CHAPTER 6

54 13 0
                                    

Seseorang memanggil namanya berulangkali, seperti suara lonceng pintu yang tidak kunjung dibuka. Tetapi ia tidak mungkin membuka pintu, karena hatinya akan terasa perih. Ia yakin lalat akan mengerubungi lukanya yang membusuk.

Suara yang terdengar lembut sekaligus mengerikan itu terus menggema di telinganya. Ia menggeliat gelisah. Ia tidak ingin melihat sosok itu, namun anehnya hatinya mengatakan ia merindukannya. Suara itu terdengar lagi.

Bagaimana kabarmu sekarang?

Aku tidak tahu...

Apa kau hidup dengan baik?

Aku tidak yakin...

Apa kau merindukanku?

Perlahan Akira membuka kedua matanya. Ia mengerjap-ngerjap sebentar, lalu bangkit. Kepalanya terasa berat. Lagi-lagi ia bermimpi buruk. Ia mendengus keras dan mendecak. Suara berisik dari luar kamar membuat dahinya berkerut samar. Kepalanya melongok keluar, kerutan di dahinya semakin terlihat.

“Yukihira-san?”

Haru menoleh, masih sambil berjongkok di halaman belakang. “Sudah bangun? Bagaimana perasaanmu? Apa kau masih sakit?”

Laki-laki itu terdiam sesaat. Ia memutuskan duduk di lantai kayu, kemudian memasukkan kakinya ke dalam selimut kotatsu. “Sekarang sudah lebih baik.”  Suaranya terdengar sumbang.

Senyum Haru mengembang. “Syukurlah kau baik-baik saja,” katanya lega. “Sebaiknya kau sarapan, aku membuat bubur. Aku kira kau tidak akan bisa makan makanan yang berat, ternyata kau baik-baik saja.”

Akira memandangi gadis itu tanpa berkedip. “Kau datang sejak pagi?”

“Hm? Tidak. Aku di sini sejak tadi malam.”

Akira mendelik. “Apa?”

Haru kembali mengais tanah, seakan mengabaikan keterkejutan Akira karena ia bermalam di rumahnya. “Kau tidak berpikir aku akan meninggalkanmu dengan keadaan begitu, bukan? Aku tidur di kamar sebelah, maaf karena aku belum meminta izin.”

“Kau tidak perlu repot-repot... maksudku, bagaimana dengan orangtuamu?”

Gadis itu mengangkat bahunya ringan. “Aku tinggal sendiri.”

Akira tidak berkomentar. Ia baru saja menyadari bahwa ia tidak tahu apa-apa tentang gadis berkulit pucat itu. Bahkan cara berpikirnya. Padahal Akira sudah mempersiapkan diri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan dituntut Haru atas kejadian semalam, namun gadis itu menanyakan keadaannya saja. Tidak lebih.

“Kau sendiri bagaimana?” tanya Akira  sambil mulai menyantap bubur.

Haru yang masih berkutik dengan bunga-bunga bertanya balik, “Bagaimana apanya?”

“Kejadian semalam...” kata Akira menggantung seperti segan meneruskan kalimatnya.

Akira bisa melihat punggung Haru menegang. “O-oh itu. Aku baik-baik saja, maksudku itu hanya kecelakaan,” jelas Haru terbata.

Lalu ketika suasana mendadak hening Haru menambahkan, “Aku memang payah.”

“Payah?”

Haru melemparkan sekop ke tanah dengan kesal. “Semua orang berkata bahwa aku ahlinya memotivasi orang lain, tetapi kenyataannya aku pengecut. Aku tidak bisa mengatakan apa pun padanya. Aku menyuruh orang melakukan ini itu tapi aku sendiri tidak bisa!”

Akira mengatupkan bibir melihat gadis itu mengamuk.

“Aku sama sekali tidak berubah. Tidak ada yang berubah.” Haru terengah-engah. Ia menarik napas untuk mengatur emosinya.

Spring's StarlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang