Cemburu? Apa aku punya hak untuk cemburu pada Kak Aldo? Toh, statusku hanya sebatas adik kelas yang kebetulan beberapa hari ini dekat dengannya karena ada satu urusan mengenai basket, bukan dekat dalam artian PDKT alias pendekatan.
Tidak! Menurut sudut pandangku, basket adalah satu-satunya jembatanku untuk PDKT dengan Kak Aldo. Terbukti bahwa belakangan ini aku mulai dekat dan akrab dengan Kak Aldo. Aku jadi lebih sering melihat senyum yang sering kali dia sembunyikan dari orang banyak, bertatapan dengannya dengan jarak yang lumayan dekat, menatap punggung tegapnya saat diantar pulang tempo hari olehnya. Itu semua membuatku sangat senang berada di dekatnya. Begitulah perasaanku. Hal-hal yang mungkin dianggap Kak Aldo sebagai hal biasa, entah mengapa aku menganggapnya sebagai bagian istimewa dari seorang Aldo Veraldo.
Aku terus memikirkan siapa perempuan yang bersama Kak Aldo saat di kantin tadi. Apakah adiknya? Rasanya aneh kalau seorang adik-kakak berpegangan tangan seperti itu. Atau temannya? Rasanya aneh juga kalau teman berpegangan tangan di tempat ramai seperti itu. Orang-orang bakal senantiasa bergosip dengan kejadian itu. Lagi pula, dari yang aku lihat, Kak Aldo adalah tipikal orang yang tidak senang menjadi pusat gunjingan orang-orang.
Jadi, apa itu hanya sekadar teman? Maka, jawabannya pasti bukan. Lalu, ada hubungan apa di antara mereka? Gebetan? Atau yang lebih horor, PACAR?!
Tidak mengunggah foto perempuan di media sosialnya bukan berarti Kak Aldo tidak punya pacar, 'kan? Waktu itu aku hanya berasumsi sendiri, tapi malam ini aku juga tak boleh berasumsi sendiri lagi bahwa perempuan itu pacarnya Kak Aldo—selagi belum ada pernyataan jelas dari pihak yang bersangkutan.
Ngomong-ngomong ini kok bahasanya jadi seperti pengacara yang tengah mendampingi kliennya? Ya, jangan salahin aku. Salahin Kak Aldo yang buat aku jadi galau begini.
***
Sekolah sudah mulai ramai, padahal waktu masih menunjukkan pukul 06.30 saat aku berjalan di koridor, hendak menuju kelas. Tiba-tiba dari belakang ada yang menepuk pundakku. Sontak aku menoleh dan terkejut ketika mendapati Kak Aldo dengan perempuan yang kemarin berdiri di belakangku.
Aku tersenyum sopan pada mereka dan kembali berjalan. Kak Aldo juga berjalan di kiriku, sedangkan perempuan itu di samping kiri Kak Aldo.
"Kenapa kok kayak lesu gitu?" tanya Kak Aldo.
"Lagi nggak enak badan aja, Kak," elakku.
Kak Aldo mengangguk.
"Nanti pulang sama siapa?" tanya Kak Aldo.
"Paling sama Rian, Kak," jawabku. Kak Aldo kelihatan bingung, terlihat jelas dari kerutan di keningnya. "Adek aku, Kak," sambungku.
"Ohh. Bilang sama Rian nggak usah jemput kamu. Biar kamu pulang sama Kakak aja. Ada yang mau Kakak obrolin juga."
Belum sempat aku menjawab, perempuan itu bicara.
"Terus gue pulang sama siapa, dong, Do?"
"Lo kan bisa pulang sama si Aris, Lis. Nggak usah manja, deh."
"Ogah ah, ntar gue dimodusin mulu sama dia. Lo kan tahu sendiri, dia orangnya kayak apa."
"Nggak bakal. Gue udah bilangin dia buat enggak ngemodusin atau ngelakuin hal aneh sama lo lagi."
Aku hanya bisa melongo di sini, menyaksikan dua orang yang entah punya hubungan apa tengah berdebat di hadapanku. Kak Aldo juga membisikkan sesuatu pada perempuan itu, lalu setelahnya perempuan itu melenggang pergi dengan berlari kecil. Kemudian Kak Aldo beralih menatapku.
"Ya udah, Kakak ke kelas dulu. Belajar yang bener," ucapnya sambil tersenyum dan mengacak-ngacak rambutku sebelum pergi.
"Kakak juga belajar yang rajin, jangan pacaran mulu," celetukku tak sadar.
"Aduuh... ini rambutku jadi berantakan gara-gara Kakak." Aku berusaha mengalihkan pandangan dari Kak Aldo dengan pura-pura sibuk membereskan rambut. Merutuki diri sendiri atas ucapanku yang tak terkontrol, bersikap seperti pacar yang cemburu mengetahui pacarnya dekat dengan perempuan lain.
"Kamu lucu, ya," ucap Kak Aldo yang terlihat sekali sedang menahan tawa. "Udah, jangan diberesin lagi. Kamu lebih cantik kayak gini." Kak Aldo malah semakin mengacak-ngacak rambutku dengan gemas lalu tertawa puas.
"KAK ALDO, IHH!"
Aku hendak membalasnya dengan perbuatan serupa, namun dia langsung berlari kabur.
Tuh kan, aku yang tadinya badmood, seketika langsung bahagia tak ketulungan seperti terkena durian runtuh. Padahal perlakuan Kak Aldo barusan terbilang sederhana, namun bagiku itu terasa manis. Lagi pula, kalau yang sederhana saja bisa membuat kita bahagia, kenapa harus mencari yang luar biasa?
***
Dua hal yang paling membahagiakan bagi anak sekolah. Yang pertama, hari libur. Dan kedua, jam pelajaran kosong. Senang? Jangan ditanya! Setelah mendengar dari ketua kelas bahwa guru Sejarah berhalangan hadir karena ada keperluan mendadak dan tak sempat memberikan tugas, kelasku mendadak berubah, yang tadinya tenteram, damai, tiba-tiba langsung heboh. Bahkan Amin sampai joget-joget tak jelas di depan kelas.
Aku, Risma, Hana, dan Sarah, memilih keluar dan duduk di kursi depan kelas yang langsung menghadap ke lapangan.
"Tadi pagi ada adegan romantis tahu, berasa nonton drama Korea, deh, gue," celetuk Risma.
"Di mana? Ada adegan ena-enanya enggak?" tanya Sarah antusias
"Enggak ada. Kayaknya otak lo harus di-refresh, tuh, Sar, biar nggak berpikiran jorok terus," ucap Risma tajam. "Tadi, tuh, adegannya gini, si cowok ngacak-ngacak rambut si cewek gara-gara tahu kalo si cewek cemburu dia cuekin karena asik sama cewek lain, dan si cowok pun jadi gemes sendiri. Si cewek yang diacak-acakin rambutnya malu-malu tai kucing gitu, deh. Tamat."
Aku menghela napas, melotot pada Risma. Ingin sekali kusumpal mulutnya yang nyablak minta ampun itu dengan kaus kaki yang tak dicuci sebulan.
"Gue liat adegannya sendiri di koridor." Risma tertawa ke arahku. Aku memalingkan wajah begitu merasakan panas di pipi.
"Ah, itu mah biasa. Iya 'kan, Han?" sahut Sarah.
"Iya. B aja," timpal Hana.
"Mungkin menurut kita itu hal biasa, tapi sangat luar biasa di mata Tari. Iya 'kan, Tar?"
Shit! Jika sudah begini, aku hanya bisa senyum tanpa dosa pada mereka bertiga. Kemudian Sarah menatapku.
"Lo utang penjelasan ke gue sama Hana, Tar!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth or Dare (Completed)
Teen Fiction"Gue suka sama lo. Mau gak jadi pacar gue?" Kalimat itu terlontar jelas dari mulut Tari yang saat ini merasa malu setengah mati melakukan tantangan Truth or Dare dari teman-temannya itu. "Oke, mulai hari ini kita pacaran." Jawaban yang sungguh dilu...