“Planetarium?” tanya Haru agak kaget. Jawaban Akira memang tidak pernah membuatnya bosan.
Akira mengangguk sedikit bersemangat. “Aku belum pernah mengunjungi planetarium seumur hidupku.”
“Aah, jadi karena itu kau mengusulkan untuk pergi ke Nagoya.”
Akira tertawa malu dan tidak membantah.
“Boleh saja,” kata Haru ringan. Ia memotret Akira yang kembali sibuk menatap ponselnya. Laki-laki itu sedang mencari tempat-tempat yang bagus untuk didatangi. Mengherankan sekali. Biasanya Haru selalu mempersiapkan tujuan dan perbekalan sebelum pergi berlibur, bisa dibilang ini pertamakalinya ia langsung pergi dengan spontan.
“Lalu kau ingin pergi ke mana?” tanya Akira.
Haru berpikir sambil memandangi jendela kereta. Jalannya cepat sekali, pikirnya. Wajar saja karena mereka memilih kereta Shinkansen (kereta tercepat di Jepang) untuk pergi ke Nagoya. “Aku ingin pergi ke pantai,” gumamnya.
Akira mengangguk-angguk. “Di dekat Nagoya juga ada pantai. Setelah ke planetarium, kita akan pergi ke pantai.”
Haru tertawa pendek. “Kau tidak takut pergi ke sana?”“Takut?” Akira mengangkat kepala, menatap Haru dengan alis terangkat. “Kenapa aku takut?”
“Kau pergi ke tempat baru tanpa mempersiapkan apa pun.”
Akira mengambil kamera dari tangan Haru. “Aku kan punya kau.”
Kepala Haru menoleh dengan kecepatan tinggi, seakan tidak percaya dengan pendengarannya. “Apa?”
“Kalau nanti aku tersesat, aku hanya perlu membuntutimu seperti anak ayam,” ujar Akira ringan lalu terkikik.
Ia memukul pelan lengan Akira sambil menggerutu, “Memangnya aku ini induk ayam?” Haru mengerucutkan bibir, dan ekspresi wajahnya berhasil diabadikan Akira lewat kamera. “Berbeda dengan Tokyo, aku buta arah di Nagoya. Akan ada banyak sekali orang meskipun tidak sebanyak di Tokyo. Kau yakin tidak apa-apa?”
Akira memejamkan mata, menarik napas panjang, lalu tersenyum tenang. “Selama kau bersamaku, maka aku akan baik-baik saja.”
Untuk sesaat, waktu terasa berhenti. Padahal sudah berkali-kali slogan itu diucapkan Akira, tapi Haru merasa aneh.
Ia tidak dapat mendengar apa pun kecuali detak jantungnya sendiri dan suara tarikan napas Akira yang teratur.Ia tidak dapat melihat apa pun selain sisi samping wajah Akira yang ditimpa sinar matahari dari jendela kaca.
Aneh sekali.
Jantungnya melonjak-lonjak, sementara hatinya merasa tenang.
***
Kereta paling cepat di Jepang memang tidak pernah mengecewakan Haru. Walaupun harganya sedikit lebih mahal, mereka hanya menempuh hampir dua jam untuk pergi ke Nagoya.
Haru berdecak kagum melihat planetarium yang terbesar di negeri sakura itu. Bangunannya berbentuk bola raksasa yang diapit dua gedung tinggi. Kalau Keiji ada di sini, laki-laki itu pasti sibuk mondar-mandir ke sana-sini untuk mengagumi dan mengamati planetarium itu.
Haru mendesah pelan. Ia tersenyum sekilas, lalu memutar kepalanya melihat Akira yang sedang memotret punggungnya. Yang ini jelas berbeda, katanya dalam hati.
Haru menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. “Apa yang sedang kaulakukan?”
“Aku sedang membuat memori baru.” Akira menurunkan kamera dari depan wajahnya sambil menyunggingkan senyum lebar.
Haru menyambar kamera dari Akira. “Jangan memotretku terus, kita harus foto berdua,” ujarnya sembari mengulurkan tangannya sepanjang mungkin, menjauhkan kamera dari wajahnya. Ia agak berjinjit berdiri di dekat Akira, lalu memotret dirinya sendiri dengan Akira.
Tawa Haru lepas tanpa bisa ditahan ketika melihat hasil foto yang ia ambil di kamera. Wajahnya terlihat bagus, namun wajah Akira terpotong dari hidung hingga kepalanya. “Lain kali biar kau saja yang mengambil fotonya,” katanya masih sambil tertawa.
Akira mencibir. “Sudah siang, kita harus segera masuk.”
Setelah membayar tiket terusan, mereka kemudian masuk ke dalam planetarium.
“Wah, besar sekali!” seru Akira kagum. Ruangan itu berbentuk kubah dengan diameter lebih dari tiga puluh meter, terdapat kursi-kursi seperti di bioskop berbaris melingkar.“Planetarium ini paling besar di dunia,” celetuk Haru sambil mengawasi Akira yang terlihat antusias dan penuh minat. Laki-laki itu melangkah lebar dan melompat-lompat kecil. Rupanya ia sudah lupa dengan angka usianya sendiri.
Haru dan Akira memilih untuk duduk di kursi barisan tengah. Lampu ruangan perlahan meredup ketika semua pengunjung sudah duduk di kursi.
“Astaga.” Haru menahan napas saat ribuan bintang muncul di langit-langit kubah. Ia seperti sedang melayang di galaksi. Dari sudut matanya, ia bisa tahu bibir Akira tidak terkatup sejak proyektor planetarium menyala. Haru tertawa kecil.
Aah, Akira terlihat menggemaskan.
***
“Hoshino Akira,” gumam Haru nyaris tanpa suara.
“Ya?” sahut Akira tanpa menoleh, membuat Haru agak kaget.
“Namamu cantik sekali.”
Akira tersenyum seulas. “Begitukah?”
Haru mengangguk walaupun ia ragu Akira bisa melihatnya karena ruangannya lumayan gelap, dan juga tampaknya laki-laki itu masih sibuk mengagumi hujan meteor berwarna biru, ungu, dan merah tergambar di langit-langit. “Artinya cahaya bintang,” kata Haru pelan.
“Aku merasa tidak cocok menggunakan nama itu,” ucap Akira berterus terang.
Haru mengerutkan kening. “Kenapa?”
Akira melirik Haru dengan heran. “Sudah jelas aku sangat bertolak belakang, ibarat kata, aku ini seperti... apa, ya? Kalau orang-orang pada umumnya adalah kupu-kupu, mungkin aku seperti ngengat, tidak memiliki corak yang indah dan membosankan.”
“Tahu tidak, awal aku bertemu denganmu, kupikir kau itu seorang wanita,” aku Haru sambil berusaha menahan tawa.
Akira mendengus dan menggerutu tidak jelas.
“Karena namamu dan gaya penulisanmu sangat indah,” tambah Haru yang terdengar seperti beralasan tapi sebetulnya memang begitu adanya. “Lalu ketika tahu kau adalah Hoshino Akira, aku kaget setengah mati. Kenapa yang kutemui bukan wanita dewasa cantik melainkan seorang pria berantakan?”
Akhirnya Akira tidak bisa menahan senyum. Kalau diingat-ingat, pertemuan mereka agak lucu memang. Haru berusaha memaksa untuk menemuinya, sementara ia menghindari orang mati-matian.
“Namun pria berantakan ini selalu berhasil mengejutkanku. Wajahnya cantik, suka makanan manis, dan suka kucing. Di balik sifatnya yang tertutup, ternyata dia bicara banyak sekali. Dia sangat pemalu, tetapi entah bagaimana dia suka menantang diri pergi ke tempat-tempat baru. Siapa bilang dia membosankan?”
Akira menatap Haru tanpa berkedip. Perasaan apa ini? Akhir-akhir ini ia selalu merasa seperti ini ketika Haru melihat matanya lurus-lurus, atau ketika ia tidak sengaja menyentuh gadis itu, atau ketika Haru tersenyum padanya, seperti sekarang ini.
Jantungnya berdebar keras sekali, tetapi dalam arti yang menyenangkan. Ia tidak memerlukan obatnya karena ia tidak ingin perasaan itu hilang. Mengejutkan sekali.
Kepala Haru kembali terangkat, melihat proyektor yang tadinya memunculkan gambar hujan meteor kini berubah menjadi rasi bintang. “Karena itu, aku ingin kau hidup seperti namamu. Aku ingin kau melihat sisi baik dari dunia yang kejam ini, seperti halnya cahaya bintang yang hanya dapat dilihat saat gelap.”
Ini bahaya. Kalau begini terus, Akira tidak yakin bisa menyembunyikan suara detak jantungnya yang keras.
Di ruang planetarium yang gelap, ia melihat gadis itu bercahaya lebih terang, paling terang dari seluruh bintang yang ada.
Oh, sial.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Spring's Starlight
ChickLitYukihira Haru adalah seorang editor dari penulis novel terkenal, Hoshino Akira. Ternyata penulis yang diidolakannya sejak lama itu tidak sesuai dengan bayangannya. Ia adalah laki-laki kikuk, ceroboh, dan anti-sosial yang selalu mengurung dirinya di...