Sudah hampir dua minggu berlalu sejak Haru terakhir kali bertemu dan berbicara dengan Keiji di depan rumahnya. Selama dua minggu itu, ia hanya makan, tidur, pergi ke kantor serta berkebun di rumah Akira. Ia nyaris tidak ingat dengan apa yang dikatakannya malam itu. Mungkin karena waktu itu ia sedikit mabuk, atau karena amarahnya yang meluap-luap. Yang jelas ia yakin telah meminta Keiji menjauhinya.
Sekarang ia berpikir itu ide yang bodoh.
Lari dari masalah jelas bukan solusi yang tepat. Ia mengerutkan dahi. Tidak juga! Justru itulah solusinya. Haru akan melupakan perasaannya. Segera, ia akan berteman lagi dengan Keiji dan pura-pura tidak ada yang terjadi. Mereka akan kembali seperti dulu.
Apa akan semudah itu? Ia menggeleng-geleng. “Bisa gila aku,” gumamnya pada diri sendiri.
“Haru-san, sebenarnya kau sedang membaca naskahku atau tidak?”
Haru mengerjap, kembali dari lamunannya yang entah sudah sampai mana. “Maafkan aku, aku banyak pikiran hari ini,” kata Haru, lalu meletakkan naskah di atas meja.
Hari Sabtu memang hari liburnya, tapi di sisi lain ia bersyukur karena harus lembur di rumah Akira. Setidaknya ia punya teman untuk diajak ngobrol, sehingga ia tidak sempat memikirkan Keiji sampai berlarut-larut seperti saat ia berada di rumah sendirian dan melamun.
“Apa yang sedang kaupikirkan?” tanya Akira ingin tahu.
Haru menopang kepalanya dengan satu tangan dan menarik napas panjang berlebihan. “Aku memutuskan untuk berhenti.”
Mata Akira melebar kaget. “Berhenti menjadi editor?”
“Bukan, bukan. Tentu saja tidak,” jawab Haru cepat.
Akira mengembuskan napas lega. “Lalu kau ingin berhenti dari apa?”
“Aku ingin mengakhiri kisah cintaku yang menyedihkan ini.”
Akira terlihat tidak mengerti. Alis tebalnya berkerut. “Maksudmu kau ingin berhenti menyukainya?”
Haru mengangguk tanpa suara.
“Kenapa kau menyerah semudah itu?” protes Akira.
Haru mengangkat kepalanya dengan perasaan dongkol. “Aku tidak menyerah semudah itu. Aku hanya tidak ingin hubungan pertemanan kami rusak hanya karena perasaanku yang tidak masuk akal ini. Aku cuma ingin melupakannya, karena aku ingin kami kembali seperti dulu.”
“Bagaimana caranya?”
Kepalanya merosot tanpa tenaga. “Aku sedang memikirkan caranya,” jawab Haru seadanya.
Akira termenung sebentar dan berpikir, kemudian suatu ide muncul di kepalanya. “Kurasa kau sekarang berada di titik jenuh.”
“Mm, kau benar lagi.”
Mata Akira seketika berbinar-binar. “Sekarang saatnya aku yang membantumu. Kau ingat berjalan-jalan membuatku lebih baik?”
Haru berpikir sejenak. “Jangan katakan...”
“Ya, ya,” sela Akira cepat. “Kita—aku dan kau—akan pergi, mencari suasana baru. Tenang saja, kita tidak akan pergi ke pusat kota Tokyo karena kau akan mengingat semua kenanganmu dengan Tsukiyama-san.”
“Kau tidak perlu repot-repot, Akira-san,” kata Haru enggan.
“Aku perlu referensi dan inspirasi baru, sementara kau butuh untuk menenangkan pikiran. Ini saling menguntungkan, bukan? Kita semua senang.”
Haru berusaha mendengarkan ide Akira. “Baiklah teruskan,” katanya mempersilakan.
Akira terlihat antusias. Untuk pertama kalinya Haru melihat laki-laki itu semangat dan berapi-api. “Tempat mana saja yang belum pernah kau kunjungi dengannya?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Spring's Starlight
ChickLitYukihira Haru adalah seorang editor dari penulis novel terkenal, Hoshino Akira. Ternyata penulis yang diidolakannya sejak lama itu tidak sesuai dengan bayangannya. Ia adalah laki-laki kikuk, ceroboh, dan anti-sosial yang selalu mengurung dirinya di...