DUA PULUH TUJUH

8.2K 721 15
                                    

            Usaha Faye menghindari Adit gagal total. Sejak pertemuan tidak sengajanya dengan Keyla, gadis manis kesayangan anak-anak dan 'mantan' Adit, membuat kantong mata Faye semakin menggila. Adit tentu saja menjadi korban. Sudah berhari-hari sejak Faye pamit untuk berbelanja dengan Hera, dan Adit sudah tahu jika Faye sedang bersama sahabatnya itu, ia tak mau diganggu, walaupun itu Adit.

Dan keesokan harinya, Adit didiamkan habis-habisan oleh Faye. Adakah hal mengerikan selain diabaikan oleh pacar sendiri?

Adit yang tak sabar, mencoba mencari tahu sumber permasalahan kepada Hera tentu saja. Namun, Hera yang ditanyai justru bungkam. Pasti Fayenya telah mengancam untuk tidak memberitahu siapapun, bahkan dengannya. Ia lalu menghubungi suami Hera, Galih yang kebetulan menjadi akrab karena mereka juga rekanan bisnis. Namun percuma, Hera pun tak menceritakan apa-apa pada suaminya.

Ia kalut. Faye yang diam memang sudah ia hadapi sejak dulu. Faye yang dingin sudah ada sejak ia pertama kali melihatnya. Namun, Faye yang tak mau menatapnya balik ketika ia ajak bicara, Faye yang menghindarinya, ada sejak ia memutus pertemanan dengan mengatakan perasaannya. Dan, telah lama sekali sejak kemudian mereka bertukar pesan dan kembali bertemu.

Bahkan ia sempat kaget jika Fayenya dulu yang begitu dingin berubah menjadi Faye murah senyum. Walaupun tidak seramah orang lain. Baginya, Faye sudah membuka diri pada orang lain. Dan perubahan itu membuatnya senang bukan kepalang. Dengan Faye yang blak-blakan dan apa adanya itulah yang membuatnya bisa menjalin hubungan.

Dan sekarang, dengan tiba-tiba, Faye kembali pada titik awal pertemuan mereka. Seperti saling tak kenal. Padahal pacaran. Tak acuh. Dan Adit kesal sendiri. Adakah kesalahannya yang membuat Faye kesal dan marah padanya?

Ketukan pintu mengalihkan lamunannya. Ia mempersilahkannya masuk. Ternyata yang selama ini ia pikirkanlah yang datang menemuinya. Membawa setumpuk map berisi berkas penting hasil olahan otaknya. Sejak Faye libur setengah hari kemarin, esoknya ia disibukkan dengan data yang ternyata memiliki tanggal deadline mepet. Alhasil, Faye sibuk di kubikelnya sampai hari telah gelap. Membuat Adit semakin kalap. Tak ada waktu untuknya menyela Faye jika pacarnya itu sudah asyik dengan pekerjaan.

"Ini data yang kemarin pak. Sudah saya selesaikan." Kata Faye sopan, seperti bukan pada Adit biasanya. Adit hanya menatap penuh harap, mengharap sedikit saja waktu untuk bertanya kesalahannya dan menebusnya. Sayang, sahutan Faye kemudian membuatnya hampir kehilangan kesabaran.

"Saya juga mau mengajukan cuti, pak. Selama dua minggu."

"Memangnya kamu mau kemana?" tanya Adit, berusaha menetralkan suaranya yang mulai gemetar, takut Faye kembali pergi.

"Pulang, pak. Ke rumah." Jawab Faye singkat. Ia sudah berpikir berulang kali untuk mengajukan surat cuti ini. Hatinya sudah begitu sesak. Ia ingin mengurung diri dengan tenang. Dan satu-satunya tempat yang jauh dari semua hiruk pikuk pikirannya adalah di rumah kedua orangtuanya. Walaupun ada adiknya yang lebih dekat dengan kedua orangtuanya, tetap saja ia masih mengkhawatirkannya. Semenjak ia pergi merantau, ia memang jarang pulang. Namun, selalu ia sempatkan untuk berkomunikasi dan bertukar kabar. Kebetulan, kemarin ibunya menelepon. Mengabari jika adik iparnya hamil.

Ia meringis mendengar kabar yang entah berubah menjadi menyesakkan batinnya. Maka, ia menetapkan hati untuk pulang saja. Dan Hera pun menyetujui, hanya saja Hera menyarankan untuk setidaknya berpamitan dengan Adit. Dan dengan pengajuan surat cuti lah, Faye bisa berasalan jika ia sekalian pamit. Pergi. Entah sebentar, atau lama.

"Boleh kita bicara di luar kantor? sebentar aja kalo kamu buru-buru." Kata Adit, dengan nada tak mau disanggah. Faye tahu itu. Dan dengan pembicaraan inilah, keputusan labil Faye mungkin bisa jadi nyata.

Faye hanya balas mengangguk, dan dalam hitungan detik ia sudah ditarik keluar oleh Adit. Menuju cafe terdekat dari kantor.

***

"Jadi, kenapa kamu jadi hindarin aku gini?" tanya Adit tanpa basa-basi.

"Ma-maaf." Ucap Faye gagu. Ia menunduk takut menatap Adit yang tiba-tiba menjadi menyeramkan. Dan ia tahu diri jika semua adalah salahnya jika Adit marah.

"Fa, tolonglah. Jangan bikin aku gila, nggak konsen, dan acak-acakan gini." Kata Adit frustasi. Kembali menjambak rambutnya dengan kasar. Faye yang melihat itu kembali menunduk. Menahan tangisnya yang tiba-tiba menyeruak ingin keluar.

"Maaf." Cicit Faye, lagi.

"Ada masalah apa kemarin pas kamu pergi sama Hera?"

"Nggak ada apa-apa."

"Kamu diam sejak itu, Fa."

"Sibuk kerja, Dit."

"Bahkan, nasi yang aku beliin malah kamu kasih ke bang Edo."

"Nggak laper."

"Maag kamu kambuh gimana?"

"Minum obat."

"Fa, cerita ya? Ada apa?"

"Nggak ada yang perlu diceritain."

"Kabar ibu bapak baik?"

"Baik."

"Kenapa tiba-tiba minta cuti?"

"Pengen pulang."

"Kok lama?"

"Istirahat."

"Nggak ikut reuni?"

"Kan pulang."

"Hera gimana?"

"Udah bilang sama Hera."

"Faye, ada apa sih?" Adit geram. Sudah berapa pertanyaan coba yang dijawab Faye sekenanya.

"Udah dibilang tadi."

"Oke, kalau kamu masih nggak mau cerita."

"Iya."

*** 

KETEMU!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang