Shafa mengerjapkan matanya. Yang ia tahu ia tidak sedang berada di ruang kamarnya. Nyeri di sekujur tubuhnya mengingatkannya akan apa yang baru saja terjadi. Jam menunjukkan pukul 2 siang. Shafa menoleh ke kanan dan kiri bingung dimana ia berada. Beberapa detik kemudian seorang pria tampan muncul dari balik pintu membawa nampan yang berisi makanan.
"Kak Aldo.."
"Shafa kamu udah bangun?" tanyanya yang langsung berjalan cepat menuju Shafa. Ia menaruh nampan di nakas dan mengecek kesehatan Shafa. Ia menaruh telapak tangannya di kening Shafa untuk mengecek suhu badan gadis itu. Tapi yang ada malah Shafa merintih kesakitan karna Aldo menyentuh salah satu memar Shafa yang berada di daerah keningnya itu.
"Aw"
"Ma-Maaf" kata Aldo khawatir dan menyesal kemudian menunduk dalem.
"Maaf. Gue.. gue.. gue ga bisa jagain lo. Gue ga bisa lindungin lo. Gue udah ingkarin janji gue ke nyokap lo. Gue.. emang nggak pernah berguna.." kata Aldo yang masih tidak berani menatap Shafa.
Shafa yang melihat itu merasa tidak enak hati. Ia menyentuh lengan Aldo lembut seraya berkata.
"Kak.. Kakak nggak salah kok. Kakak nggak salah apa-apa. Malah kakak udah selamatin gue."
Aldo mendongak memberanikan diri menatap manik mata Shafa, "Tapi kalo gue lebih becus dan lebih berhati-hati, lo nggak akan jadi kaya gini. Gue salah. Gue gagal jagain lo."
"Kak, ini urusan gue sama Refa. Masalah gue sama dia. Kakak nggak ada hubungan apa-apa dalam masalah ini. Justru lo yang udah selamatin gue tadi, kak. Makasih yah kak." kata Shafa menatap Aldo lembut.
Mendapat tatapan itu dan dapat sedekat ini dengan Shafa. Jantungnya berdegup kencang. Ia bahagia. Ia menikmati waktu ini. Tapi rasa bersalah dalam dirinya masih menguasai hati dan pikirannya.
"Sekali lagi maaf. Gue emang nggak pantes-" potongnya kemudian membuang muka.
"Kak. Denger deh. Lo tuh nggak salah apa-apa sama gue. Dan gue berterima kasih banget sama lo karna udah nolongin gue. Udah titik. Jangan pikirin yang enggak enggak deh." kata Shafa kesal.
"Gue mau pulang kak."
"Gue nggak mungkin bawa pulang lo dengan keadaan kayak gini. Gimana gue harus ngadepin nyokap lo nanti?"
"Itu mah urusan gue kak. Udah deh lo nggak perlu khawatir soal itu. Sekarang anterin gue pulang kak. Gue pengen dimanjain mamah. hehe"
"Hmm yaudah. Bentar ya aku mandi dulu." kata Aldo kemudian hilang di balik pintu.
Sambil menunggu Aldo, Shafa mengelilingi apartemen Aldo memperhatikan setiap inchi ruangan itu. Dan menghasilkan banyak pertanyaan di benaknya.
"Gue udah selesai. Ayo." Ajak Aldo.
"Rapi banget kak." kata Shafa heran dengan penampilan Aldo yang tidak seperti biasa.
"Iyalah mau ngadepin camer" gumam Aldo.
"Apa kak gue nggak denger?"
"Enggak. Ayo buruan!"
Di mobil,
"Kak Kak"
"Hmm?" jawab Aldo tanpa mengalihkan perhatiannya dari jalan.
"Itu tadi apartemen kakak?"
"Iya."
"Selama ini kakak tinggal disana?"
"Iya."
"Sendirian?"
"Iya."
"Orang tua kakak?"
Aldo terdiam. Ia menatap Shafa sekilas sembari menimbang harus kah ia menceritakan tentang keluarganya yang tak pernah ia ceritakan pada siapa pun.
"Rumah kakek gue yang dari nyokap ada di daerah selatan. Nyokap gue lumpuh dan tinggal disana bareng kakek gue. Sedangkan bokap gue ninggalin nyokap gue karna nyokap gue lumpuh. Mereka cerai. Bokap gue nikah lagi. Tapi dia masih sering tinggal di rumah kakek gue itu sama istri barunya kalo mereka nggak ada tempat tinggal."
"kak sorry."
"santai."
"kakak nggak punya saudara?"
"Satu-satunya abang gue lagi ngurus perusahaan kakek yang di New York."
"Beda berapa tahun?"
"5 tahun"
"Wah berarti masih muda. Ganteng nggak?" tanya Shafa dengan polosnya yang dihadiahi pelototan oleh Aldo.
"Ganteng sih tapi gantengan adeknya." jawab Aldo
"Idih lo bisa narsis juga yah kak."
"Itu namanya fakta."
"Serah lu deh kak. Jadi setelah lulus nanti lo juga bakal ngurus perusahaan kakek lo?"
"Maybe"
"Cita-cita kakak apa?"
"Cita-cita?" Aldo berpikir sejenak. "Nggak ada."
"Kok nggak ada kak? Cita-cita gue jadi dokter kak. hehe"
"Padahal nggak ada yang tanya sih." jawab Aldo yang sebenarnya dalam hati ia berusaha menyimpan informasi itu ke dalam daftar hal-hal mengenai Shafa.
"Lagian cita-cita lo klise banget." lanjut Aldo.
"Yee daripada ga punya cita-cita." balas Shafa.
"Bawel lu. Lagi bonyok gitu juga masih bisa bawel."
"Biarin lah. Gue mah setrong."
"Sok strong."
"Udah nyampe kak."
Aldo kembali deg degan.
"Lo ikut turun ngga?" Tanya Shafa melihat Aldo yang sedang ragu-ragu.
"Iya lah gue harus tanggung jawab in lo ke orang tua lo."
"Ih, lo kayak habis hamilin gue aja kak. Yaudah yuk."
Aldo dan Shafa masuk ke rumah Shafa. Betapa terkejutnya mama Shafa melihat anaknya babak belur.
"Astaga Shafa, kamu kenapa? Aldo Shafa kok bisa jadi kaya gini?" Tanya mama Shafa khawatir.
"Maaf kan saya tante." Kata Aldo menunduk dalam.
"Tadi aku di bully mah sama temen2 aku. Tapi untung Kak Aldo selamatin aku." Jelas Shafa.
"Maafin saya tante. Saya nggak becus jagain Shafa." Lanjut Aldo.
"Siapa yang berani lakuin ini ke kamu nak? Mama nggak mau tau mama akan laporin ini."
"Sudah saya laporkan tante,"
"Bagus kalau begitu. Makasih yah Aldo." Mama Shafa.
"Tante nggak marah sama saya?"
"Kok marahnya ke kamu? Kan kamu yang selamatin Shafa."
Aldo diam.
"Yaudah kamu sekarang pulang dulu, biar Shafa bisa istirahat."
"Iya kak. Sekali lagi makasih yah kak."
Setelah berpamitan dengan orang tua Shafa, Aldo kembali menuju mobilnya. Tidak langsung menyalakan mobilnya, alih-alih ia justru mengambil handpone nya dan menelpon seseorang.
"Gimana? Udah lo urus semua?" Tanyanya langsung ketika sambungan telpon itu diangkat oleh orang disebrang sana.