#19 - Sebuah Alasan

81 9 1
                                    

Dear Tea,

Aku tahu bahwa banyak hal yang kulewatkan selama lima belas tahun ini. Aku melewatkan fase menyukai seorang gadis dan lebih menyibukkan diri untuk menemukan sosok ayah. Aku melupakan fase jatuh cinta, dan mengabaikannya seolah itu tidak penting bagiku. Aku dibesarkan dengan kehilangan, maka tidak masalah jika aku tidak pernah menemukan seseorang yang akan melengkapi rasa kehilangan itu. Aku tidak memahami bahwa seseorang bisa begitu penting bagiku, sampai membuatku bisa begitu jatuh untuk mencintai dengan perasaan yang paling menggebu.

Di usia hampir enam belas tahun, aku menemukanmu. Gadis yang membuatku menyesal mengapa aku baru tahu bahwa jatuh cinta akan semenyenangkan ini; meski aku tidak sekalipun menyesal bahwa pada akhirnya cintaku jatuh padamu. Gadis yang selalu cantik meski terlihat kusut, yang selalu manis meski sedang menangis, yang terlihat bersinar meski sedang marah. Fakta bahwa aku sudah jatuh cinta padamu adalah hal yang tidak pernah kuenyahkan. Perasaan menye-menye khas anak sekolah menengah, kan? Tetapi tidak terlalu buruk untuk aku yang baru menemukan fase paling berpengaruh dalam kehidupanku setelahnya. Fase jatuh cinta.

Jadi, maukah kamu, kucintai untuk waktu yang tak terbatas lamanya, Tea?

Dari lelaki yang mencintaimu bahkan ketika ia begitu patah,

Darrel Deanee Augustaf
Agustus 2012.

♡♡♡

[Satu hari di masa SMA.
Tea dengan mimpi besarnya]

"Aku baru mencetak novelet baru!" Tea bercerita dengan heboh ketika Darrel memutuskan untuk melakukan panggilan telepon.

"Apa itu... novelet? Novel baru, ya?" Darrel yang tidak mengerti dengan kosakata yang dipakai gadisnya, hanya mengernyitkan dahi dengan nada bertanya tidak tahunya.

"Novelet itu semacam novel tapi lebih pendek, dan lebih panjang dari cerpen." Tea menjelaskan dengan sabar. Darrel ber-ooh panjang sambil memindahkan handphone-nya ke telinga sebelah kiri.

"Aku jadi pembaca pertama, ya?" Tanya Darrel disertai senyum begitu mendengar penjelasan Tea yang menggebu-gebu.

"Harusnya Lila, sih." Ucap Tea. "Tapi nggak papa, deh. Kamu duluan."

"Yes!" Darrel menggerakkan kepalan tangan kanannya ke udara. "Tentang apa ceritanya?"

"Rahasia dong!" Tea nyaris berteriak. "Nanti jangan lupa dikomentarin, ya?"

"Siaaap mbak novelis!" Darrel tersenyum begitu mendengar gadisnya tergelak di seberang.

"Aku makan dulu, ya? Sampai ketemu besok. Daah!" Tea pamit.

"Kiss-nya mana?"

"Ih, Darrel!"

"Mwach! Sampai ketemu besok, ya! Makan yang banyak biar tambah tembem." Darrel tergelak.

Darrel tersenyum. Menjadi kekasih seorang gadis yang bercita-cita sebagai novelis membuatnya turut bangga dan tak henti mendukung mimpinya. Tea sering sekali memberikan kumpulan cerpen yang dicetaknya sendiri dengan printer miliknya; yang dijilid sendiri seperti buku, dan diserahkan pada teman-temannya yang antusias meminjamnya. Selucu itu usaha seorang Tea untuk mewujudkan mimpinya yang ingin menerbitkan novel best seller, namun Darrel tak pernah mencibirnya.

Darrel, yang tak pernah suka membaca cerpen, akhirnya belajar untuk menjadi suka membaca sejak Tea bercita-cita sebagai penulis. Darrel sudah mendeklarasikan dirinya untuk menjadi supporter nomor satu untuk gadis itu, dan ia tahu bahwa hanya dengan jatuh cinta, ia bisa melakukan apa saja meski ia tidak pernah suka pada awalnya.

In 5 Minutes Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang