PULANG

496 24 5
                                    

Akhirnya aku pulang. Dengan mantap Nesa melangkah keluar pintu kedatangan setelah beberapa jam berada dalam pesawat yang mengantarnya kembali ke kota kelahirannya. Meskipun saat tiba di Bandara Abdurrahman Saleh, Nesa sudah merasakan sesak yang menggumpal di dalam dadanya entah karena apa. Ada sesuatu yang mengganjal di sana. Dia menyadari betul bahwa kepulangannya ini akan menentukan langkah besar dalam kehidupannya. Hidup memiliki berbagai sisi. Layaknya mawar yang begitu indah dengan bentuk dan keharumannya, ada duri yang siap menusuk siapa pun melalui tangkainya. Bukan karena mawar itu egois, tetapi nyatanya Tuhan telah menciptakan pertahanan diri yang begitu kuat pada bunga itu. Seperti itulah yang terjadi pada Nesa waktu itu. Saat dia memperlihatkan duri tajamnya dengan memilih pergi meraih kesempatan untuk memenuhi mimpinya.
"Kak!" seruan adik lelakinya, Hilmi, yang kini sudah dewasa mengingatkannya kembali bahwa dia sudah berada di rumah. Tempat kelahiran yang sangat dirindukannya. Menepis rasa sesak yang bergelanyut di dadanya, Nesa tersenyum cerah dan berlari ke dalam pelukan adiknya. "Wah, tiga tahun ga ketemu. Kakak tambah jelek aja." Nesa hanya tertawa sambil memukul punggung adiknya dengan ringan. "Kamu juga ga kalah jelek."
Rupanya tiga tahun telah berlalu begitu cepat. Saat dia pergi, Hilmi baru saja lulus dari SMA. Sekarang adiknya itu sudah menjadi salah satu mahasiswa jurusan teknik di perguruan tinggi almamaternya dulu. Senyum kekanakannya kini berubah menjadi senyuman laki-laki yang mungkin saja sudah mencuri hati beberapa gadis di luar sana. Terkadang Nesa sangat merindukan pertengkaran-pertengkaran kecilnya dengan kunyuk satu itu ketika dirinya merasa sepi di perantauan. Saling mengejek dan tertawa bersama. Menonton pertandingan sepak bola klub kesayangan dan dengan hebohnya meneriakkan makian atau kata gol sampai serak. Ternyata sekarang adiknya sudah menjadi laki-laki dewasa.
Mereka berjalan menuju mobil yang akan membawa Nesa pulang sambil bercakap-cakap mengenai waktu yang hilang itu. Sebentar lagi dia akan benar-benar sampai di rumah dan kembali dalam pelukan keluarganya. Nesa merindukan ibunya. Ada kalanya Nesa merasa bahwa ibunya bersikap menyebalkan dengan berbagai perintah untuk membersihkan rumah. Tetapi setelah merasakan sendiri hidup tanpa keluarga, terutama tanpa ibunya, Nesa benar-benar merindukan wanita paruh baya itu dan ingin segera memeluknya.
"Semua orang sudah menunggu di rumah. Aku melarang ayah dan ibu ikut, Kakak kan tahu sendiri bagaimana repotnya ayah kalau misalnya ayah ikut," cerita adiknya membuat Nesa tersenyum. Ayah mereka adalah orang yang tegas. Beliau selalu menjadi ayah yang kaku tetapi juga lembut. Ayahnya bukanlah tipe orang yang dengan mudah mengekspresikan kasih sayangnya secara verbal maupun tindakan. Tapi Nesa tahu betapa sayang dan bangganya beliau akan keputusannya untuk merantau ke luar Pulau Jawa, nun jauh di Papua sana.
Kota kelahirannya sedikit berubah dari tiga tahun lalu. Sepanjang perjalanan tadi mereka telah melewati banyak sekali taman-taman kecil yang dihias sedemikian rupa dan ramah keluarga. Tetapi pada jam pulang kerja seperti saat ini, ketika warna lembayung senja tersaput indah di langit barat, kendaraan tetap harus melaju dengan perlahan karena padatnya lalu lintas. Bahkan Nesa juga merindukan senja yang selalu dinikmatinya di balkon kamarnya dengan secangkir teh hijau. Padahal dia menyadari bahwa senja berwarna sama di manapun dia berada.
Dia telah pergi selama tiga tahun. Melangkah pergi meninggalkan sebuah hubungan mantap yang sudah terencana dengan rapi. Meninggalkan sebuah luka dalam di hati seseorang. Dan seperti getah yang menjadi noda membandel, rasa bersalah itu tetap melekat di dasar hatinya, tak mau hilang meskipun dia mencoba melupakannya.
"Kak, dengar tidak?" tanya adiknya sebal. Nesa menoleh, tersenyum meminta maaf karena sudah membiarkan pikirannya melayang sendiri. "Apa?"
"Ayah dan ibu masih berpikir Kakak adalah tunanangan kak Reza."

##########

Tiga tahun yang lalu sebelum kepergiannya, Nesa memutuskan pertunangannya dengan Reza. Bukan karena hubungan mereka hambar dan tanpa rasa cinta, justru rasa cintanya pada laki-laki itu begitu dalam. Pertunangan itu berakhir lantaran keegoisan. Reza tidak bisa melepas Nesa untuk pergi. Bisa mengajar di daerah terpencil adalah mimpi Nesa sejak dia memutuskan untuk menjadi seorang pendidik. Memberikan ilmunya kepada anak-anak yang polos dan murni serta haus akan pengetahuan. Impian itu sendiri datang terlambat untuk diwujudkan. Tuhan telah mempertemukannya terlebih dahulu dengan Reza, seseorang yang akhirnya dia pilih sebagai pasangan hidup. Keputusan Nesa untuk mengajar mimpinya saat itu berawal dari ketidaksengajaan. Reza bahkan menyarankan untuk mengajukan surat lamaran meskipun tahu persyaratannya. Tidak diperkenankan menikah selama kontrak berlangsung adalah salah satunya.
Saat pengajuan itu diterima dan Nesa bersikeras untuk pergi, Reza tidak ingin menunda pernikahan yang sudah dipersiapkan. Apalagi hanya agar Nesa bisa pergi ke daerah terpencil dan jauh di Papua. Bahkan Nesa masih mengingat dengan jelas betapa terluka hatinya saat Reza memberikan pilihan kepadanya. Impian atau cintanya. Pilihan yang sama sekali tidak adil bagi Nesa. Perasaan terluka itu menjadi bulir-bulir es yang kemudian diwujudkannya dengan mengembalikan cincin pertunangannya kepada Reza secara dingin. Dia tidak ingin melepas kesempatan untuk meraih mimpinya, karena itulah dia mengirimkan kembali cincin Reza melalui kurir. Hari itu, dia menyadari dengan segenap jiwanya, bahwa keputusannya itu telah melukai orang yang paling dicintainya.
"Apa maksudmu ayah dan ibu belum tahu?" tanya Nesa dengan perasaan was-was. Dilihatnya adiknya menganggukkan kepala. Selama tiga tahun ini Nesa selalu menutupi kenyataan antara dirinya dan Reza dari orang tuanya.
"Kak Reza hanya bilang kalau pernikahan kalian ditunda. Dan dia membuat alasan lain mengapa dia tidak bisa mengantar Kakak berangkat waktu itu."
"Dia juga menunggu di rumah?"
"Tidak. Dia pergi ke Jakarta. Ada kenalannya yang menikah." Hilmi hanya melirik sekilas ke arah Nesa, tetapi dia tahu bahwa kakaknya sedang khawatir. Nesa selalu menggigit bibir bawahnya jika ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Kali ini kakaknya melakukan hal itu. Tiga tahun yang lalu, Hilmi lah tempat Nesa menangis setelah memutuskan hubungannya dengan Reza.
Akhirnya Nesa tahu rasa sesak yang sedari tadi mengganjal di dalam dadanya adalah perasaan takut menghadapi Reza. Apa yang kamu rencanakan, Za? Bisik hatinya.

#########

Dua minggu telah berlalu sejak kepulangannya dan Nesa belum pernah sekalipun melihat Reza. Bukannya dia ingin segera bertemu dengan laki-laki itu, tetapi orang tuanya lah yang selalu bertanya "Kemana Nak Reza?" pada Nesa yang dijawab dengan kata sibuk dari mulutnya. Diam-diam Nesa bahkan berharap Reza tidak akan menemuinya dalam waktu dekat. Dia tidak siap menghadapi Reza. Bagaimana jika laki-laki itu begitu marah? Nesa tidak akan sanggup menghadapi luapan amarahnya. Bagaimana dia harua bersikap di depan Reza yang seperti itu? Atau jika Reza membencinya?
Ternyata harapan Nesa agar Reza tidak menemuinya pupus begitu saja ketika laki-laki itu berdiri dengan angkub di dalam ruang tamu rumahnya seminggu kemudian. Dengan tubuh tegapnya yang lebih dari seratus tujuh puluh senti dan wajah tampan yang selalu menghantui mimpi-mimpinya selama tiga tahun ini, entah mengapa tiba-tiba saja Reza menjadi sosok yang membuatnya takut. Postur tubuhnya begitu mengintimidasi. Bagaimapun juga Nesa tidak bisa mengabaikan detak jantungnya yang berdegup cepat hanya dengan melihat laki-laki itu.
Dengan usaha keras Nesa menegakkan tubuhnya meskipun kakinya seolah menolak untuk tetap menyokongnya berdiri denga  mantap. Nesa melangkah menghampiri Reza.
"Apa kabar, Za?" Nesa mengeluarkan suara lirih yang asing bagi telinganya sendiri.
"Baik. Terima kasih sudah repot bertanya." Jawaban Reza yang dingin membuat Nesa sedikit tercengang.
Sebelum sempat mempersilakan laki-laki itu duduk, Nesa menatap ngeri saat Reza dengan kasar meletakkan sebuah benda kecil di atas meja ruang tamu. Benda bulat kecil yang sangat dikenalnya itu membuat Nesa meraih jemarinya yang terasa dingin. Benda itu pernah lama melingkari jemarinya hingga membekas. Itu adalah cincin pertunangan yang sudah dikembalikannya pada Reza tiga tahun yang lalu. Tanpa sadar Nesa mencengkeram erat jarinya, tepat di mana cincin itu pernah melekat. Dia mendongak untuk menatap wajah Reza.
"Masih mengenali benda itu?" tanya Reza sembari tersenyum mengejek. "Pakailah!"
Nesa masih menatap kosong tidak mengerti apa maksud laki-laki itu. Bahkan Nesa mencoba mencari kehangatan dalam mata Reza, tetapi mengernyit saat dia tidak menemukannya sedikit pun. Mata yang dulu selalu menatapnya dengan hangat dan penuh kasih itu kini menatapnya dengan dingin sehingga membuatnya gemetar. Tidak ada sisa-sisa kehangatan di dalam mata itu.
"Kita menikah dua bulan lagi." Kalimat yang terlontar dari bibir laki-laki itu bukanlah sebuah permintaan atau pun lamaran romantis. Nesa merasakan darahnya surut begitu saja. Dengan  panik dia menyadari bahwa kali ini dia harus benar-benar duduk. Dia menggeleng dan melontarkan pandangan tak percaya pada laki-laki di hadapannya.
"Tidak....." bisiknya berusaha menelan gumpalan besar dalam tenggorokannya.
Pandangan Reza yang menusuk membuatnya terpojok dan ingin bersembunyi. Perlahan, setelah bisa menguasai dirinya, Nesa memutuskan untuk kembali berdiri dan melebarkan jarak dari Reza.
"Orang tuamu juga sudah menyetujuinya."

Nesa kembali menatap laki-laki itu dengan ternganga. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Bagaimana bisa dia sebagai pengantinnya bahkan tidak tahu proses pernikahannya sendiri? Lagipula otaknya tidak bisa menerima apa yang sedang dihadapinya saat ini. Bagaimana mungkin Reza masih ingin menikah dengannya setelah apa yang dilakukannya pada laki-laki itu?
"Kita sudah selesai...." Nesa kembali bicara, nada penyangkalan terdengar jelas di sana.
"Kata siapa?" potong Reza cepat. "Aku tidak pernah mengiyakan apa yang kamu inginkan waktu itu. Sepertinya kamu lupa menulis uraian penjelasan waktu kamu menyewa jasa kurir untuk mengembalikan cinci  itu."
"Oh, dan asal kamu tahu, aku hanya menyimpan cincinmu. Itu saja."

TerperangkapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang