Aku meminta Risma, Sarah, dan Hana mendatangi setiap kelas sepuluh untuk mendata siapa saja yang akan ikut klub basket cewek. Meskipun sedikit pemalu, tapi untuk saat ini entah kenapa aku punya keberanian lebih.
Untuk menggaet 30 orang bukan hal yang mudah tentunya, kebanyakan siswi SMA malas dengan hal yang berbau ekskul, tidak semua, sih. Apalagi ini basket, hal yang sangat identik dengan pria.
Takut kulit menghitam karena sering tersorot sinar matahari, latihan yang melelahkan, dan hanya cewek tomboy yang ikutan. Itu penilaian Sarah tempo hari. Aku tidak membantah dan tidak pula mengiyakan pendapat Sarah. Karena setiap orang punya persepsi masing-masing tentang suatu hal.
Aku membagi tugas pada ketiga temanku ini. Sarah kusuruh untuk mendata ke kelas sepuluh IPA 1, 2, 3, Hana dan Risma mendata kelas sepuluh Bahasa 1, 2, 3, dan aku bagian sepuluh IPS 1, 2, 3.
"Good luck, ya!" seruku pada mereka bertiga. "Dan inget, ya, bikin semeyakinkan mungkin supaya banyak yang ikutan. Inget omongan gue semalem."
"Siap, Bu Bos!" Sarah memberikan hormat padaku.
Aku hanya geleng-geleng melihat tingkah Sarah yang lebih sering aneh, tapi walaupun begitu dia bisa diandalkan.
"Ya udah, yuk, cepet, keburu pada ke kantin takutnya," saran Risma.
Benar juga, bel istirahat sudah berbunyi sekitar tiga menit lalu. Kami sengaja mengambil waktu istirahat, supaya tidak menggangu saat KBM. Kami pun berpisah dan pergi menjalankan tugas masing-masing.
Oh iya, soal semalam aku memberi wejangan dari mulai cara bicara sampai mimik wajah yang harus ditampilkan saat berdiri di kelas-kelas nantinya. Dan kini aku hanya bisa berdoa, semoga hasilnya sesuai dengan ekspektasiku.
***
Kami berempat sudah berkumpul lagi di kelas, mulai menghitung ada berapa anak yang ikut. Jujur, aku sangat cemas. Bagaimana tidak, kelas IPS saja yang ikut hanya 8 orang, masih kurang 22 lagi.
"Han, kelas Bahasa ada berapa yang ikutan?" tanyaku pada Hana.
Hana melihat kertas yang dipegangnya. "Cuma sebelas orang, Tar."
Risma mengangguk mengiyakan di samping Hana.
Oke, masih kurang sebelas lagi.
Tatapanku sekarang beralih pada Sarah. Namun, Sarah malah menatapku balik, sementara aku tidak bisa mengartikan tatapannya.
"Di kelas IPA cuma sembilan orang, Tar."
Pundakku terjatuh lemas mendengar perkataan Sarah barusan.
"Itu artinya masih kurang dua orang lagi, ya?" tanya Risma.
Hana mengambil data kelas IPS di tanganku. Dia tiba-tiba tersenyum setelah melihatnya, "Nama lo sendiri di sini belum ditulis, Tar," lalu geleng-geleng dan tersenyum padaku.
Refleks aku menepuk dahi. Nama sendiri pun lupa ditulis. Aku segera menulis namaku di sana.
"Oke, berarti tinggal satu orang lagi," ucapku.
Sarah dan Risma kelihatan sedang berpikir, aku pun sama.
"Yaelah, lama. Tulis nama gue."
Sontak aku memalingkan pandangan ke asal suara, Risma dan Sarah sama terkejutnya sepertiku.
"Kenapa? Kok ngeliatinnya gitu banget? Gue mau naikin tinggi badan asal kalian tahu." Hana menjawab santai.
"Loh, Han, bukannya lo bilang mau ikutan ekskul PMR, ya?" tanya Risma bingung.
"Iya. Kenapa lo tiba-tiba berubah pikiran?" Sarah ikut bertanya.
"Gue kan udah bilang, gue mau naikin tinggi badan. Dan PMR kayaknya bukan pilihan yang tepat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth or Dare (Completed)
Teen Fiction"Gue suka sama lo. Mau gak jadi pacar gue?" Kalimat itu terlontar jelas dari mulut Tari yang saat ini merasa malu setengah mati melakukan tantangan Truth or Dare dari teman-temannya itu. "Oke, mulai hari ini kita pacaran." Jawaban yang sungguh dilu...