Haru menekan bel pintu rumah Keiji beberapa kali dengan kewalahan karena tangan kirinya sibuk merangkul panci berukuran sedang. Ia menekan dengan gusar ketika Keiji tidak juga membuka pintu rumahnya. Pagi itu dingin sekali. Haru tidak suka musim dingin. Bibirnya akan pecah-pecah karena kering, juga ia tidak bisa sering-sering mandi seperti di musim panas. Namun penderitaannya sebentar lagi berakhir, karena beberapa minggu lagi akan memasuki musim semi.
“Apa dia masih tidur?” gurutu Haru dongkol kemudian menekan bel dengan tidak sabar. Demi Tuhan, kalau bukan karena pancinya yang masih hangat, Haru pasti sudah membeku. Ia menyumpah-nyumpah. Jadi Keiji tidak mau membuka pintu, ya?
“Kei-chan (panggilan lucu untuk perempuan),” teriak Haru dengan lantang sambil tetap memencet bel. “Kei-chaaaan,” teriaknya lagi namun kali ini lebih keras.
Pintu rumah Keiji mendadak terbuka. Pria itu mengenakan sweter polos dan celana panjang. Rambutnya berdiri seperti sarang burung. “Berhenti memanggilku Kei-chan,” desisnya.
Haru tersenyum penuh kemenangan. “Rencananya aku akan memanggilmu begitu seumur hidup kalau kau tidak membuka pintunya,” cerocos Haru sambil masuk ke dalam rumah Keiji. Ia meletakkan panci yang sejak tadi dipeluknya di atas meja makan.
“Di mana Bibi?”
“Belum pulang dari rumah Nenek,” jawab Keiji sambil lalu. Ia melemparkan pantatnya ke kursi. “Orangtuamu belum mengunjungimu?”
Haru menggeleng. “Mungkin bulan depan.”
“Apa yang kau bawa?” tanya Keiji berusaha terdengar acuh tak acuh.
“Ini kari.” Haru memang berniat untuk memasak makanan kesukaan Keiji karena semalam mereka berdebat cukup sengit soal Hoshino Akira. Keiji tidak menyukai ide Haru. Katanya Haru masih belum mengerti, dan tidak akan bisa membantu Akira. Mendengar itu membuat Haru naik darah. Keiji tidak berhak berkata begitu mengingat usia mereka sepantaran, yaitu pertengahan dua puluhan. Memang apa yang belum Haru mengerti?
Alis Keiji terangkat. “Oh, jadi kau berniat untuk minta maaf?”
“Aku hanya sedang ingin memasak kari,” kata Haru membela diri. Selama dua puluh tahun lebih mereka berteman, Haru dan Keiji tidak pernah berkata maaf. Sebagai gantinya, mereka akan melakukan sesuatu untuk minta maaf. Seperti kali ini, Haru membuatkan makanan kesukaan Keiji.
“Aku tidak bisa melarangmu, ya?”
Haru mengangguk. Ia tidak bisa berdiam diri saja. Tidak lagi. “Aku merasa harus berbuat sesuatu.”Keiji mendesah. Hidungnya mencium aroma sedap dari panci yang dibawa Haru.
“Jadi?” tanya Haru hati-hati.
Apa sih yang Haru pikirkan dengan datang ke rumah laki-laki? Bahkan berduaan saja. Itu berbahaya! Keiji tidak sadar telah menyuarakan pikirannya. Ia menutup mulutnya cepat-cepat kemudian menatap Haru yang terlihat heran.
“Berbahaya bagaimana?” tanyanya polos. “Kami kan bekerja secara profesional. Selama ini aku juga tidak merecoki pekerjaanmu yang mungkin saja pernah berduaan dengan wanita.”
Keiji mengerjapkan matanya, tercengang setelah mendengar kata-kata Haru. “Aku tidak pernah—lagi pula ini berbeda! Begini saja, bagaimana kalau aku ikut denganmu ke rumah Hoshino? Dengan begitu, aku tidak akan kepikiran yang macam-macam.”
“Kau gila?” tanya Haru dengan heran. Ia tahu Keiji memang orang yang protektif, tapi laki-laki itu belum pernah merajuk ingin ikut seperti anak kecil. “Jangan-jangan kau hanya penasaran dengan Hoshino Akira, karena itu kau memaksa ikut.”
“Haru, aku serius.”
Haru mendesah, tidak biasanya Keiji menjadi sulit seperti ini. Walaupun sebenarnya ia senang juga dengan sikap Keiji yang perhatian dan protektif. Haru jadi bertanya-tanya, apa Keiji juga bersikap seperti ini pada Nishio Aya? Tidak. Ia tidak sanggup membayangkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spring's Starlight
ChickLitYukihira Haru adalah seorang editor dari penulis novel terkenal, Hoshino Akira. Ternyata penulis yang diidolakannya sejak lama itu tidak sesuai dengan bayangannya. Ia adalah laki-laki kikuk, ceroboh, dan anti-sosial yang selalu mengurung dirinya di...