Kanza tidak pernah se-deg-degan ini memasuki pelataran rumah sakit. Perasaannya entah mengapa tidak enak. Beberapa perawat yang mengenali Kanza menyapanya, Kanza hanya tersenyum tipis menanggapi itu.
"Pagi Suster Anna, Dokter Bryan ada diruangannya?" Tanya Kanza kepada suster yang diketahui sebagai asisten Dokter Bryan.
Suster Anna tersenyum ramah, "Ada za, sudah ditunggu sama dokter Bryan." Suster itu melihat jam dipergelangan tangannya, "Lagi kosong juga, kok."
"Terimakasih suster," setelah mendapat jawaban Kanza langsung bergegegas menuju ruangan dokter Bryan dengan dagupan yang lebih kencang.
Gadis itu mengambil nafas panjang sebelum memasuki ruangan yang selalu disinggahinya selama dua tahun terakhir ini. Pandangan pertama yang dilihatnya adalah laki-laki berperawakan dewasa dengan tatapan ramah yang berubah menjadi tajam. Kanza meneguk ludahnya.
"Pagi dok," sapa Kanza kikuk.
"Hm," Dokter Bryan berdiri mengambil langkah mendekati Kanza. Tangannya terulur untuk menepuk kepala gadis itu. Kanza meringis,"Apa sesakit itu?"
Suara ruangan terbuka membuat keduanya menoleh, suster Anna beserta setumpuk dokumen berjalan menghampiri mereka. "Hasil lab yang sebelumnya baik-baik saja dok."
"Sejak kapan kamu merasa sakit kepalanya?"
Kanza berpikir, jari-jari tangannya seakan berhitung, "Enam, Sembilan," cengirannya tersungging, "Lupa dok."
Dokter Bryan dan Suster Anna menghela nafas berat, "Obat selalu kamu minum kan?"
"Minum kok,"
Dokter Bryan menatap tajam gadis remaja dihadapannya, "Selalu atau tidak?"
Kanza meringis, "Kalau ingat," cicitnya.
"Apa lagi yang dirasa?"
Kanza memejamkan mata sebentar, tiba-tiba rasa sesak menghampirinya. Suster Anna tersenyum sendu melihat gadis remaja itu. "Rasanya kaya mau pecah kepalanya terus pas kepalanya sakit aku juga sering muntah."
Dokter Bryan menatap gadis dihadapannya dalam, helaan nafas berat terdengar dari mulutnya. "Kita coba ct-scan lagi dan tes darah."
Kanza langsung saja duduk diranjang untuk diambil darahnya, perasaannya semakin tidak karuan. Dokter Bryan mengamati gadis itu, tangannya terulur mengusap puncak kepalanya. "Semuanya akan baik-baik saja."
Entah mengapa kali ini Kanza tidak mempercayai omongan Dokter Bryan, gadis itu hanya mengangguk berat. Suster Anna mendongak keatas menahan air matanya yang ingin keluar.
Senyum hangat suster Anna bahkan sangat janggal dengan mata sendunya itu tidak dapat membuat Kanza baik-baik saja, gadis itu tahu banyak hal yang tidak beres dengan tubuhnya.
"Tarik nafas sayang," ucap Suster Anna, Kanza bahkan tak meraa nyeri seolah merasa itu adalah hal yang biasa dia lakukan, Dokter Bryan semakin nelangsa melihat tatapan kosong gadis itu setelah mengambil darahnya.
Dokter Bryan mengambil segelas air dimejanya, lalu diberikan itu kepada Kanza, "Minum yang banyak."
Sedangkan suster Anna langsung keluar untuk memberikan darah Kanza untuk diteliti. "Kamu selalu membuat saya khawatir Kanza."
Kanza tersenyum tipis, "Aku baik-baik saja."
"Lain kali kalau merasa sakit, langsung hubungi Dokter."
"Iya."
"Minum obatnya teratur."
"Iya."
"Jangan sekali-kali melanggar perintah."
Kanza menghela nafas gemas, "Iya abang Bryan."
Dokter Bryan mematung sejenak, tatapan matanya memandang Kanza dengan tatapan penuh arti. "Kau memang adikku, jadi jangan pernah membantah ucapan kakak."
Entah Kanza merasa hatinya sedang gundah atau apa, dia merasa tersentuh ada orang yang menyayanginya melebihi keluarganya sendiri. Menjadi pasien Dokter Bryan selama dua tahun, membuat gadis itu merasa mempunyai abang yang begitu menyayanginya.
"Mainlah kerumah, Ayana pasti senang melihatmu."
Ayana adalah istri Bryan, Bryan dan Ayana baru menikah beberapa bulan yang lalu. Kanza diundang, pertemuannya dengan Ayana juga terjadi dua tahun yang lalu saat dia tidak sengaja bertemu Dokter Bryan dan Ayana yang sedang makan bersama disebuah Mall. Ayana adalah gadis berhijab yang sangat ramah dan manis, Kanza senang bisa berkenalan dengan Ayana. Bahkan dengan ramahnya, wanita itu dan Dokter Bryan mengajaknya makan bersama.
"Kapan-kapan ya dok, aku juga kangen dengan Mbak Ayana."
Dokter Bryan tersenyum tipis mendengar itu. "Kaki ku kenapa suka lemas tiba-tiba ya pas main basket dok? Kayaknya aku kekurangan vitamin deh, masa masih muda udah kayak nenek-nenek."
Senyum Dokter Bryan luntur begitu aja, dengan perasaannya yang semakin nelangsa. "Ayo keruang lab sekarang, kita ct scan, biar kamu cepat istirahat."
Tanpa ada yang tahu, Perasaan Kanza hancur melebur mengetahui kemungkinan yang akan terjadi. Ntah mengapa dirinya merasa yakin dengan kemungkinan itu apalagi setelah melihat raut dokter Bryan
30.09.20
●●●●●□
Expectation hurts, always.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kanzayla
Teen FictionGadis berambut belonde itu selalu membuat semua yang berada didekatnya merasa nyaman, dengan tampang polos dan senyum yang selalu melekat di dirinya. Walaupun masalah-masalah selalu mengahampirinya, tapi tak membuat senyum di wajah gadis itu redup. ...