BALI

196 9 4
                                    

"Nesa, selamat datang di Bali!" seru Made menyalami Nesa dengan antusias. Mereka memutuskan untuk mengejutkan Made dengan memintanya menjemput di pelabuhan saat mereka sudah berada di Bali.
"Selamat bahagia buat kamu, De," kata Nesa yang disambut tawa malu-malu dari Made.
"Ini benar-benar kejutan hebat, Za. Saat kalian telepon aku masih tidur dan kalian sudah di Bali." cerocos Made sambil memeluk Reza.
Nesa tersenyum melihat Reza dan sahabatnya itu saling berpelukan dan bercanda. Melihat Reza kembali tertawa lepas menghangatkan hatinya. Tawa lepas pertama Reza semenjak pernikahan mereka.

Made mengantarkan mereka ke penginapan yang terdekat dengan rumahnya. Ketika memasuki kamar mereka, Nesa baru menyadari betapa lelahnya perjalanan panjang ke pulau ini. Nesa langsung tertidur saat kepalanya menyentuh bantal.

Reza membangunkan Nesa pada pukul empat sore. Nesa yang belum sepenuhnya terbangun hanya duduk di samping tempat tidur memperhatikan Reza yang sedang berganti pakaian. Dia sudah tidur berjam-jam tetapi tetap saja kantuknya tidak mau hilang.
"Made akan mengajak kita jalan-jalan," kata Reza waktu melihat Nesa masih duduk dan belum beranjak juga dari tempat tidur. Nesa bangkit mengambil perlengkapan mandinya dan masuk kamar mandi. Sepuluh menit kemudian, setelah mandi dan mencuci rambutnya, Nesa keluar dari kamar mandi dengan perasaan segar dan bersih. Mendapati kamar tersebut kosong, Nesa beranggapan mungkin suaminya dan sahabatnya mungkin sudah menantinya di luar. Dia mengenakan gaun selutut berwarna kuning untuk jalan-jalannya kali ini. Setelah mengecek penampilannya di cermin, Nesa berjalan keluar untuk menemui dua laki-laki tampan yang sedang menunggunya.

Saat Nesa menghampiri mereka, barulah dia menyadari bahwa sore ini dia bukanlah satu-satunya wanita dalam rombongan kecil itu. Made ternyata tidak sendiri. Dia membawa calon istrinya. Di bangku belakang di dalam mobil, Reza dengan santai merangkul bahu Nesa dan tertawa lepas mendengar banyolan yang dilontarkan sahabatnya yang sedang menyetir. Tanpa sadar Nesa menyandarkan kepalanya ke bahu suaminya. Semoga perjalanan ini menjadi awal yang baik bagi mereka, itulah doa Nesa.

########

"Nes, gimana rasanya memiliki suami?" canda Ayu, calon istri Made, sewaktu mereka duduk nyaman di salah satu cafe di pinggir Pantai Kuta yang terkenal itu. Ternayata suasana malam di pinggir pantai itu bajkan lebih indah daripada siang harinya. Nesa tertegun sejenak mendengar pertanyaan itu. Untunglah, baik Made dan Reza sedang pergi entah kemana saat Ayu mengungkit topik itu. "Ga bisa jawab saking bahagianya, ya, Nes?" goda Ayu.
Nesa tersenyum untuk menyembunyikan perasaannya. Bagaimana dia akan memberi jawaban kepada seorang calon pengantin yang bahagia bahwa ternyata pernikahan mereka jauh dari gambaran itu?
"Kamu bahagia kan bersama Made?" tanya Nesa yang dijawab tawa oleh Ayu.
"Tentu saja. Kalau tidak bagaimana mungkin aku mau menikah sama dia?"
"Syukurlah. Seperti itulah rasanya memiliki suami. Menyadari bahwa dia ada di sisi kita, mengulurkan tangan saat kita membutuhkannya," Nesa mengendikkan bahunya, "bahagia? Semua pengantin baru juga merasakannya."
Mungkin, bisik Nesa dalam hati.
"Aku pernah mendengar dari Made bahwa suamimu itu tipe orang yang setia."
Nesa langsung menghentikan gelas yang hampir sampai di mulutnya.
"Dia tetap menunggu kamu selama tiga tahun kamu pergi ke luar Jawa. Wow, tiga tahun bukan waktu yang sebentar, kan?"

Jadi seperti itulah Reza di mata semua orang. Setia menunggunya yang dengan egois meninggalkan laki-laki sebaik itu hanya untuk mengejar mimpinya.
"Ya, dia menungguku selama tiga tahun," Nesa menyesap minumannya kemudian tersenyum, "aku pulang dan kami menikah."
Mereka tidak tahu apa-apa, bukan? Mereka tidak tahu bagaimana tersiksanya dia saat merindukan laki-laki itu. Setiap hari bertikai dengan perasaannya sendiri yang ingin mendengar suara Reza. Mereka tidak tahu bahwa begitu banyak malam di mana dia menghabiskan waktu dengan menangis karena ketakutan, kesepian, dan rasa bersalah. Bagaimana takutnya untuk menghubungi Reza sebab jika mendengar suaranya, mungkin dia akan pulang saat itu juga. Betapa inginnya dia merajuk agar Reza tidak melepaskannya lagi. Betapa takutnya dia membayangkan Reza bersama wanita lain. Setiap hari selama di rantau, perasaan itulah yang membebani Nesa. Tetap saja, semua orang tidak tahu pernikahan macam apa yang mereka jalani.
"Ya, betapa beruntungnya aku mendapatkan laki-laki seperti Reza," lanjutnya kemudian.

Nesa terselamatkan dari pikiran-pikiran negatifnya ketika Reza mengajak mereka pulang dengan alasan lelah. Di dalam mobil Nesa memandangi wajah suaminya itu. Benar, Reza memang kelihatan pucat.
Sesampainya di kamar mereka, Reza langsung membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur.
"Kamu tidak mengganti pakaian dulu?" tegur Nesa yang akan pergi ke kamar mandi.
"Aku sedikit pusing, Nes." jawaban Reza membuat Nesa duduk di samping laki-laki itu dan dengan lembut menyentuh dahinya. Tidak demam.
"Mungkin kamu kecapekan dan masuk angin. Kucarikan obat sebentar. Ganti dulu celanamu dengan yang lebih nyaman." Nesa meletakkan sebuah celana piyama di samping suaminya itu.

Ketika Nesa kembali, dilihatnya suaminya itu sudah tidur. Suamiku yang malang, batinnya berbisik. Nesa beringsut duduk di samping Reza. Perlahan disentuhnya rambut Reza dan tersenyum.
"Aku merindukanmu, Za. Meskipun sekarang kamu ada di depanku seperti ini, aku masih merindukanmu."

Pernikahan Made benar-benar meriah. Tapi bukan itu yang membuat Nesa terpaku dan merasa iri. Tawa bahagia kedua pengantin itulah yang membuatnya hatinya sedikit nyeri. Tuhan, dia benar-benar harus berusaha keras untuk memiliki kebahagiaannya bersama Reza. Dia harus bisa membuat Reza tertawa bahagia seperti tawa yang ada di wajah Made saat ini.
Malam itu, ketika Reza kembali dari kamar mandi, Nesa memeluk punggung suaminya.
"Pernikahan yang indah, ya, Za?" bisiknya. Saat Reza berbalik dan memeluknya dengan erat, Nesa tersenyum dalam dekapan laki-laki itu.

TerperangkapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang