CHAPTER 13.5

42 15 6
                                    

Padahal satu bulan lebih tidak bertemu Keiji, namun Haru merasa agak aneh. Lebih tepatnya, ia merasa rindu pada Keiji, tetapi tidak menggebu-gebu seperti biasa. Tetap saja hatinya menghangat ketika melihat Keiji keluar dengan menyeret koper tadi. Dengan refleks ia memeluk laki-laki itu erat-erat.

“Aku juga merindukanmu,” bisik Keiji lalu terkekeh.

Haru melepas pelukannya, lalu cemberut. “Kenapa tidak memberitahuku kalau kau pergi ke Seoul?” tuntutnya.

Alis Keiji terangkat. Ia tersenyum miring. “Karena waktu itu kaubilang untuk tidak menghubungimu atau bertemu denganmu.”

“Tapi—“

“Ah, benar juga,” sela Keji sebelum Haru bisa melayangkan protesnya. “Kau pernah berkata kalau wanita mengatakan hal yang sebaliknya alih-alih mengatakan keinginan yang sebenarnya. “

Sudahlah, kata Haru dalam hati. Ia tidak akan menang melawan Keiji. “Terserah kau,” tukas Haru akhirnya. “Aku lapar, ayo pergi ke kafe dekat sini.”

“Kau sudah tidak marah lagi padaku, kan? Kau mau bertemu denganku lagi, kan?”

“Iya, iya,” jawab Haru sambil lalu.

“Haru, aku serius,” sergah Keiji, menarik pelan lengan Haru agar badannya berbalik. “Untuk waktu itu, aku benar-benar minta maaf.”

Wajah gadis itu melembut. Ia sadar itu bukan sepenuhnya salah Keiji, dan rasanya tidak  adil ia marah pada laki-laki itu tanpa alasan. Sebenarnya beralasan, namun untuk saat ini Keiji tidak perlu tahu. “Aku sudah tidak marah, oke? Aku akan menemuimu sebanyak yang kaumau. Tapi aku sekarang sangat lapar, jadi, ayo pergi.”

Setelah keluar dari bandara, mereka berjalan tidak jauh, masuk ke dalam sebuah kafe kecil. Haru memilih duduk di sudut ruangan, sementara Keiji mengekor di belakang, lalu duduk di depan Haru.

“Bagaimana kabarmu?” tanya Keiji—benar-benar bertanya, bukannya berbasa-basi—setelah mereka memesan makanan dan minuman.

“Cukup baik.”

“Walaupun tanpa diriku?”

“Ya, meski agak membosankan juga.” Sebenarnya tidak bosan juga karena ada Akira, tapi Haru tidak berkata apa-apa.

Keiji mengangguk-angguk. “Kalau aku sih rindu padamu. Aku sering bermimpi kau merengek minta ikut ke Seoul, membuatku tidak fokus bekerja, dan ingin cepat-cepat pulang untuk bertemu denganmu.”

Ternyata Haru masih merasa senang mendengar kata-kata Keiji yang itu, yang menyebalkan tapi terdengar sangat manis. Keiji memang jago sekali, entah disengaja atau cara bicaranya memang begitu. Sambil tidak bisa menahan senyumnya yang melebar, ia berkata, “Aya-san pasti cemberut kalau mendengar ini.”

“Aku sudah putus dengannya.”

“Hah?” Haru ingin bertanya lebih detail, tapi tidak enak karena jujur saja ia merasa agak jauh dengan temannya sejak kecil itu. Ia mengamati Keiji dalam diam.

Keiji menyandarkan punggungnya dan menarik napas. “Dia yang mencampakkanku,” jawabnya tanpa ditanya. Seperti biasa, Keiji sudah hafal dengan jalan pikiran Haru. Gadis itu pasti bertanya-tanya dalam hati, dan membuat kemungkinan-kemungkinan dari yang masuk akal hingga sangat ajaib di kepalanya yang kecil itu. “Katanya karena walaupun aku bersamanya, tapi hatiku tidak. Manusia mana yang mau dengan laki-laki seperti itu.”

“Benar juga, siapa yang mau.”

Disentilnya kening Haru denhgan gemas. “Puas kau meledekku?”

Karena merasa ada yang janggal, Haru memicingkan mata, dan memberanikan diri untuk bertanya, “Tunggu sebentar, apa maksudnya hatimu tidak?”

Bahu Keiji terangkat ringan. “Pokoknya begitu.”

Spring's StarlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang