HUJAN

128 8 0
                                    

Nesa memebuka payung yang baru saja dia beli saat keluar untuk jalan-jalan. Setelah satu minggu hanya berdiam mengasihani diri sendiri di dalam rumah, Nesa menguatkan kembali hatinya dan mulai berbenah. Pagi tadi dia membersihkan kamar dan isi lemarinya, menyisihkan pakaian yang sudah lama hanya menjadi hiasan di dalamnya. Dia bahkan mengganti sprei kasurnya dengan warna cerah khas musim panas. Setelah itu, dia memutuskan untuk ke luar rumah menuju mini market yang berada kurang lebih seratus meter dari kompleks rumahnya. Saat berkeliling mini market hujan tiba-tiba saja turun begitu saja.
Akhirnya Nesa hanya membeli payung untuk digunakan saat itu. Aroma tanah basah nan segar menyapa indera penciumannya ketika dia keluar dari mini market. Suasana hujan membuat pikirannya kembali pada suaminya. Reza belum juga menghubunginya sejak hari ia mengantarkan Nesa ke rumah orang tuanya. Sampai saat ini Nesa belum juga menemukan jalan untuk sekedar menghubungi suaminya. Perasaan takut ditolak dan takut terluka kembali menjadi beban berat yang menghimpit pernapasannya. Tetapi situasi ini bukankah sangat menggelikan? Bagaimana bisa seorang istri sulit untuk membuka percakapan dengan suaminya sendiri?
Saat ini, ketika hujan turun dan dirinya berdiri di bawah payung seorang diri, entah keberanian dari mana, Nesa mengeluarkan ponselnya. Sebelum nyala api keberanian itu hilang, dia menghubungi Reza. Nesa menunggu deringan sembari menggigit bibir bawahnya dengan gelisah.
"Halo, Nes," sapa suaminya dari seberang sana.
Nesa terpaku. Betapa dia merindukan suara itu. Rasanya terlalu lama waktu yang dia habiskan tanpa laki-laki itu di dalam hidupnya.
"Aku merindukanmu," bisik Nesa tanpa pikir panjang.
Hening.
Suara laki-laki itu tak terdengar.
Perlahan perasaan takut itu kembali mengaliri pembuluh darah Nesa. Tubuhnya menggigil. Takut jika Reza mengacuhkan pengakuannya.
"Kamu masih di sana, Za?"
"Aku masih butuh waktu, Nes."
Napas Nesa tersentak mendengar jawaban suaminya. Rasa takut itu tiba-tiba saja menjadi amarah. Nesa menghentikan angkutan yang lewat dan membuang payungnya begitu saja.

#########

Reza melemparkan ponselnya setelah menutup percakapan. Dia kesal pada dirinya sendiri yang bicara tanpa pikir panjang kepada istrinya barusan. Setelah mereka memiliki ruang sendiri, Reza menyadari bahwa semenjak mereka menikah, dia tidak pernah mengatakan bahwa dia mencintai wanita itu. Pantas saja jika istrinya merasa tidak nyaman menjalani pernikahan ini. Benar bahwa Nesa meninggalkannya waktu itu. Bagaimanapun, keegoisan mereka yang akhirnya membentangkan jarak. Nesa tetap mau menikah dengannya meskipun dalam suasana hati yang sudah tak lagi sama.
Reza menutup wajah dengan kedua tangannya. Dia merindukan istrinya. Ibunya pasti akan menggeliat di dalam kubur jika tahu betapa bodoh sikap anak lelakinya ini. Dengan tekad penuh Reza beranjak untuk menjemput istrinya. Tidak ada yang lebih penting lagi selain meluruskan semua kesalahpahaman dalam hubungan mereka.
Reza sedang memakai jaketnya saat mendengar pintu ruang tamu terbuka. Apakah kakaknya datang? Tidak mungkin hujan begini kakaknya datang tanpa pemberitahuan. Reza berbalik saat pintu kamarnya terbuka dan terkejut. Nesa berdiri di sana dalam keadaan basah. Tanpa mengatakan apa pun Nesa mau nghampiri Reza dan memukul dada suaminya.
"Apa yang kamu lkukan?" keterkejutan Reza mengalir dalam nada suaranya yang tinggi.
Istrinya itu tetap memukuli dadanya. Reza menangkap tangan mungil wanita itu tetapi Nesa menolak untuk berhenti.
"Nesa, apa ini? Hentikan!" seru Reza sembari memegang erat tangan wanita itu.
Kali ini isakan yang keluar dari bibir Nesa membuat Reza melepaskan tangan istrinya.
"Kamu tega, Za! Kamu tega! Bagaimana bisa kamu memperlakukanku seperti ini? Kamu jahat! Bagaiman bisa?" tanpa henti Nesa memukuli dada suaminya.

TerperangkapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang