CHAPTER 5.5

78 17 8
                                    

Keiji terus mengamati Haru lekat-lekat. Suasana hatinya memburuk ketika Akira datang ke mejanya. Apabila Akira datang, pasti gadis itu juga datang. Lalu kenapa ia tidak segera menemui Keiji? Haru tidak membalas pesannya, tidak mengangkat teleponnya. Ia juga tidak membuka pintu rumahnya, entah gadis itu berada di dalam rumah atau tidak. Keiji bahkan sampai menelepon orangtua Haru.

Bukannya merasa bersalah, gadis itu malah tersenyum lebar dan berdansa dengan orang lain. Ia sedang merasa frustasi namun gadis itu malah terlihat bahagia? Ha!

“Baiklah pasangan-pasangan yang sedang berbahagia—kecuali aku, karena si sialan Mitsuo belum datang juga, sekarang saatnya untuk bermain game. Empat pasangan yang berdiri paling dekat denganku sekarang silakan maju ke depan,” kata Mai dengan lantang.

Tiba-tiba tangannya ditarik oleh Aya maju ke depan. Ia mendengar instruksi Mai sambil lalu karena ia tetap fokus mengawasi Haru. Setelah itu ia berkumpul dengan laki-laki, lalu menentukan siapa pemain pertama.

“Biar aku saja yang menjadi pemain pertama.” Ia mengajukan diri sukarela. Mengenali kekasihnya tidak sulit-sulit amat. Keiji sudah lama bersama Aya. Dengan keyakinan itu, ia cukup percaya diri. Ia tidak suka kalah.

“Jangan sampai salah, Tsukiyama-san,” kata Akira sebelum mengikat kain untuk menutup mata Keiji.

Keiji menyeringai. “Tidak akan.”

Ia berjalan perlahan-lahan. Kedua tangannya berusaha menggapai sesuatu, atau apa saja untuk menjadi petunjuk. Ia mendengar sorak sorai tamu undangan semakin keras ketika tangannya berhasil menyentuh bahu seseorang. Tidak, bukan.
Ia pindah ke gadis yang berada di samping kanan.

Ia berpikir sebentar. Bukan juga, batinnya. Sorakan dari tamu undangan semakin bergemuruh. Keiji menyentuh bahu orang itu, kemudian menyentuh kepalanya. Terasa tidak asing. Anehnya, tangannya merasa nyaman membelai rambut itu. Ia tidak akan merasakan hal itu kalau gadis yang berada tepat di depannya ini bukan orang yang dicintainya.

Ia telah memutuskan. Tangannya menangkup sisi wajah gadis itu. Tanpa keraguan, ia mencium bibirnya. Tidak terlalu tepat ke bibir sebenarnya, hanya di atas bibirnya sedikit karena matanya tertutup kain.

Ciuman itu hanya berlangsung selama tiga detik. Keiji cepat-cepat melepas penutup matanya. Ia tertegun.

Yang berdiri di hadapannya bukan Nishio Aya, melainkan Yukihira Haru.

Kepalanya terasa kosong. Suara riuh dari orang-orang terdengar jauh. Ia memandang Haru yang terbelalak dengan mulut ternganga. Kenapa jadi Haru? O-oh, Astaga! Kekasihnya kan juga berada di sana! Ia buru-buru menatap Aya. Gadis itu diam saja. Ekspresi wajahnya sulit diartikan. Apakah ia marah? Kecewa? Sedih?

“Astaga Keiji, kau kalah telak.” Terlihat jelas bahwa Mai berusaha menyelamatkan mereka dari situasi yang amat canggung.

“Aku—aku ke toilet sebentar.” Haru bergegas menjauh, menuju ke dalam rumah.

Keiji berlari mengikuti Haru. Apa ia sudah gila? Aya sedang melihatnya, tetapi ia malah mencium dan mengejar wanita lain? Ia tidak peduli. Keiji bisa membicarakan itu dengan Aya nanti. Pertama-tama, ia harus tahu alasan Haru menghindarinya.

“Haru,” panggil Keiji, berharap gadis itu berhenti.

“Eh, sepertinya mereka tidak bisa melanjutkan permainan ini, jadi kita akan memanggil kloter selanjutnya,” kata Mai gelagapan.

Keiji memanggilnya lagi. “Haru!” Tangannya berhasil menggapai lengan Haru. Keiji terperanjat ketika gadis itu membalik badan. Air matanya tumpah ruah.

“Lepas,” perintah Haru dingin.

Dengan berat hati dan agak kaget, Keiji melepas tangannya. Kenapa Haru menangis? Apa itu karena dirinya? Ia sudah bersumpah akan menjaga Haru seperti adik perempuannya. Ia akan menghajar siapapun yang membuat Haru menangis. Namun bagaimana kalau ia sendiri yang menjadi alasan gadis itu menangis?

Spring's StarlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang