CHAPTER 9

42 15 3
                                    

Haru mengulum bibirnya cemas. Ia menunggu respon Mai setelah bercerita tentang apa yang Mitsuo lakukan pada Akira dulu. Walaupun itu terjadi di masa lalu, bukan berarti sekarang Mitsuo tidak bersalah, bukan? Buktinya sampai saat ini Akira masih merasa dihantui. Ia mengisolasi dirinya sampai beberapa saat yang lalu.

“Kau serius dengan apa yang kaukatakan? Sungguh Mitsuo melakukannya?”

Haru mengangguk pelan. Ia hanya bilang pada Mai bahwa Mitsuo pernah mengganggu Akira saat SMA, tidak sampai pada Akira yang mengidap PTSD. Akira bisa saja tidak nyaman kalau orang lain tahu tentang keadaannya.

Mai meletakkan mug ke atas meja, melihat ke sekeliling ruangan kantor, lalu berbisik, “Apa itu ada hubungannya dengan kejadian di pesta ulang tahunku? Yang saat dia jatuh dari kursi bar itu? Waktu itu Mitsuo baru datang, apa mungkin anak itu masih mengganggunya?”

“Oh, tidak, bukan begitu,” sahut Haru cepat. Bisa gawat kalau Mai mengamuk pada Mitsuo. Ia bisa saja menghajar laki-laki berbadan besar itu dengan teknik jujitsu. “Akira hanya terkejut, setelah minum obat ia sudah tidak apa-apa.”

Mai menggeram dengan suara pelan, mengingat ia masih berada di tempat kerja. “Anak itu, berani-beraninya dia bersikap semena-mena. Lihat saja, aku akan menyeretnya untuk berlutut di depan Akira-san. Ya Tuhan, Akira tampan-ku yang malang.”

Haru memutar bola mata dengan dongkol. “Jangan menyebutnya begitu.”

Alis Mai terangkat heran. “Kau cemburu, ya?” godanya.

Haru menegakkan punggungnya, melipat tangannya di depan dada, bersikap defensif. “Bicara apa kau ini? Siapa yang cemburu?”

Belum sempat Mai membalas, sebuah foto lanscape  tertempel di meja komputer Haru bersama dengan foto-foto lama menarik perhatiannya. Dengan menyipitkan mata, ia dapat melihat Haru sedang tersenyum lebar bersama seorang laki-laki yang wajah bagian atasnya tidak tertangkap lensa kamera.

“Di foto baru itu kau sedang bersama siapa?” selidik Mai.

“Ini?” Haru menunjuk foto yang di maksud temannya. “Bersama Akira-san.”

Lho...? “Hah? Dengan Akira-san?” tanya Mai heboh, tidak bisa menyembunyikan ekspresi kagetnya. “Kok aku tidak tahu apa-apa tentang ini?”

“Kau kan memang tidak tahu apa-apa tentang kami,” tukas Haru dengan nada bercanda.

Mai mengerjap semakin heran. Sejak kapan Haru menggunakan 'kami' sebagai kata pengganti ia dan Akira? Wah, jelas ada yang aneh di sini. “Kau harus bercerita padaku sekarang juga,” perintah Mai dengan nada resmi, mengartikan bahwa perintahnya absolut dan tidak bisa dibantah.

Haru tertawa kecil. “Kami pergi berlibur ke Nagoya minggu lalu, tidak direncanakan sama sekali.”
“Lalu?”

“Lalu apa?” tanya Haru tidak mengerti.

“Apa yang terjadi?” desak Mai ingin tahu.

Haru memiringkan kepala, menimbang-nimbang, lalu akhirnya berkata, “Tidak terjadi apa-apa. Memangnya apa yang harus terjadi?”

“Kau yakin tidak terjadi apa-apa? Kau tidak merasakan sesuatu?”

Merasakan sesuatu? Kening Haru berkerut. Merasakan apa? Saat itu ia merasa sangat bahagia, sampai-sampai ia sama sekali tidak mengingat masalahnya. Haru tertegun. “Benar juga, selama di sana aku lupa pada Kei. Itu artinya teori jalan-jalan Akira bekerja dengan baik.”

Mai tersenyum kecut. Kadang-kadang temannya itu bisa menjadi sangat bodoh. Namun ia sudah cukup puas dengan jawaban Haru. “Lalu bagaimana dengan Keiji? Masih berada di Seoul?”

“Mm,” gumam Haru sambil mengangguk.
“Sudah hampir satu bulan kami tidak saling menghubungi.”

“Sejak pesta ulang tahunku?”

Haru mengangguk lagi, lalu melirik jam tangannya. “Kita bicara lagi nanti, aku harus segera menyerahkan naskah Akira-san ke rapat redaksi. Sepertinya yang ini sudah bisa diterbitkan.”

***

“Naskahku sudah bisa diterbitkan?” tanya Akira agak kaget, yang sebenarnya mengherankan. Ini bukan pertama kali bukunya dicetak, tetapi ia merasa senang.

Sambil menggulung lengan kemeja sampai ke atas siku, Haru menyahut, “Itu kan tidak aneh, kau ini penulis terkenal.” Haru menyalakan keran air, lalu menyiram kebun Akira yang sudah seperti kebunnya sendiri.

“Berkat bantuanmu juga.”

Haru mengangguk. “Tentu saja. Oh, halo kucing,” sapa Haru ceria ketika kucing berbulu abu-abu melompat dari tembok belakang turun ke rumput.

“Namanya Sora,” sahut Akira pendek sambil beranjak ke lemari es, mencari ikan.

Sora? Haru mendadak teringat pada surat yang terselip di buku Akira. “Waktu kau pergi ke mini-market, sebenarnya aku tidak sengaja membaca surat yang terselip di bukumu.”

Akira terpekur sesaat. Ia menyodorkan sepiring ikan yang sudah dipanaskan pada kucing yang bernama Sora itu. “Berapa banyak surat yang sudah kaubaca?”

Alis Haru mengernyit. Berapa? “Hanya satu yang terselip di buku pertamamu,” jawabnya jujur. “Apa itu surat dari temanmu?”

Raut wajah Akira berubah tegang. “Benar.”

Aneh. Haru pikir Sora ini pergi ke luar negeri atau semacamnya ketika ia membaca suratnya. Tapi sepertinya Akira tidak ingin membicarakan hal itu. “Maaf aku sudah lancang membaca suratmu,” katanya menyesal.

Akira mengedikkan bahu. “Tidak masalah, hanya satu, bukan?”

Haru mengangguk, lalu melihat jam dinding. “Ah! Karena naskahmu akan dicetak, bagaimana kalau kita merayakannya hari ini?”

***

Hari ini lidahnya sangat terpuaskan. Haru mengajaknya mengunjungi kafe panekuk enak luar biasa yang baru buka di Shinjuku. Namun matanya melotot ketika Haru memintanya untuk pergi ke kafe lain setelah panekuk mereka habis.

“Kau tidak merasa kenyang?” tanya Akira pada gadis yang berjalan di sebelahnya.

Haru terkekeh. “Tenang saja, kita tidak akan makan. Minum kopi saja, kalau kau tidak suka kopi, ada cokelat hangat yang enak di sana.”

Akira mengangkat bahu. Kalau ada cokelat enak, ia sama sekali tidak keberatan.  “Jangan-jangan kau ingin menghabiskan waktu lebih lama bersamaku, ya?”

Mata Haru mengerjap-ngerjap kaget, lalu tertawa. Sekarang ia yakin Akira sudah berubah, jauh dari Akira yang baru ditemuinya dulu. Tanpa sadar ia tersenyum penuh dengan kelegaan. “Ya, ya, terserah kau saja.” Ia mendesah pelan, lalu bergumam, “Aku harap tidak akan terjadi hal buruk.”

“Apa maksudmu hal buruk?”

Haru menggeleng. “Tidak ada,” cetusnya, kemudian masuk ke dalam kafe kecil sepetak bercat putih. Ia bergegas melangkah ke meja di sudut ruangan dekat kaca. Mai melambai-lambai padanya.

Dahi Akira berkerut. Kenapa ada Takada Mai?

“Apa kabarmu, Akira-san?” sapa Mai setelah Haru dan Akira duduk di kursi.

Akira memaksakan seulas senyum, karena masih agak kaget bertemu dengan Mai. “Tidak pernah lebih baik, bagaimana denganmu?”

Senyum Mai melebar. “Aku baik seperti biasa, terima kasih. Sebenarnya ada yang ingin bertemu denganmu.”

Seketika Akira menoleh pada Haru, lalu berbalik lagi pada Mai. Apa maksudnya ini? “Siapa?”

Akira merasa jantungnya melorot sampai ke perut ketika orang itu menghampiri meja mereka dengan bahu merosot, lalu duduk di sebelah Mai dengan mengembuskan napas berat dan menyodorkan secangkir cokelat panas pada Akira. “Halo, Akira. Senang bertemu denganmu lagi.”

***

Spring's StarlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang