menatapnya.

In 5 Minutes Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang