TIGA PULUH

9.4K 662 30
                                    

spesial untuk malam tahun baru, part terpanjangggg...

***

F

aye sedang menikmati hembusan angin AC kamarnya yang baru saja ia nyalakan. Panasnya udara di luar membuatnya semakin asyik bergelung di atas tempat tidur kesayangannya, dengan udara sejuk buatan itu. Masa bodoh dengan kulitnya yang akan mengering atau keriput. Yang jelas, ia ingin menikmati kegabutannya itu.

Orangtua Faye seperti sudah hafal kebiasaan Faye semenjak ia kuliah. Jika Faye pulang, itu berarti kehidupannya akan melulu di atas tempat tidur. Tidur, makan, tidur, bermain game, tidur, dan lain-lain.

Lelah. Hanya kata itu yang melekat erat ketika Faye melakukan akitivitas hariannya. Semenjak kuliah, ia memang terbiasa melakukan ini itu, bekerja hingga larut malam, bahkan tidak tidur dan melakukan aktivitas menguras tenaga di keesokan paginya. Namun, ia akan memuaskan diri merehatkan badan dengan pulang ke rumah.

Dan, sejak ia merantau, kata pulang adalah hal yang paling ia rindukan. Sudah lima tahun ia hidup berpisah dari orangtua. Masa kuliahnya ia anggap sebagai uji coba. Karena jarak yang masih bisa dijangkaunya sendiri, ia masih pulang-pergi kampus-rumah kalau keperluannya hanya sebatas kuliah satu hari lalu esoknya tanggal merah.

Pulang bukan berarti masalahnya lepas begitu saja. Dengan pulang, Faye akan menyusun kembali apa saja yang harus ia lakukan nanti, ketika ia kembali. Masalahnya dengan Adit, pekerjaannya, dan masa depan. Ia masih ragu, akankah ibunya masih menerima dirinya yang masih asyik dengan status single ini. Karena, sebentar lagi, ia dilangkahi oleh adiknya sendiri.

Menikah bukanlah hal yang ada di rencananya saat ini. Karena hatinya yang ia tahu sendiri, sudah susah sekali menerima orang lain, sekali pun orang itu memberinya perhatian penuh. Pusat kehidupannya sudah berpindah pada Adit, entah sejak kapan.

Dering ponsel memecah lamunannya. Adit is calling...

Halo, Fa?

Ya.

Kok nggak bales chat aku dari kemarin? Masih marah?

Emang kamu chat ya? Nggak ngecek WA dari kemarin.

Udahan dong marahnya...

Siapa yang marah?

Kamu, Yang. Ini aku nyusul ke rumah kamu, lagi di jalan. Jangan pergi.

Siapa yang pergi sih.

Kamu. Main kabur-kaburan gini.

Dit, udahan ya.

Aku salah apa sih, Fa?

Bukan kamu, tapi aku.

Bukan kamu, tapi aku yang seharusnya nggak sebodoh ini.

***

"Fa, ada tamu di depan. Cuci muka dulu sana." Kata Mbak Ita setelah berhasil menarik selimut yang menutup seluruh tubuh Faye.

"Siapa?" sahut Faye sambil kembali mencari posisi tidur enak yang sempat diganggu kakaknya.

"Cowok kamu tuh."

"Ha? Siapa?" kening Faye mulai berkerut. Jangan-jangan, Adit? Nggak mungkin kan, batin Faye.

"Punya cowok kok nggak bilang-bilang. Sekalian aja sana barengan ke KUA sama si Satria."

"Apaan deh mbak, nggak lucu ya."

"Siapa bilang aku ngelawak. Udah sana benerin tuh baju juga. Masak ketemu calon tampilannya kayak gembel di kolong jembatan gini."

"Iya iya. Biarin lah, kalo dia nerima aku harusnya aku kayak apapun dia tetep mau." Balas Faye sambil berjalan malas menuju kamar mandi.

Adit yang dengan jantung hampir copot, duduk dengan tidak tenang di hadapan calon mertuanya. Sejak ia memarkirkan mobilnya di depan gerbang rumah Faye, sejak ia mengetuk pintu dengan tangan bergetar, dan sejak ia melihat Bapak Faye yang membukakan pintu. Lengkap sudah jantungnya dibuat bekerja keras hari ini.

Adit merapalkan doa dalam hati, semoga saja sesuai rencananya. Adit tahu di usianya yang hampir kepala tiga pasti orangtua Faye berharap lebih padanya. Tentu dirinya pun dengan senang hati jika Faye yang akan menjadi teman hidupnya. Oleh karena itu, dengan modal nekat ia jauh-jauh datang ke rumah calon masa depan. Apalagi, masalahnya dengan Faye yang tidak tahu apa penyebabnya.

"Jadi, kamu pacarnya Faye? mau menemui Faye aja atau bagaimana?" tanya Bapak, dengan nada terdengar santai. Namun di telinga Adit berubah menjadi sesuatu yang mengerikan. Entah, kenapa juga dirinya begitu gemetaran. Semoga saja suaranya masih stabil.

"Saya kesini berniat untuk melamar, Pak. Namun maaf, orangtua saya belum bisa menemani saya. Sekalian, saya mau memerkenalkan diri dengan keluarga Faye." ucap Adit lancar setelah ia menarik napas begitu panjang.

"Eh, ada apa Dit?" suara Faye tiba-tiba saja terdengar mengalun di telinga Adit. Entah menjadi penyelamatnya dari suasana mencekam ini, atau malah menambah kesan seramnya.

"Kamu apa kabar?" balas Adit sambil menunjukkan senyum terbaiknya. Faye harus mau biar semua lancar.

"Baik. Ada urusan kantor?" tanya Faye, seolah tidak ada hubungan apa-apa diantara mereka. Bahkan, Faye terkesan melupakan kemarahannya kemarin.

"Bukan urusan kantor. Tapi urusan kita, penting." Balas Adit merubah raut wajahnya menjadi serius.

"Ehem, maafkan bapak ganggu sebentar. Tadi Adit baru saja menjelaskan sama bapak alasannya kemari. Kamu duduk dengarkan dia selesai bicara. Tolong diulangi, Dit." Sela bapak menengahi pembicaraan dua anak manusia itu yang terdengar tidak baik.

"Oh, gitu. Yaudah lanjutin Dit." Adit membalas dengan mengangguk.

"Jadi, saya kesini berniat untuk menjadikan Faye sebagai teman hidup saya, sebagai istri, ibu anak-anak. Apakah kamu mau menerima lamaranku ini? Dan juga, saya hendak meminta restu langsung dari bapak." Jelas Adit, menatap manik kecoklatan Faye.

"Gimana, Fa? Kamu terima nggak? Punya pacar kok nggak bilang-bilang. Kan bisa kamu dulu yang bapak nikahkan, bukan adik kamu yang ngebet itu." Cerocoh bapak dengan dengusan diakhir kalimatnya.

"Bapak ih, boleh aku bicara sebentar dengan Adit?" tanya Faye meminta izin.

"Baiklah. Sebaiknya memang kalian bicarakan berdua dulu. Bapak akan mengikuti maunya Faye saja. Semoga berhasil Dit."

"Jadi gimana? Mau ya?"

"Jangan datang tiba-tiba lalu pergi sesuka hati, Dit."

"Siapa yang pergi sih, kan kamu yang pergi sesuka hati."

"Jangan bikin aku marah deh."

"Aku maunya bikin kamu bilang iya."

"Jangan manfaatin keadaan dengan tiba-tiba nemuin bapak."

"Aku salah apa sih? Maaf Faye."

"Bukan kamu yang salah. Udah berapa kali aku bilang itu?"

"Oke. Kalaupun aku nggak salah, aku tetap minta maaf."

"Masih ingat kemarin aku ngomong apa?"

"Bukan itu yang aku mau. Ayolah, Fa. Mau ya nikah sama aku?"

"Oke, kalau itu maumu."

***

KETEMU!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang