CHAPTER 4

65 21 1
                                    

Jadi bagaimana?” tanya Mai dengan mata berkilat-kilat penuh rasa ingin tahu.

Haru mendengus. Ia sudah menduga kalau Mai mentraktirnya makan siang dengan maksud tertentu. Beberapa hari ini mereka cukup sibuk sampai tidak sempat untuk mengobrol. Kalaupun ada waktu, mereka akan membicarakan pekerjaan.

“Dia akan datang.”

“Benarkah?” tanya Mai sekali lagi.

“Mmm,” Haru mengiyakan sambil mengunyah.

“Dia tampan tidak?”

Haru pura-pura terkejut. “Apa ini? Bukannya kau sudah punya Mitsuo?” guraunya.

Mai mencibir. “Aku kan cuma tanya, dia tampan atau tidak?”

“Lihat saja Sabtu besok, kau bisa melihat sepuas—“ belum sempat Haru menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba ponselnya berdering. Ia cepat-cepat mengangkat telepon begitu melihat nama kontak yang tertera di layar ponselnya.

“Akira-san? Ada apa?” Haru terkejut ketika laki-laki itu meneleponnya, karena belum pernah satu kali pun Akira meneleponnya lebih dulu.

“Eh, aku sedang bingung...” kata Akira ragu-ragu dengan suara lirih.

Dahi Haru berkerut samar. Banyak suara yang terdengar di sambungan telepon Akira. “Apa kau sedang berada di luar rumah?”

“Sebenarnya aku sedang tersesat.”

Mata Haru seketika melebar. “Sekarang kau berada di  mana?”

Akira diam sejenak. “Sepertinya aku masih di Shibuya, di depan Starbucks yang temboknya berwarna merah bata, di sudut perempatan.”

Haru mengembuskan napas lega karena ternyata Akira berada tidak jauh dari tempatnya makan siang bersama Mai. “Jangan ke mana-mana, aku akan menemuimu sepuluh menit lagi.”

“Apa? Ada apa?” tanya Mai yang ikut bingung melihat Haru mengemasi barang-barangnya.

“Akira sedang berada di dekat sini,” jelas Haru cepat, lalu memakai mantelnya.

“Yang benar? Aku ikut! Biarkan aku ikut!” desak Mai sambil menarik-narik lengan Haru.

Haru mencubit pipi Mai gemas. “Katamu setelah ini ada janji dengan Mitsuo? Dasar! Aku pergi dulu.”

***

Akira bersandar di depan sebuah gerai Starbucks di sudut perempatan. Ia menyesap frappuccino-nya, berusaha menghangatkan kerongkongannya yang terasa kering. Rencananya hari itu ia ingin membiasakan diri berada di lingkungan yang ramai. Beberapa hari ini, ia sudah melatih dirinya. Ia pergi ke tempat-tempat yang lumayan ramai di dekat rumahnya seperti taman, kafe, dan gang yang dipenuhi orang-orang dan toko yang berjajar-jajar.

Sejauh ini tidak terjadi apa-apa. Ia baik-baik saja. Tangannya tidak berkeringat, dan jantungnya berdegup dengan normal. Akira hanya merasa sedikit pusing dan gelisah, karena itu ia memutuskan untuk membeli minuman berkafein. Tujuannya setelah itu adalah pergi ke pusat toko baju. Namun ia malah tersesat ketika keluar dari kafe. Satu-satunya orang yang bisa ia mintai tolong adalah editornya, Yukihira Haru.

Sekitar lima menit kemudian, ia melihat Haru berlari dari kejauhan. Akira mengenali betul tubuh Haru yang lumayan tinggi serta rambutnya yang hitam sebahu. Gadis itu terengah-engah, pipinya bersemu merah karena berlari di cuaca yang lumayan dingin. Perasaannya menghangat melihat gadis itu menghampirinya.

“Cepat sekali,” cetus Akira.

Haru masih berusaha menarik napas dalam-dalam. “Aku sedang berada di dekat sini. Apa yang kau lakukan sampai tersesat?”

Akira mengangkat bahu. “Aku hanya ingin berjalan-jalan.”

“Berjalan-jalan ke Shibuya?” Haru tercengang.

Akira diam saja. ‘Hoshino Akira berjalan-jalan di Shibuya’ memang terdengar sangat tidak normal, karena normalnya Akira akan menghindari tempat yang ramai sejauh mungkin. Hari ini ia malah pergi ke salah satu distrik yang paling padat di Tokyo.

“Nah, kau ingin pergi ke mana? Biar kutemani.” Haru menawarkan diri.

Mata Akira menerawang ke atas, mengingat-ingat tujuannya semula. “Aku ingin membeli beberapa pakaian baru, pakaianku sudah usang.” Bajunya memang sudah usang semua. Selain usang, warna bajunya hanya terdiri dari warna-warna grayscale seperti hitam, abu-abu, dan biru gelap. Orang-orang yang melihat lemarinya pasti akan berpikir itu lemari khusus untuk pakaian berdukacita. Ia rasa tidak ada satu pun pakaian di lemarinya yang cocok untuk dipakai ke pesta Sabtu besok.

“Baiklah, ikuti aku.” Haru melangkah lebar-lebar dengan riang. Entah kenapa sepertinya ia malah terlihat senang, bukannya merasa terbebani seperti yang dipikirkan Akira.

“Aku merasa sedikit gelisah karena sudah lama tidak melihat keramaian yang seperti ini,” aku Akira. Ia berjalan di sebelah kanan Haru, melindungi gadis itu dari orang-orang yang berjalan berlawanan.

Karena Haru tidak berkomentar dan hanya memandanginya, Akira melanjutkan, “Orang-orang seperti menatapku. Rasanya sangat tidak nyaman, karena itu aku berjalan menunduk seperti ini.”

Mungkin karena perasaannya sudah membaik, Akira berbicara lebih banyak dari biasanya.  “Padahal Tsukiyama-san bilang kalau sebaiknya aku menatap balik, tapi itu terasa berat untukku.

Kedua mata Haru melebar. “Kei bilang begitu?”

Akira mengangguk. “Itu sulit sekali.”

“Kalau begitu lihat aku saja.”

Akira mengerjapkan matanya. “Apa?”

“Lihat aku,” jawab Haru sambil tersenyum lebar. “Apa aspal jalan lebih menarik dari pada aku?”

“Tidak, bukan begitu,” sahut Akira cepat.

Haru terkekeh. “Aku hanya bercanda. Kau terlihat gelisah, dan sepertinya aku mengerti perasaanmu. Kalau kau belum siap untuk melihat dunia, lihat aku saja, pandang aku. Tidak apa-apa. Menatapku tidak akan menyakitimu. Sekarang, coba pandang aku.”

Akira sesaat tertegun menatap Haru. Gadis itu balik menatap langsung ke matanya. Ini adalah pertama kalinya Akira benar-benar melihat wajah Haru. Biasanya ia akan menghindar, tetapi kali ini tidak. Tidak apa-apa. Ia tidak merasa gusar dan gelisah sama sekali. Melihat Haru memang tidak menyakitinya, namun ada perasaan aneh muncul yang ia sendiri tidak tahu perasaan macam apa.

“Bagaimana?”

“Tidak buruk.”

Haru tertawa. “Setelah ini jangan melihat ke bawah, tapi lihat aku. Aku berada di sampingmu. Kalau menunduk terus, bisa-bisa nanti kau menabrak sesuatu dan jatuh. Kita tidak ingin menambah luka baru, bukan?”

***

Spring's StarlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang