DUA PULUH DELAPAN

5.7K 462 17
                                    

Kereta tujuan Semarang Tawang sudah sampai, membuat wanita yang melarikan diri dari si pacar, riang gembira. Hilang sudah pikiran penatnya di ibukota. Biarlah Adit kalut disana, Faye tak mau memikirkan lagi.

Bapak ibunya yang sudah beruban itu, ternyata sudah menunggu di depan. Siap menyambut dirinya yang sampai di usianya yang hampir 28 tahun, melajang. Bahkan, kabar-kabar pacar masa SMA nya saja, sudah dibiarkan lalu oleh ibu tercinta Faye. Barangkali, memang benar apa yang dikatakan anaknya sendiri, Faye belum begitu tertarik dengan seseorang. Jadi biarlah anak perempuannya itu melangkah di jalan yang dia pilih.

Adik laki-laki Faye, Satria beserta calon istrinya juga ikut menjemput Faye. Faye yang tidak merasa malu pun, langsung menyapa calon adik iparnya itu. Cantik. Pintar sekali adiknya ini mencari istri.

"Halo Rin, bangsat ini nggak maksa kamu pas ngelamar kan?" Tanya Faye ketika bapak sudah mulai melajukan mobilnya. Keluarga Faye sederhana, tidak pernah ada acara menyewa sopir atau pembantu jika memang hanya keperluan internal keluarga. Jadi, jangan heran sudah kakek bercucu 2, dan hampir memiliki mantu kedua, masih bersedia menjadi sopir keluarga.

Walaupun sebenarnya, adiknya si bangsat itu bisa saja menggantikan bapaknya yang sudah kurang bugar. Namun, bapaknya tetap bersikeras, nostalgia katanya.

Faye hanya diam menyimak. Ia tak pernah menunjukkan sisi lemahnya. Berusaha mati-matian membendung air matanya agar tidak terjun deras.

"Sialan lo, mbak. Ganteng gini siapa sih yang gak mau." Balas Satria dengan mengibaskan poninya yang sedari dulu, selalu dihina oleh Faye dan kakaknya.

"Mbak Ita pulang juga, bu?" Tanya Faye, begitu mengingat kakaknya yang merantau mengikuti suami. Ia sebenarnya kangen saja dengan keponakannya yang sekarang sudah menginjak kelas 5 sd. Sudah tidak bisa didusel-dusel lagi sih, tapi bisa diajak main game, pikir Faye sambil tersenyum.

"Pulang. Besok katanya. Kok nggak bareng aja sama Ita? Kan bisa sekalian jemputnya, nggak bolak-balik."

"Dapatnya tiket sekarang. Liburan akhir tahun bu, susah cari tiketnya. Lagian dadakan juga aku pulangnya." Jelas Faye, sambil kembali memikirkan hal yang ia tinggalkan di liburan akhir tahun ini."

"Loh kan baru tanggal tengah ini, belum akhir tahun. Kamu cuti atau bolos?"

"Ya cuti lah bu. Lagian aku juga nggak pernah ngambil cuti. Sekali-kali di rumah lama."

"Sekalian aja, sampai nikahannya adik kamu itu. Daripada bolak balik lagi."

"Iya, memang begitu niatnya."

Sekalian mengalihkan pikiranku bu, batin Faye memendam pedihnya mata.

***

Flashback

Sudah sebulan sejak Adit dan Faye resmi menjalin hubungan. Meski begitu, Faye masih saja merasa aneh jika Adit melakukan hal-hal lebih dari teman. Misalnya saja, ketika Adit mulai memperlihatkan sisi manjanya kepada Faye. Faye hanya memutar bola matanya jengah, lalu bergegas meninggalkan Adit seorang diri di sofa apartemennya.

Selama ini, memang Faye jarang mengunjungi tempat Adit. Karena selain tempat Faye yang lebih dekat dengan kantor, Faye pun seringkali menghindar jika ia diajak main ke tempat Adit. Ya, takut saja mungkin. Lagian, merepotkan Adit, bayangkan saja Adit harus menjemput Faye lalu kembali ke tempatnya lalu mengantar Faye pulang lagi, Kata Faye saat Adit bertanya alasan apa yang membuatnya selalu menolak ajakan mampir sebentar. Bahkan ketika mereka sedang menjalani masa-masa persabahatan pun Faye tak pernah menginjakkan kaki di apartemen Adit.

Dan, karena itu, saat ini Faye sedang sibuk mengetuk-ngetuk meja kerjanya dengan jari telunjuknya. Sambil berpikir apa saja yang harus ia bawa, ia lakukan nanti ketika sampai ke apartemen Adit. Tadi pagi Adit menelepon, untuk menitip surat ijin sakit ke bagian humas. Padahal Adit kan bosnya, kenapa juga malah Faye yang harus mengantarkan surat ijin tidak masuknya coba. Namun, apa daya, Faye hanya menurut saja maunya Adit si pacar.

Setelahnya, Adit mengeluh panas dingin semacam tanda-tanda demam. Faye yang panik malah memutuskan sambungan telepon begitu saja. Ia melupakan keharusannya sebagai pegawai yang perlu absen muka di kantor walau sebentar. Faye melajukan motor maticnya menuju tempat Adit, sambil menggumamkan 'harus mampir minimarket bentar' berkali-kali karena Faye sering lupa jika sudah melajukan motornya.

Setelah membunyikan bel beberapa kali, ia frustasi. Adit tak kunjung membukakan pintu. Bagaimana bisa ia menyelonong masuk, dirinya tidak pernah mengintip Adit menekan password pintu apartemennya. Akhirnya, Faye memutuskan untuk menelepon ketika suara perempuan begitu halus menyapa telinganya. Bukan, jangan salah sangka dulu Fa, batinnya sambil menyangkal semua prasangka buruknya. Namun, si perempuan nan lemah lembut itu justru mengatakan bahwa, Adit baik-baik saja, ia sudah tidur pulas di samping saya, ngomong-ngomong, mbak siapa ya?

Dan seketika itu juga, Faye melangkahkan kakinya kembali. Kembali melakukan aktivitasnya yang seharusnya ia kerjakan sedari tadi.

Adit benar-benar tidak tahu, jika kedatangan masa lalunya itu, akan merusak kehidupan masa depannya.

Bagi Faye, kepercayaan tidak bisa begitu saja diberikan. Sekali saja kepercayaannya memudar, maka tamatlah Adit. Hati Faye sudah cukup lapang untuk menunggunya sebelas tahun. Namun, jika pada akhirnya hatinya diinjak-injak dengan tidak sopan begini, pergi adalah hal baik bagi seorang Faye Anggrita.

***


  

KETEMU!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang