KEMBALI

125 5 0
                                    

Mengabaikan tubuh basah wanita itu, Reza memeluk istrinya yang seolah tak peduli apa pun kecuali amarahnya. Dari bibirnya yang kebiruan dan gemetar, kata-kata 'jahat' dan 'tega' berkali-kali keluar mengiringi kepalan kecil yang memukuli dadanya. Nesa tetap meronta meskipun Reza memeluknya dengan erat.

Perlahan wanita itu berhenti meronta dan terduduk, membawa Reza bersamanya. Masih dalam pelukan suaminya, Nesa terisak dan menggenggam erat baju suaminya. Saat ini, yang terdengar hanya detik jarum jam, suara huja, dan isakan Nesa yang semakin lama semakin melemah. Dengan lembut Reza membelai rambut istrinya yang kusut dan basah. Dia menyadari bahwa dalam pelukannya seperti ini, istrinya telah kehilangan berat badannya. Reza kembali mengeratkan pelukannya. Ternyata keegoisannya sangat membuat istrinya menderita seperti ini.
"Maafkan aku, Nes... Maafkan aku," bisik Reza di telinga Nesa.
Saat menyadari bahwa istrinya tidak merespon, barulah Reza melonggarkan pelukannya. Dan mendapati istrinya itu tertidur dalam keadaan seperti itu membuat hati Reza hancur. Dia mengangkat tubuh wanita itu dan mengistirahatkannya. Ada begitu banyak hal yang harus diluruskan setelah Nesa bangun nanti. Tapi pertama-tama, dia harus merawat istrinya terlebih dahulu.

#################

"Kamu harus selalu berada di sisiku, Nes. Itu hukumanmu!"
Nesa menutup kedua telinganya mendengar laki-laki yang sangat dicintainya itu menjatuhkan vonis padanya. Tatapan dingin laki-laki itu membekukan tubuhnya. Dia mulai gemetar tak terkendali.
"Tidak," teriakan dalam kepalanya hanya berupa bisikan lirih yang keluar dari mulutnya.
Laki-laki itu mendekatinya. Langkahnya disertai bayangan hitam yang membesar. Nesa merasa tersudut.
"Tidak!" kali ini dia mencoba mengeraskan suara, tetapi tetap saja rintihan kecil yang terdengar.
"Itu hukumanmu!" suara laki-laki itu melahap rintihannya.
Nesa berusaha keras meronta dan berteriak sampai kerongkongannya terasa nyeri.

"Bangun, Nes.... Bangun," bisikan penuh kekhawatiran itu menyentakkan Nesa ke alam sadar. Pandangan matanya liar, mencoba mengenali keadaan sekitarnya.
"Kamu bermimpi," kata suara itu.
Dengan napas tersengal Nesa memfokuskan pandangannya dan mendapati suaminya berada di sampingnya. Tangan laki-laki itu mengelus pipinya, terasa dingin di kulitnya yang panas.
"Apa...." Nesa berdehem saat suara yang keluar dari tenggorokan keringnya tak mau keluar.
Buru-buru suaminya mengambil gelas berisi air dari meja di samping tempat tidur.
"Kamu sakit. Kurang gizi dan demam," jelas suaminya sembari membantunya menyesap air minum.

Nesa memandang laki-laki itu. Dia ingat jelas saat menerobos hujan dengan penuh amarah hanya untuk menemui suaminya. Menemui laki-laki tidak bertanggung jawab yang lari dari perasaannya.
"Sudah berapa lama aku di sini?"
"Satu hari. Aku sudah menghubungi ibu di rumah."
Rasa pening kembali menghampiri Nesa, membuatnya memejamkan mata dengan erat.
"Istirahatlah lagi, aku akan menyiapkan makanan."

Saat Reza keluar dari kamar, Nesa hanya memandang langit-langit kamar. Dia kembali ke kamar ini. Tidur di tempat tidur mereka. Sudah berapa lama dia meninggalkan tempat ini? Mengapa serasa lama sekali? Selanjutnya apa yang akan terjadi? Apakah mereka kembali menjadi pasangan istri seperti dulu?
Kali ini Reza yang lembut dan penuh kasih sayang itu akan bertahan berapa lama? Kepalanya yang pening dan dipenuhi berbagai pertanyaan itu akhirnya menyerah dan membuatnya tertidur.

Saat Reza masuk dengan membawa nampan berisi sup dan teh hangat istrinya itu kembali terlelap. Dia meletakkan nampan itu di atas meja. Perlahan dia menempatkan diri di samping tubuh istrinya itu dan memeluknya.

#############

Keesokan harinya, Nesa sudah turun dari tempat tidur. Ketika bangun tadi, dia mendapati segelas susu dan roti favoritnya beserta pesan dari Reza. Laki-laki iti sudah pergi bekerja.
Dia sudah mengumpulkan keberanian untuk kembali ke sini tetapi kenyataannya belum ada yang terselesaikan. Keberanian itu menguap saat flu dan demam menguasainya. Kali ini bagaimana dia harus mengawali pembicaraan?
Dering telepon ponselnya memutus pemikiran yang memusingkan benaknya. Ibu.
"Halo, Bu," sapanya.
"Kamu sudah sembuh?" tanya ibunya.
"Iya,"
"Ibu menyuruh Hilmi mengantarkan makanan. Sebentar lagi dia pasti sampai."
Nesa menunggu pertanyaan yang pastinya membuat ibunya sangat penasaran.
"Bagaimana suamimu?"
Ah, akhirnya.
"Dia sudah pergi kerja, Bu. Dua hari ini dia merawatku dengan sangat baik."
"Kamu tidak akan pulang ke sini lagi, kan?"
Nesa terdiam. Dia juga tidak tahu jawaban pertanyaan itu sebab dia sendiri sangat ingin tahu kepastiannya.
"Mungkin," akhirnya hanya jawaban itu yang bisa diucapkannya.
"Rupanya kalian belum meluruskannya, ya? Baiklah, Ibu hanya akan menunggu. Kalian sudah dewasa dan tidak butuh orang lain untuk menyelesaikan semuanya."

Pembicaraan dengan ibunya semakin memperkuat tekad Nesa untuk mempertahankan pernikahan ini. Dia mencintai Reza, itu saja sudah cukup sebagai alasan. Jika laki-laki itu memang sudah tidak lagi merasakan hal yang sama, maka dia pun akan menghormati keputusan akhirnya. Yang akan terjadi, terjadilah.
Kali ini dia menghubungi nomor suaminya.
"Pulanglah. Kita harus bicara."

TerperangkapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang