S E P U L U H

12.6K 1.1K 19
                                    


Sejak kapan ia ada disini. Bukankah tadi ia sudah memperhatikan sekitarnya, walaupun telinganya tersumpal rapat, Faye tetap bisa melihat keadaan sekitarnya yang tergolong sepi. Lalu, sejak kapan matanya jadi rabun tiba-tiba begini.

"Ditanya itu harusnya dijawab." Sahut seorang di sebelah Faye, lagi dengan suara yang sama mengagetkannya.

"Males ngomong." Sahut Faye, setelah mendapat kesadarannya kembali.

"Yaelah. Dari dulu nggak pernah berubah lo." Balas Adit santai, sambil menyeruput es teh milik Faye yang tinggal setengah isi.

"Kebiasaan lo minum punya orang." Sinis Faye gantian.

"Haus gue. Ngomong dua jam nonstop kayak dosen aja. Capek nih." Keluh Adit, kemudian bersender di tembok belakangnya. Faye selalu memilih tempat duduk di dekat tembok, alasannya agar lebih mudah menyenderkan badan pegalnya itu. Setelah sekian lama mereka hanya merasa canggung satu sama lain, siang ini mereka kembali berbincang layaknya anak kelas dua SMA. Yang masih sama-sama kebingungan, apa bedanya teman dan pacar.

"Lo apa kabar?" tanya Adit memecah keheningan yang baru saja terjadi. Entah angin apa yang membuat Adit kembali menatap Faye dengan penuh harap. Harapannya tak pernah tinggi, cukup dengan Faye menyadari, jika hatinya telah direnggut paksa oleh Faye. Dan sedari dulu, ia tak pernah main-main.

"Baik-baik aja. Sebenernya, gue ngerasa nggak enak si ngobrol santai sama lo di kantor gini." Jawab Faye, sambil mengaduk es tehnya. Memang sedari tadi Adit mengagetkannya, banyak pasang mata yang menatap ke arah mereka dengan tatapan penuh tanya. Siapa yang berani mendekati bos? Atau apapun itu yang sungguh terlihat jelas jika mereka tak menyukai jika Faye lah yang sedang diajak bicara oleh Adit.

"Kenapa?" tanya Adit singkat. Ia tidak peka atau cuek kebangetan sih, batin Faye menggerutu. Ia otomatis memanyunkan bibirnya, membuat Adit kicep. Takut khilaf.

"Eh, ditanya malah manyun-manyun mau apa disosor?" tanggapan Adit yang sedikit vulgar dan suaranya yang begitu lantang mampu membuat seisi kantin kantor detik itu hening seketika.

"Kalo ngomong dijaga dong. Ih udahlah gue balik kerja lagi." Kata Faye penuh emosi meninggalkan Adit dengan raut muka penuh tanda tanya.

***

Sore hari pada jam pulang kerja kantoran adalah jam-jam dimana semua jalanan begitu penuh. Tak terkecuali trotoar yang diperuntukkan untuk pejalan kaki, justru dipenuhi oleh kendaraan roda dua yang jalanannya juga dipenuhi roda empat. Salah satu alasan Faye untuk menghindari menggunakan kendaraan roda empat yang diberikan kantor. Karena alasan jalanan menuju apartemennya itu adalah jalanan utama tempat dimana mobil saling mengantri. Ia lebih memilih menggunakan motor matic yang senantiasa menemaninya dari jaman ia sekolah sampai kuliah dulu. Walaupun setangnya sudah miring, karena beberapa kali ia jatuh dan dengan posisi yang sama, membuat setang repsol matic nya itu tak seimbang kanan-kiri. Hanya Faye yang bisa mengendarainya, tanpa perlu lagi masuk bengkel yang bisa menghabiskan jatah makannya seminggu.

Selama ia hidup sendiri, jauh dari orangtua lebih tepatnya, ia jadi pribadi yang pelit. Untuk memanjakan hidupnya saja, ia masih harus berpikir ulang, jika hari ini ia mengeluarkan banyak uang, lalu hari berikutnya ia harus meminimalisir pengeluaran sebisa mungkin. Hidup harus seimbang bukan.

Dan ditengah kemacetan ibukota, walaupun menggunakan motor matic pun, ia masih harus berada dalam zona kecepatan 10 km/jam. Dengan sering menarik tuas rem di kedua tangannya, membuat Faye geram sendiri. Untung saja ia sudah makan walaupun terganggu Adit tadi. Setidaknya Adit datang mengganggu saat dirinya sudah menghabiskan makanan di piringnya.

Mengingat Adit dengan tingkahnya yang semakin hari semakin gila itu, membuat Faye bergidik ngeri. Memang ia sudah beranjak dewasa dan yah, hal seperti ciuman atau apapun itu seharusnya sudah menjadi hal kecil. Namun Faye yang sedari masa pubertas tak pernah mengalami hal-hal kecil itu secara langsung, membuat hatinya sedikit mengalami hal aneh. Hanya candaan orang dewasa, tapi bisa memporakporandakan hati Faye.

Seketika, ia mengingat kejadian di ruangan Adit, tempat bekerjanya dulu. Dan sialnya, ia kembali bekerja di perusahaan Adit. Ia kembali ke kenyataan, merutuki apa yang ada didepannya dan juga bayangan laknat bibirnya yang bersentuhan dengan punya Adit.

Dasar ibu-ibu kalo nggak bisa naik motor nggak usah dipaksain dong, udah macet, takut nyalip kan gue yang dibelakangnya jadi kehambat, batin Faye.

***

sedikit ya hehe :D

KETEMU!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang