Senyum puas tersungging di bibir Akira ketika melihat kebun belakangnya. Pandangannya kemudian beralih ke atas meja kotatsu. Ini juga beres, batinnya. Ia berkacak pinggang, lalu menimbang-nimbang apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
Akira menjentikkan jari. Benar juga! Ia buru-buru mencari ponselnya di kamar, lalu menekan layarnya dengan cepat.
“Moshi-moshi, Akira-san,” sapa gadis itu seperti biasa setelah mengangkat telepon.
Dengan refleks Akira tersenyum sesaat ketika mendengar suara gadis itu. “Sekarang kau ada di mana?” tanya Akira tanpa basa-basi.
“Aku sudah berada di rumah, sebentar lagi aku berangkat—“
“Tidak usah,” sela Akira. “Tidak usah ke sini.”
Gadis itu menggerutu pelan yang tidak dapat di dengar Akira, lalu bertanya, “Kenapa?”
“Pokoknya tidak usah ke sini. Istirahat saja di rumah, kau pasti lelah karena perjalanan yang jauh. Selamat tidur, Haru-san.”
Tanpa mendengar gadis itu lebih lama, Akira menutup teleponnya.
***
Haru sedang sibuk menghias kotak dengan pita ketika teleponnya berdering. Senyumnya mengembang begitu membaca nama kontak yang muncul di layar ponselnya. “Moshi-moshi, Akira-san.”
“Sekarang kau ada di mana?”
Senyum Haru semakin lebar. Pasti laki-laki itu tidak sabar menunggu kedatangannya. “Aku sudah berada di rumah, sebentar lagi aku berangkat—“
“Tidak usah,” kata Akira memutus kalimat Haru. Kedua alis gadis itu mengernyit. “Tidak usah ke sini,” lanjut Akira yang semakin membuat Haru merasa heran.
Ia menggerutu tidak jelas, lalu bertanya, “Kenapa?”
“Pokoknya tidak usah ke sini. Istirahat saja di rumah, kau pasti lelah karena perjalanan yang jauh. Selamat tidur, Haru-san.”
Hah? Sambungan teleponnya diputus. Oh, bagus. Padahal laki-laki itu bilang akan menunggunya kembali ke Tokyo, sekarang Haru malah tidak boleh pergi ke rumahnya. Padahal Haru sudah membuat sekotak cokelat untuknya. Ia mengangkat bahu acuh tak acuh, ya sudah kalau memang Akira tidak menginginkan cokelatnya.
Ia mendesis, lalu meniup-niup poninya, tiba-tiba merasa kesal. Masa ia tidak boleh ke rumah Akira? Katanya laki-laki itu ingin segera melihatnya. Dengan perasaan dongkol, Haru mengambil sebuah buku dari rak, lalu menjatuhkan pantatnya ke atas sofa. Sialnya, ia mengambil buku milik Akira.
Karena laki-laki itu bersikap menyebalkan, bukunya juga jadi terlihat menyebalkan. Ia membuang buku itu sembarangan ke lantai.
“Astaga,” keluhnya sambil mendesah pelan. Akhirnya ia hanya berbaring di sofa dan tidak melakukan apa-apa.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, bel pintu rumahnya berbunyi. Siapa sih? Haru memberengut, bangkit dari sofa, lalu berjalan ke pintu. Ia menarik pintu dengan malas, kemudian matanya membesar. Ia terperanjat kaget.
“Akira-san?” tanyanya tidak percaya. Ia mengamati laki-laki itu dari atas sampai bawah, lalu terbahak-bahak. “Kenapa kau berpakaian begitu?”
Akira menempelkan sebelah tangannya ke tembok, memasang ekspresi tersenyum menggoda. “Hai, cantik.”
(Kebetulan nemu fotonya 😂😂😂)
Gelak tawa Haru semakin keras dan heboh. Akira yang biasanya konservatif, berpenampilan biasa saja, dan agak pemalu sekarang mengenakan celana jins, kemeja hitam serta jas hitam. Tangan kanannya memegang sebuket besar bunga mawar dan bersikap seperti seorang playboy. “Kau bahkan menata rambutmu!” Haru berseru takjub.
Masih dengan tersenyum menggoda, Akira berkata, “Kau akan terus membiarkanku di luar sini?”
“Oh, masuklah,” ujar Haru di sela-sela tawa, lalu menerima buket bunga yang disodorkan Akira.
“Terkejut?” tanya Akira setelah duduk di sofa.
Haru mengangguk sambil mencium wangi mawar yang di peluknya. “Sangat.”
“Tahu kenapa aku ke sini dengan bunga dan pakaian begini?”
Haru menggeleng.
“Aku ingin mengajakmu kencan.”
“Benarkah?” Bola mata Haru seketika berbinar-binar. Ia duduk di samping Akira. “Kau tahu ini hari apa?”
Akira mengangkat bahu cuek. “Hari Sabtu.”
Haru mencibir. Kalau memang Akira tidak tahu, kenapa tiba-tiba mengajaknya kencan? Tunggu dulu. Kencan? Ini pertama kalinya mereka pergi berdua tanpa status rekan kerja—penulis novel dan editor—kan? Tiba-tiba saja Haru merasa tidak bisa bernapas duduk di dekat Akira.
“Rencananya apa yang kaulakukan setelah aku melarangmu datang ke rumah?” tanya Akira tiba-tiba.
Haru memajukan bibir, mendengus keras, lalu bersedekap. “Aku akan membaca buku sampai bosan, tetapi yang kuambil malah bukumu. Aku semakin merasa jengkel dan akhirnya tidak melakukan apa-apa,” jelasnya panjang lebar.
Akira memandang gadis itu sambil senyum-senyum. “Untuk apa kau membaca buku kalau kau bisa menghabiskan waktu bersama penulisnya?”
Haru tidak berkomentar, hanya bisa menahan sudut bibirnya yang mulai tertarik ke atas.
“Jadi kau merasa senang, kan, aku datang ke sini, dengan pakaian yang agak memalukan dan sebuket bunga hanya untuk menjemputmu?”
Haru melirik laki-laki itu sekilas, masih sambil melipat tangannya. “Sedikit,” sahutnya pendek.
“Kalau begitu, cepat ganti bajumu,” kata Akira. “Mobil kita sudah menunggu.”
Mobil? Haru mengerjap-ngerjap bingung. Karena terkejut, Haru tidak sempat melihat ada mobil terparkir di depan rumahnya tadi. “Kau punya mobil?”
Akira tertawa pendek. “Tidak.”
Jawaban Akira semakin membuatnya bingung. “Lalu?”
“Aku datang dengan taksi,” jelas Akira. “Taksinya sedang menunggu.”
Haru membuang napas dengan jengkel. “Harusnya kau bilang dari tadi. Kukira kau benar-benar punya mobil, aku kaget sekali, tahu?”
“Untuk apa aku beli mobil kalau tidak bisa menyetir.” Akira menggeleng-geleng sambil terkekeh.
“Tapi, sebenarnya kita mau pergi ke mana?” tanya Haru lagi sebelum benar-benar bangkit untuk berganti pakaian.
“Kau ini suka sekali bertanya.” Akira mendecakkan lidah, lalu berkata, “Kita akan pergi ke rumahku.”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Spring's Starlight
ChickLitYukihira Haru adalah seorang editor dari penulis novel terkenal, Hoshino Akira. Ternyata penulis yang diidolakannya sejak lama itu tidak sesuai dengan bayangannya. Ia adalah laki-laki kikuk, ceroboh, dan anti-sosial yang selalu mengurung dirinya di...