Ia hanya berdiri, menikmati angin laut membelai wajahnya, dan menarik napas panjang-panjang. Damai sekali. Gadis itu juga melakukan hal yang sama. Tangannya tergerak untuk mengabadikan pemandangan itu.
Ckrek. Ia mengamati hasil fotonya sambil senyum-senyum. Kali ini ia mendapat foto ekspresi yang berbeda dari gadis itu.
“Aku akan meminta royalti yang tinggi kalau kau terus memotretku tanpa izin,” ancam Haru sambil membuka kedua matanya.
Akira tertawa pendek. “Ambil saja semua royalti dari bukuku yang akan diterbitkan,” katanya pongah.
Haru menatap Akira penuh selidik. “Uangmu banyak sekali, ya?”
“Mmm, lumayan,” gumam Akira. Isi tabungannya memang banyak sekali uang royalti yang dihasilkan dari buku-bukunya yang sudah diterbitkan. Selama ini ia hanya menggunakannya untuk membeli kebutuhan sehari-hari, membayar pajak dan listrik, serta memperbarui ponsel dan laptopnya untuk bekerja. Sisanya ia biarkan menumpuk di bank.
“Lalu kenapa perabotan di rumah—eh, tidak jadi.”
“Kenapa barang-barangnya tua?” tanya Akira seakan mengerti apa yang ingin Haru ucapkan. “Aku memang tidak ingin menggantinya.”
Kening Haru berkerut. “Kenapa tidak?”
Akira mengangkat bahu acuh tak acuh. “Agar kenangannya tidak berubah.”
Haru diam sejenak, lalu bertanya dengan hati-hati, “Aku tidak sengaja melihat foto keluarga di kamarmu, itu orangtuamu, kau, dan adikmu, bukan?”
Laki-laki itu menarik napas pelan. “Ya.”
“Kalau boleh tahu, ke mana mereka?”
“Ayahku sudah meninggal sembilan tahun yang lalu.”
Haru agak terkejut mendengar jawaban Akira. “Oh, maafkan aku.”
Akira memaksakan seulas senyum. “Tidak apa-apa, itu sudah lama sekali.”
“Lalu ibu dan adikmu?”
Akira tidak langsung menjawab. Ia berpikir-pikir, mengamati laut dari kejauhan, lalu mendesah pelan. “Ibu dan adikku pergi ketika aku berusia sepuluh tahun, tepatnya setelah Ibu bercerai dengan Ayah.”
“Mereka pergi ke mana?”
Akira mengangkat bahu lagi. “Terakhir kali kudengar ke Amerika, ke rumah bibiku.”
“Kau tidak ingin bertemu mereka?” tanya gadis itu polos.
“Aku ingin, tetapi bagaimana dengan ibu dan adikku? Lagi pula jika mereka ingin menemuiku, mereka tahu tempatku berada.”
Haru menggigit bibir bawahnya. Kelihatannya ia terlalu banyak bertanya. “Karena kita sudah di sini, setidaknya kita harus bermain dengan air laut sedikit saja.”
Akira menggelengkan kepalanya enggan. “Aku di sini saja,” tolaknya. Sejujurnya, laut masih membuatnya tidak nyaman. Lebih dari sebulan yang lalu ia hampir menjatuhkan diri ke laut...
“Ayolah,” bujuk Haru sambil menarik-narik lengan Akira.
Akhirnya laki-laki itu pasrah mengikuti Haru mendekat ke air laut. Pantainya sepi pengunjung. Ia memang sengaja memilih pantai di kota kecil dekat Nagoya, agar terhindar dari hiruk pikuk orang-orang. Akira meletakkan backpack dan melepas sepatunya, merasakan butir-butir pasir di telapak kakinya. Air laut masih terasa dingin di musim semi.
Namun tidak apa-apa. Pengorbanan kecilnya mampu membuat gadis itu senang. Haru melompat-lompat gembira ketika air laut menyapu kakinya lembut. Bagian bawah rok krem panjang yang menutupi betis kakinya sudah basah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spring's Starlight
ChickLitYukihira Haru adalah seorang editor dari penulis novel terkenal, Hoshino Akira. Ternyata penulis yang diidolakannya sejak lama itu tidak sesuai dengan bayangannya. Ia adalah laki-laki kikuk, ceroboh, dan anti-sosial yang selalu mengurung dirinya di...