Setelah selesai berpakaian dan sarapan, akhirnya Valerie berangkat ke sekolah. Jam sudah menunjukkan pukul 6.15.
Di sepanjang perjalanan, Valerie hanya berdoa agar tidak ada kejadian aneh di sekolah.
Semoga Steven gak banyak omong deh nanti, muak gue, batin Valerie.
Mobil yang dinaiki Valerie akhirnya berhenti di parkiran. Valerie segera turun dari mobil dan berlari ke kelasnya karena takut terlambat.
Saat Valerie sampai ke dalam kelas, langsung ada sesosok pria yang menyapanya.
"Pagi, Val," sapa cowok itu.
"Yaya," jawab Valerie dingin.
"Kok gitu doang sih jawabnya?"
"Emang gue harus ngomong apa?"
"HAI. PAGI JUGA STEVEN. GITU?" tanya Valerie nyolot.
Ya, cowok itu adalah Steven. Siapa lagi kalau bukan dia? Cowok yang selalu menyapa Valerie di pagi hari tanpa lelah walaupun sudah dikacangin oleh Valerie terus menerus.
"Nah gitu dong," ujar Steven seperti anak kecil.
Tak lama kemudian, bel masuk berbunyi. Pak Theo, guru ipa kelas Valerie ini akhirnya datang.
"Anak anak, ayo buka bukunya halaman 123," perintah Pak Theo.
"Oh iya. Bapak mau mengadakan praktek per kelompok. Satu kelompok terdiri dari dua orang."
Anak-anak di kelas langsung ribut mencari teman sekelompok mereka. Termasuk Valerie, dia langsung mengajak Karina untuk menjadi teman sekelompoknya.
"Kar, gue sama lo ya," ajak Valerie.
"Sip deh."
"Val, sekelompok yuk," ajak Steven.
"Sorry, gue sama Karina. Ngarep banget gue mau sama lo," jawab Valerie sewot.
"Heh sudah, sudah. Siapa bilang kalian yang nentuin grupnya?" omel Pak Theo yang membuat seluruh kelas bergumam karena tahu bahwa grupnya akan diacak. "Bapak yang nentuin grupnya."
"Yahhh," ucap satu kelas berbarengan.
"Karina, kamu sama―"
Sama gue dong plis, batin Valerie.
"James."
Yahhh
"Valerie, kamu sama―"
Sama gue dong plis, batin Steven.
"Steven."
Yess. Pak Theo tau aja deh gue pengen sama Valerie. Emang jodoh gak kemana dah, batin Steven.
"Lah Pak, kok gitu?" protes Valerie.
Mimpi apa sih gue semalem sampe harus sekelompok sama nih kunyuk. Sial banget deh hari ini gue, batin Valerie.
"Apa? Kamu mau protes sama Bapak? Mau saya kosongin semua nilai ulangan kamu?" ancam Pak Theo.
Kontan, Valerie langsung menunduk dan akhirnya mematuhi gurunya itu. Daripada nilai ulangannya dikosongkan semua nanti, bisa-bisa ia tidak naik kelas.
"Engg, ya―enggak, Pak," jawab Valerie pasrah.
"Bener 'kan, Val. Kalo jodoh tuh gak kemana ya," goda Steven.
"Apa sih lo najis," cetus Valerie.
"Udah udah, gak usah protes."
"Jadi tugasnya, kalian harus melakukan pengamatan tentang tumbuhan di sekitar sekolah bersama teman sekelompok. Lalu buatlah laporannya."
**
"Val, gimana nih tugas kelompoknya?" tanya Steven sambil berjalan mengikuti Valerie dari belakang.
"Udah, lo gak usah ngikutin gue terus napa. Mencar aja deh. Ilfeel gue deket-deket sama lo tau gak," ucap Valerie ketus.
"'Kan ini tugas kelompok, ayolah Val," paksa Steven.
"Iya iya berisik. Kita bagi tugas aja. Lo yang ngamatin tanamannya, gue yang nulis laporannya, setuju?" tawar Valerie.
"Apa sih yang gak buat lo. Yuk kita ke taman belakang aja, banyak tanaman di sana," usul Steven.
"Ini daunnya menyirip―"
"Bentar ya gue mau liat tanaman yang di situ dulu," ucap Valerie.
"Dasar lo, yang ini aja belum selesai."
"Eh hati-hati. Disitu becek, awas nanti kepleset," nasihat Steven.
"Gak bakal elah," elak Valerie.
Karena tidak megacuhkan perkataan dari Steven, Valerie akhirnya terpleset saat melewati tanah yang licin dan basah.
"Eh awas," ujar Steven sambil berlari menghampiri Valerie. Larinya sangat cepat, bagaikan kilat.
Beberapa detik kemudian, Valerie sudah berada di rangkulan Steven. Mereka saling bertatap mata. Jantung mereka sama-sama berdebar kencang. Tidak ada yang melakukan pergerakan. Semuanya sama-sama kaku di posisinya.
Deg.
Kenapa gue jadi salting gini sih, jantung gue deg-degan bawaannya kalo deket sama Steven. Apa gue masih say―Ah, gak! Gak mungkin, batin Valerie.
"I know, Val. You still love me," bisik Steven sambil menerawang mata Valerie seolah olah dia bisa membaca pikiran Valerie.
Steven masih tetap merangkul Valerie. Sampai akhirnya, Pak Theo datang untuk mengecek keadaan muridnya.
"Gimana anak-anak? Bisa 'kan?" tanya Pak Theo.
Sontak, Valerie lansung bangun dari rangkulan Steven. Ia pun tidak berbicara apa-apa, melainkan langsung pergi ke kelas.
Ganggu aja nih bapak-bapak satu. Lagi adegan romantis juga, batin Steven sambil melemparkan tatapan horor ke Pak Theo.
"Apa kamu liatin saya kayak gitu?" tanya Pak Theo. Sontak, Steven tersentak lalu langsung gelagapan.
"Ehm―gak Pak! Bapak ganteng abisan," elak Steven.
"Najis, Steven sukanya sama begituan," sindir seorang cowok.
"Heh udah. Semua balik ke kelas, kalau sudah selesai," perintah Pak Theo.
Steven pun segera mengejar Valerie ke kelas.
"Val―"
"Makasih," potong Valerie.
"Kena―"
"Udah nolongin gue."
"Kalo gak, pasti gue udah jatoh ke lumpur," ucap Valerie sambil tersenyum kecil. Walaupun dia hanya mengeluarkan senyum kecil, namun senyuman itu sangat tulus, senyuman yang berasal dari hati. Bukan senyuman paksa atau semacamnya.
Steven hanya membalas senyum Valerie dengan penuh arti. Bisa dilihat muka Valerie langsung memerah karena grogi.
A/N
Haii update lagi nih:D Gue lagi belajar buat gak pake caps mulu nulis author's note nya lohhh, oke gak penting.
Chapter ini emang masih gak penting gitu deh, maklum masih chapter awal awal.
Makasih yang udah baca cerita ini, nge vote, comments. Semoga gak bosen yaa!!
Votes dan Comments gue tunggu terus loh. Byee..
9 Mei 2014
KAMU SEDANG MEMBACA
The Regret
Teen FictionKesalahpahaman telah membuat Valerie membutakan mata dan hatinya, untuk memercayai atau bahkan sekedar mendengar penjelasan mantannya itu, Steven. Tapi apa yang bisa Valerie lakukan? Saat kenyataan yang sebenarnya sudah terungkap, yang bisa Valerie...