"Makasih ya, Kak, udah nganterin aku pulang," ucapku, lalu turun dan menyerahkan helm.
Kak Aldo masih duduk di atas motornya. Walaupun mengenakan helm, tapi aku bisa melihat kalau Kak Aldo sedang tersenyum.
"Iya, sama-sama," jawabnya sebelum pamit pulang karena hari mulai gelap.
Aku pun masuk ke rumah dengan perasaan bahagia. Bagaimana tidak, aku masih kepikiran dengan ucapan Kak Aldo di kafe tadi. Cara dia menatapku dengan jarak sedekat itu... ahhh, itu membuatku melayang.
Asal kalian tahu, sebelumnya aku belum pernah berpacaran. Pernah, sih, naksir sama teman sekelas waktu SMP, tapi dia malah jadian sama temanku sendiri, kan sakit. Sejak peristiwa itu aku malah bermusuhan dengan temanku, sampai detik ini malah. Dan sekarang aku mulai membuka hati lagi untuk orang baru, dan itu kakak kelasku sendiri.
Sebenarnya aku juga masih ragu dengan perasaanku ini. Apa rasa ini nyata atau hanya ilusi? Aku takut kalau ternyata aku terlalu baper atas semua sikap baik Kak Aldo. Dan aku lebih takut kalau perasaanku ini bertepuk sebelah tangan.
Saat melewati ruang keluarga, Rian yang awalnya tengah asyik menonton TV, kini sudah berada di hadapanku.
"Widih... dianterin sama siapa, tuh? Mana jam segini baru pulang. Abis nge-date, ya?"
Aku melotot kaget. Bagaimana Rian bisa tahu kalau aku diantar Kak Aldo?
"Apaan, sih, itu senior Kakak di sekolah dan tadi cuma ngobrolin tentang ekskul dulu bentar. Mana ada nge-date segala," jawabku sesantai mungkin.
"Masa, sih, cuma ngobrolin tentang ekskul doang? Tadi keliatannya Kakak senyum-senyum gitu pas ngobrol sama cowok itu. Jangan-jangan Kakak naksir, ya, sama dia? Hayo, loh."
Fix, Rian tadi memang mengintip. Tapi bisa-bisanya dia kelewat peka begini membaca keadaan sekitar. Rian jelas-jelas tengah menggodaku. Dan sialnya, pipiku terasa panas ketahuan suka sama seseorang oleh adikku sendiri.
"Jadi bener Kakak suka sama cowok tadi?" Dibanding bertanya, Rian malah tampak seperti sedang menginterogasiku.
Aku hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala.
"AYAH... KAK TARI UDAH—"
"Komik. Nanti Kakak beliin kamu tiga komik," sogokku akhirnya.
Astaga, kenapa Rian ember sekali? Bisa berabe kalau Ayah tahu aku diantar pulang oleh laki-laki, apalagi Rian pasti ngadu yang aneh-aneh sama Ayah. Bisa-bisa uang jajanku dipotong, atau mungkin lebih dari itu. Ayah memang begitu, melarangku pacaran sebelum lulus SMA.
"Okelah. Mulut ditutup." Rian tersenyum puas dan berlagak mengunci mulutnya. "Jangan lupa. Tiga. Komik." Rian menekan setiap suku katanya.
"Iya!" Aku berdecih sebal. Kapan-kapan aku juga ingin mengancam tentang dia yang suka jalan dengan gebetannya. Tapi sayang, aku tak punya bukti.
Aku langsung berlalu meninggalkan Rian di ruang tamu. Kalau lama-lama di dekatnya, bisa-bisa aku diinterogasi lebih jauh. Rian termasuk orang yang superkepo menyangkut masalah pribadiku.
***
Malam ini aku dan Rian asyik menonton kartun di ruang keluarga. Entah mengapa malam-malam begini ada saja TV swasta yang menayangkan kartun. Tapi tak apa, aku cukup terhibur. Ini lebih baik daripada menonton sinetron yang alur dan ending-nya sudah ketebak. Membosankan.
Saat sedang tertawa keras karena melihat tokoh kartun yang konyol, handphone-ku bergetar. Aku segera mengambilnya. Ada satu chat masuk.
Kak Aldo : Kakak udah ngasih tahu semuanya sama Pak Idi, dan dia bilang minggu ini mulai lagi latihan, persiapan buat tanding sama SMA Pelita. Pertandingan persahabatan sih, tapi Pak Idi berharap banyak klub basket cewek sekolah kita yang menang. So, fighting!
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth or Dare (Completed)
Teen Fiction"Gue suka sama lo. Mau gak jadi pacar gue?" Kalimat itu terlontar jelas dari mulut Tari yang saat ini merasa malu setengah mati melakukan tantangan Truth or Dare dari teman-temannya itu. "Oke, mulai hari ini kita pacaran." Jawaban yang sungguh dilu...